Cukup kah interactable? Tidak.
Online content juga harus bisa dibagikan (shareable). Berbagi (sharing) adalah elemen kunci social media. Tak ada social media yang tanpa sharing. Lewat sharing itu lah pengguna menunjukkan 'jati diri'-nya dan nilai (value) mereka dalam komunitas atau jejaring. Maka lahir lah social currency, nilai seseorang dalam pergaulan social media.
Contoh, anda menganggap punya batu akik itu keren karena lagi tren. Anda tak cukup mengunggah foto 10 jari anda yang semuanya pakai batu akik ke Facebook. Tapi berita-berita tentang batu akik juga anda share. Anda ingin menunjukkan ke teman-teman Facebook anda bahwa anda keren, tidak kudet (kurang update) dan punya uang yang banyak. Anda ingin meningkatkan nilai sosial di pergaulan social media. Anda ingin menambah social currency.
Begitu pula kalau anda ingin terlihat pandai atau kritis. Maka anda bagi dan komentari berita-berita soal Jokowi, Prabowo, Megawati, Bakrie -- atau siapapun.
Soal elemen readable, salah satu alasan Facebook ingin jadi hosting online content dari media online karena mereka menghitung rata-rata akses tautan dari Facebook ke website mereka 8 detik. Ini terlalu lama dan bisa membuat pembaca kabur duluan. Facebook 'merayu' media online kalau hosting konten ditaruh di Facebook, 8 detik ini bisa ditekan serendah-rendahnya.
Tak cuma itu. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, saat ini memiliki Internet.org yang menyediakan akses internet gratis ke situs-situs terentu. Facebook salah satunya. Makin banyak pula operator selular di dunia, termasuk Indonesia, yang menyediakan akses gratis ke Facebook tanpa dibebani tarif data. Makin lama akses ke Facebook ini makin gratis. Sementara, akses ke media online tidak gratis. Kalau media online ingin kontennya dibaca pengguna dengan internet gratisan, tempatnya di Facebook.
Soal interactable dan shareable, tak perlu dibahas lagi kalau Facebook memang tempatnya.
BERITA DATANG, BUKAN DICARI
Tanya pada diri anda sendiri: seberapa banyak anda membaca sebuah berita/artikel online yang dibagi teman anda lewat Facebook atau social media lain, dibanding anda mengunjungi langsung situs berita tersebut?
Penelitian dari Megalytic menunjukkan, referal atau asal trafik terbesar berasal dari mobile app Facebook 34%, direct 28%, Facebook versi web 23% dan Google 9,8%. Kalau dua platform Facebook digabung maka menjadi 57%.
Alexa menunjukkan trafik ke Kompas.com paling tinggi (refferal) berasal dari Facebook (11,6%) disusul dari Google (11,5%) (report 10 Mei 2015).
Di Facebook anda tidak mencari berita, tapi berita yang datang kepada anda lewat newsfeed yang dibagi teman anda, atau fanpage yang anda ikuti. Kalau anda cari berita, anda akan pergi ke situs langsung atau cari di Google. Tapi ketika data berbicara, pengguna lebih banyak mengunjungi sebuah website lewat Facebook ketimbang mengunjungi langsung.
TEKS SAJA TIDAK CUKUP
Menjadi jurnalis online itu jauh lebih kompleks ketimbang jurnalis media mainstream. Mereka harus menguasai publikasi dalam banyak bentuk: teks, foto, gambar grafis, video dan audio. Ini karena pembaca online content adalah pembaca visual. Mereka perlu 'alat bantu' untuk lebih memahami konten. Dan bukan ilmu baru kalau perangkat visual memang dibutuhkan untuk menyampaikan pesan secara lebih jelas, dalam dan atraktif. Pembaca sekarang makin banyak maunya, deh!
Kita tak perlu bahas soal bagaimana Facebook mengkolaborasi konten teks, foto dan gambar grafis. Memang di sana tempatnya. Tapi soal video bisa bikin 'merinding'. Saat ini Youtube (milik Google) masih raja video online, tapi tidak akan lama lagi. Jumlah viewer video di Facebook naik 75% pada 2014. Sementara pemirsa Youtube turun 9% di tahun yang sama. Selain itu, video di Facebook memiliki 76,9% share, sementara Youtube cuma 23,1%.