Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gerakan 20 Mei dan Konversi yang Gagal

21 Mei 2015   10:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:45 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_419052" align="aligncenter" width="600" caption="Demonstrasi 20 Mei 2015 yang diikuti hanya 20 mahasiswa (Merdeka.com)"][/caption] Sejak beberapa bulan lalu kita mendengar ada rencana demonstrasi besar-besaran untuk menggulingkan Presiden Jokowi pada 20 Mei 2015. Topik penggulingan ini mengalir cukup deras di social media Twitter dan Facebook. Promotornya adalah akun-akun yang era Pilpres lalu mengambil posisi berseberangan dengan Jokowi dan pemerintahan. Audien dan partisipannya mayoritas adalah follower atak fans (liker) akun-akun tersebut. Isu ini digoreng oleh media massa yang juga mengambil posisi berseberangan dengan Jokowi sejak Pilpres lalu. Benar kah kekuatan orang-orang ini bisa benar-benar menggulingkan Jokowi 20 Mei (atau 21 Mei)? Bagi saya yang berprofesi sebagai social commerce developer, fenomena ini menarik. Partisipasi dan kekuatan di social media ini harus dikonversikan ke aksi nyata di dunia nyata -- dalam hal ini turun ke jalan. Dalam social commerce, mengkonversikan audiens menjadi buyer adalah pekerjaan 'Maha Menantang'. Akun brand kita bisa saja punya jutaan follower/fans dan memuji-muji brand kita. Tapi ketika mereka kita 'suruh' menekan tombol 'BUY' di situs jualan kita, bisa dapat 1% pun sudah sangat bagus! Dalam mengkonversikan audien social media menjadi pembeli, tidak cukup keberpihakan secara emosional (suka terhadap brand). Tapi juga kebutuhan riil, kemampuan keuangan dan kemudahan akses. Jadi, 'suka' saja tidak cukup. Banyak faktor lain yang saling terkait untuk menjadikan participation (partisipasi) menjadi action (tindakan nyata). Saya kemudian dihadapkan pada pertanyaan yang membutuhkan hipotesis: sanggup kah topik penggulingan Jokowi ini mengubah participation menjadi action? Salah satu hal paling rumit dalam analisa di social media adalah memisahkan antara data otentik dengan noise. Data otentik adalah ketika pengguna menuliskan pendapatnya sendiri baik dalam bentuk tweet, wall post, dan comment. Data otentik adalah bentuk partisipasi yang tinggi nilainya karena seseorang perlu upaya lebih dalam berpikir dan eksekusi (mengetik kalimat). Sementara noise adalah partisipasi yang nilainya rendah dalam bentuk retweet, favorite, like atau share. Partisipasi model ini tinggal klik 1 tombol, selesai. Golongan pembuat noise ini adalah mereka yang tidak 'berkeringat'. Masalahnya, popularitas sebuah topik di social media tercampur antara yang otentik dan noise. Trending topic di Twitter contohnya, hampir semuanya noise, apalagi di Indonesia yang data otentiknya rendah. Dalam konversi audience menjadi buyer, noise ini hampir tidak ada nilainya. Tidak bisa diharapkan membeli. Mereka cuma 'tim hore' saja. Ketika media mengukur popularitas topik penggulingan Jokowi lewat partisipasi (baca: kehebohan) di social media, ini bukan cuma prematur, tapi bisa salah ukur. Mengukur potensi action (tindakan nyata) khususnya masalah pergerakan di era social media jauh lebih kompleks dibanding era 90-an. Di masa lalu, potensi action bisa diketahui dengan membaca pergerakan kelompok-kelompok mahasiswa atau masyarakat. Tinggal susupi intel ke dalam. Kekuatannya bisa diukur lewat berapa anggota dan simpatisannya. Karena kelompok masyarakat/mahasiswa ini terikat dalam sebuah ideologi, peraturan dan perilaku kolektif kelompok secara nyata. Kalau ketuanya bilang 'Kita bergerak besok!', maka 1.000 anggotanya ikut bergerak. Bagi yang tak ikut bergerak, ada sanksi organisasi atau sanksi sosial. Tapi sesungguhnya tak ada ideologi, perilaku kolektif dan aturan yang mengikat secara permanen bagi pengguna social media. Kalau Jonru menulis 'Kita bergerak besok!', apa iya 490.000 fans/liker-nya akan ikut bergerak? Bukan saja soal teritorial dan peraturan kelompok, tapi jangan-jangan Jonru sendiri tidak ikut demo. Saya kemudian coba mengukur 'Keyword' Jokowi di social media untuk mengetahui apa sih yang orang-orang bicarakan soal Jokowi ini. Dari data Topsy, tweet terpopuler soal Jokowi (yang berada di puncak-puncak kurva) bukan soal penggulingan atau demonstrasi. Tapi soal topik yang umum saja. Begitu juga ketika saya memantau kata 'Jokowi' di Twitter dengan sentimen negatif, tweet teratas bukan soal penggulingan. Kata 'Jokowi' di Twitter dengan sentimen netral, urutan teratas juga bukan penggulingan. [caption id="attachment_1719" align="aligncenter" width="600" caption="Top tweet dengan keyword Jokowi (Topsy)"]

[/caption] [caption id="attachment_1718" align="aligncenter" width="600" caption="Keyword Jokowi dengan negative sentiment di Twitter (Twitter)"]
Keyword Jokowi dengan negative sentiment di Twitter (Twitter)
Keyword Jokowi dengan negative sentiment di Twitter (Twitter)
[/caption] [caption id="attachment_1720" align="aligncenter" width="600" caption="Top tweet keyword Jokowi dengan neutral sentiment (Twitter)"]
Top tweet keyword Jokowi dengan neutral sentiment (Twitter)
Top tweet keyword Jokowi dengan neutral sentiment (Twitter)
[/caption]

Dengan demikian topik penggulingan Jokowi sebenarnya tidak populer secara umum di social media. Topik ini hanya populer di akun-akun yang berseberangan dengan Jokowi dan audiensnya. Dari sini saya mengambil kesimpulan, topik penggulingan Jokowi di social media hanya Hype (sesuatu dengan promosi dilebih-lebihkan), dan itu pun hanya di kelompok tertentu yang 'tugasnya' memang membenci Jokowi. Kalau sudah jadi hype, maka isinya tidak lebih dari 'tim hore' yang tak bisa diharapkan dikonversikan jadi kelompok action (tindakan nyata). [caption id="attachment_419061" align="aligncenter" width="539" caption="Lelucon satir partisipasi social media tanpa action (9gag)"]

14321818541957149985
14321818541957149985
[/caption] Bila menengok fenomena Arab Spring di Mesir dan Tunisia dimana social media jadi perangkat kunci pergerakan, ketika itu social media tak hanya dimanfaatkan sebagai tool partisipasi. Di sana ketika itu semua media massa mainstream diblokir dan dikendalikan rezim. Sehingga medium publikasi dan komunikasi yang tersisa dan bebas dari tangan rezim hanya social media. Twitter dan Facebook tak cuma dimanfaatkan untuk memberi pengaruh, tapi juga mengorganisir gerakan seperti tempat/waktu berkumpul dan komunikasi antar kelompok. Dengan situasi sekarang di Indonesia, mengharapkan social media bisa dimanfaatkan seperti di Arab Spring, jelas sangat tidak relevan. Dalam segi atmosfer sosial politik pun, sebagai mantan aktivis 98 saya tidak merasakan atmosfer yang sama ketika menggulingkan Soeharto. Benar bahwa sejarah pergerakan di Indonesia selalu menempatkan kaum terpelajar dan mahasiswa di posisi fronting (depan). Mereka diharapkan bisa jadi magnet dan influencer bagi partisipasi dan action publik secara luas. Namun sejarah pergerakan 1965 dan 1998 membutkikan bahwa pergerakan mahasiswa yang berhasil selalu dibangun di atas segitiga kekuatan: mahasiswa, militer dan pengusaha. Segitiga kekuatan ini tidak saya lihat di 2015. Militer dan pengusaha sedang mesra dengan Jokowi. Mahasiswa harus berupaya keras membuat 2 kelompok tersebut tidak mesra lagi. Tapi tampaknya tidak ada keuntungan yang ditawarkan mahasiswa agar militer dan pengusaha berpaling kepada mereka dari Jokowi. Saat ini mahasiswa juga berada di posisi yang sulit. Bukan karena persoalan isu, tapi siapa yang akan mengambil keuntungan. Friksi sosial politik yang berkembang sejak Pilpres 2014, melahirkan peta politik Indonesia yang tanpa poros tengah. Ketika yang satu gugur, kelompok satu lagi pasti mengambil keuntungan. Padahal, kelompok yang berseberangan ini juga tidak 'suci-suci amat'. Bila mahasiswa begerak di 2015, mereka harus bisa menyediakan jawaban yang masuk akal bahwa mereka tidak ditunggangi kelompok seberang. Soal makan malam Jokowi dan aktivis mahasiswa, saya lihat hanya sekedar manajemen kelompok biasa ala Jokowi. Tak ada yang istimewa. Bahkan tanpa makan-makan pun saya yakin situasi adem ayem saja. Tapi, diajak makan pun lebih bagus. Salam Kompasiana! (*) *Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari versi aslinya di Blog Social Lab oleh penulis yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun