Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media akan Jadi Budak Facebook?

16 Mei 2015   05:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14312347602062017226

[caption id="attachment_416433" align="aligncenter" width="510" caption="ilustrasi (sumber: emirhandurmaz)"][/caption]

The New York Times pada Maret 2015 lalu memberitakan bahwa Facebook akan menjadi hosting dan penyedia konten media online. Media seperti The New York Times, Buzzfeed dan National Geographic dikabarkan akan menjadi barisan pertama yang terlibat dalam kerjasama ini. Bila program ini telah berjalan, maka media akan mengunggah (upload) konten ke Facebook, bukan sekedar tautan (link) ke website mereka seperti yang sudah-sudah. Facebook juga akan membuat platform mereka jauh lebih ramah terhadap konten media online. Jadi, kalau mau baca berita/artikel, cukup di Facebook saja. Tak usah lagi ke website media online.

Bagi saya ini hebat sekaligus mengerikan. Hebat karena pengguna akan makin mudah mengakses konten dan terkoneksi dengan komunitas pembaca. Mengerikan karena makin memperkuat dominasi Facebook di jagad konten online. Tapi data-data menunjukkan bahwa kedigdayaan Facebook di dunia social content tak bisa lagi dipungkiri.

SEMUA DATANG DARI FACEBOOK


Di dunia media cetak kita mengenal oplah atau jumlah cetak. Oplah ini bagai 'Tuhan' bagi media cetak karena indikator pertama kesuksesan media cetak menjangkau pembaca. Makin tinggi oplah, makin banyak pembacanya. Makin banyak pembacanya, makin mahal iklannya. Dari iklan lah media cetak hidup. Surat Kabar Kompas saat ini memiliki oplah 500.000 eksemplar per hari -- tertinggi di Indonesia.

Di media online, 'Tuhan'-nya adalah trafik atau jumlah kunjungan pembaca (visitor) ke website. Makin tinggi trafik, artinya makin populer. Makin populer, iklan makin mahal. Semua media hidupnya dari iklan.

Dari mana kah trafik ke media online itu datang saat ini? Dari Facebook.

Pada 2013 Facebook mengumumkan bahwa mereka berhasil meningkatkan trafik ke penyedia konten secara menakjubkan. TIME naik 208%, BuzzFeed 855%, Bleacher Report 1081%, di mana rata-rata semuanya adalah 170%. Bayangkan, karena Facebook media online bisa dapat trafik hampir 3 kali lipat. Bahkan, karena Facebook jua lah mobile application penyedia konten 'mati kutu'. Mobile app milik Washington Post pada 2012 memiliki 4 juta pembaca. Sekarang hampir nol. Pembaca lebih suka membaca konten Washington Post lewat Facebook.

Artinya, kalau media online ingin populer, tak ada cara selain 'nunut' di Facebook. Karena di sana lah 1,4 miliar orang 'hidup' dan berkumpul. Ditambah, 88% persen pembaca Millenials mendapatkan berita dari Facebook.

Maka kehebatan Facebook mana lagi kah yang kita dustakan?

KARENA DIBACA TIDAK LAGI CUKUP


Social media telah mengubah perilaku manusia dalam memperlakukan online content. Dulu, online content cukup mudah dibaca (readable) atau diakses. Maka media online membuat website yang bagus dan cepat diakses.

Ketika social media lahir, konten tak cukup lagi dibaca. Ia harus bisa diinteraksikan (interactable). Pembaca ingin berkomentar, ingin memuji-muji atau mau 'misuh-misuh'. Membaca komentar pembaca di Facebook adalah salah satu kesukaan saya -- karena bisa jadi hiburan dan referensi. Tentu saja semua media online punya fitur komentar di website mereka. Tapi pembaca tak cukup cuma berkomentar, mereka juga ingin komentar mereka dilihat orang. 'Orang' ini hidupnya kalau bukan di Facebook, bukan di website media online.

Cukup kah interactable? Tidak.
Online content juga harus bisa dibagikan (shareable). Berbagi (sharing) adalah elemen kunci social media. Tak ada social media yang tanpa sharing. Lewat sharing itu lah pengguna menunjukkan 'jati diri'-nya dan nilai (value) mereka dalam komunitas atau jejaring. Maka lahir lah social currency, nilai seseorang dalam pergaulan social media.

Contoh, anda menganggap punya batu akik itu keren karena lagi tren. Anda tak cukup mengunggah foto 10 jari anda yang semuanya pakai batu akik ke Facebook. Tapi berita-berita tentang batu akik juga anda share. Anda ingin menunjukkan ke teman-teman Facebook anda bahwa anda keren, tidak kudet (kurang update) dan punya uang yang banyak. Anda ingin meningkatkan nilai sosial di pergaulan social media. Anda ingin menambah social currency.

Begitu pula kalau anda ingin terlihat pandai atau kritis. Maka anda bagi dan komentari berita-berita soal Jokowi, Prabowo, Megawati, Bakrie -- atau siapapun.

Soal elemen readable, salah satu alasan Facebook ingin jadi hosting online content dari media online karena mereka menghitung rata-rata akses tautan dari Facebook ke website mereka 8 detik. Ini terlalu lama dan bisa membuat pembaca kabur duluan. Facebook 'merayu' media online kalau hosting konten ditaruh di Facebook, 8 detik ini bisa ditekan serendah-rendahnya.
Tak cuma itu. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, saat ini memiliki Internet.org yang menyediakan akses internet gratis ke situs-situs terentu. Facebook salah satunya. Makin banyak pula operator selular di dunia, termasuk Indonesia, yang menyediakan akses gratis ke Facebook tanpa dibebani tarif data. Makin lama akses ke Facebook ini makin gratis. Sementara, akses ke media online tidak gratis. Kalau media online ingin kontennya dibaca pengguna dengan internet gratisan, tempatnya di Facebook.

Soal interactable dan shareable, tak perlu dibahas lagi kalau Facebook memang tempatnya.

BERITA DATANG, BUKAN DICARI


Tanya pada diri anda sendiri: seberapa banyak anda membaca sebuah berita/artikel online yang dibagi teman anda lewat Facebook atau social media lain, dibanding anda mengunjungi langsung situs berita tersebut?

Penelitian dari Megalytic menunjukkan, referal atau asal trafik terbesar berasal dari mobile app Facebook 34%, direct 28%, Facebook versi web 23% dan Google 9,8%. Kalau dua platform Facebook digabung maka menjadi 57%.

Alexa menunjukkan trafik ke Kompas.com paling tinggi (refferal) berasal dari Facebook (11,6%) disusul dari Google (11,5%) (report 10 Mei 2015).

Di Facebook anda tidak mencari berita, tapi berita yang datang kepada anda lewat newsfeed yang dibagi teman anda, atau fanpage yang anda ikuti. Kalau anda cari berita, anda akan pergi ke situs langsung atau cari di Google. Tapi ketika data berbicara, pengguna lebih banyak mengunjungi sebuah website lewat Facebook ketimbang mengunjungi langsung.

TEKS SAJA TIDAK CUKUP


Menjadi jurnalis online itu jauh lebih kompleks ketimbang jurnalis media mainstream. Mereka harus menguasai publikasi dalam banyak bentuk: teks, foto, gambar grafis, video dan audio. Ini karena pembaca online content adalah pembaca visual. Mereka perlu 'alat bantu' untuk lebih memahami konten. Dan bukan ilmu baru kalau perangkat visual memang dibutuhkan untuk menyampaikan pesan secara lebih jelas, dalam dan atraktif. Pembaca sekarang makin banyak maunya, deh!

Kita tak perlu bahas soal bagaimana Facebook mengkolaborasi konten teks, foto dan gambar grafis. Memang di sana tempatnya. Tapi soal video bisa bikin 'merinding'. Saat ini Youtube (milik Google) masih raja video online, tapi tidak akan lama lagi. Jumlah viewer video di Facebook naik 75% pada 2014. Sementara pemirsa Youtube turun 9% di tahun yang sama. Selain itu, video di Facebook memiliki 76,9% share, sementara Youtube cuma 23,1%.

Dengan data visual content ini, media online bukan saja makin 'dipaksa' mengakui bahwa mereka membutuhkan Facebook. Tapi mereka juga bisa memangkas kebutuhan finansial, infrastruktur teknologi dan SDM yang sangat tinggi. Data-data visual seperti foto dan video tidak saja membutuhkan tempat penyimpanan yang besar, tapi juga konektivitas atau bandwith tinggi pada website mereka -- dan harus dirawat terus-menerus. Misal, bukan cerita baru kalau membuka foto atau video di sebuah website bisa memakan waktu lama. Bukan hanya karena bandwith server website itu yang kurang, tapi teknologi websitenya kurang canggih. Tapi kalau mereka taruh data visual itu di Facebook, biar para jenius di Silicon Valley yang urus -- dan mereka terbukti jagoan.

DULU MEMBAYAR, KINI DIBAYAR


Sampai saat ini bila kita ingin berpromosi di Facebook, kita harus bayar. Begitu pula dengan media online. Tapi dengan konsep yang baru ini, Facebook dan media online akan saling berbagi pendapatan iklan. Facebook akan menggunakan laman media online di Facebook untuk menampilkan iklan bagi pembaca media tersebut. Jadi, bila media online sebelumnya membayar untuk beriklan di Facebook, kini mereka dibayar oleh Facebook.

Seberapa gurihnya iklan Facebook?
Pada 2014, pendapatan Facebook $12,5 miliar atau Rp162,5 triliun atau naik 58% dibanding tahun sebelumnya. Memang masih kalah dibanding revenue Google Ads dengan $66 miliar  pada 2014. Tapi dengan pertumbuhan revenue Google Ads yang 'cuma' 19%, angka pertumbuhan 58% Facebook ads benar-benar menjanjikan.

MEDIA AKAN MENYERAHKAN SEGALANYA


Dengan semua keuntungan yang ditawarkan Facebook di atas, seberapa kuat kiranya media online menolak itu? Tapi di sisi lain mereka akan menyerahkan hal-hal sangat vital untuk dikendalikan Facebook.

Seperti dikatakan Ravi Somaiya, media akan kehilangan data-data berharga soal pembaca dan perilaku mereka yang dulu didapatkan lewat backend situs mereka. Facebook memang belum mengumumkan data apa saja yang akan mereka bagi dengan media rekanan. Meski pun dibagi semua, Facebook akan dapat data-data berharga ini secara 'gratis' untuk diri mereka sendiri. Facebook akan lebih mengenal lebih banyak pengguna. Data-data ini akan memperkuat bisnis Facebook -- untuk dijual kepada pengiklan.

Data-data trafik juga akan dimanfaatkan Facebook untuk melawan kompetitor mereka -- terutama Youtube dalam persaingan video content. Ketika media online di Facebook mempublikasikan lebih banyak video dan mendapatkan pemirsa, Facebook akan mengatakan kepada pengiklan bahwa mereka lebih baik ketimbang Youtube di jagad video.

Mempublikasikan konten dari website ke Facebook juga sama saja memindahkan pembaca dan pengiklan dari website ke Facebook. Media online akan kehilangan kontrol atas pembaca dan pengiklan --kontrol itu beralih ke Facebook. Kelak, kita juga tidak akan lagi kenal dengan website media online, tapi media Facebook.

Yang terpenting, ketika semua ini diserahkan ke Facebook karena kenikmatan yang mereka tawarkan, media online akan sepenuhnya menyerahkan nasib brand mereka ke tangan Facebook. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun