[caption id="attachment_411398" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption] Social media memberi kontribusi besar dalam perkembangan demokrasi dunia. Ia menjadi medium paling efektif, efisien, cepat dan luas bagi warga dalam berpartisipasi dalam berpendapat dan bergerak. Twitter dan Facebook memainkan peranan sangat penting dalam revolusi Arab Spring dalam menyatukan ide dan menggerakkan revolusi, khususnya di Mesir dan Tunisia. Sehinga muncul istilah baru: Twitter Rebellion, Facebook Revolution dan Social Activism. Di dalam negeri kita juga melihat social media, khususnya Twitter, menjadi medium penyatuan kesadaran kolektif virtual (virtual collective consciousness, VCC). Contohnya #SaveAhok #SaveKPK. Bedanya, di Indonesia VCC ini baru menggerakkan netizen sebatas mengetik di ponsel masing-masing, belum sampai turun ke jalan. Berbeda dengan di Timur Tengah. Hashtag #Egypt atau #Tunisia mampu menggerakkan jutaan orang turun ke jalan dan menciptakan revolusi. Apa bedanya #SaveKPKÂ dan #Egypt? Saya akan membuat perbandingan menurut pengalaman pribadi saat mengelola gerakan #SaveSepinggan di Kalimantan Timur (Kaltim) dan gerakan Arab Spring khususnya #Egypt. #SaveSepinggan Sepinggan adalah nama bandara di Balikpapan, Kaltim. Ia adalah satu-satunya bandara internasional, terbesar dan modern di Kalimantan. Pada akhir 2013 Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak berencana mengubah nama Bandara Sepinggan menjadi Bandara Sultan Aji Muhammad (AM) Sulaiman. AM Sulaiman adalah Sultai Kutai di abad ke-18. Desember 2013 saya diundang oleh kawan-kawan aktivis Balikpapan berdikusi tentang gerakan menentang perubahan nama tersebut. Alasannya banyak, dan tulisan ini tidak membahas soal alasan itu. Kami sepakat untuk memulai gerakan penolakan ini dari social media dan berlanjut ke gerakan nyata. Saya ditunjuk memimpin gerakan virtual, mengkurasi konten dan mengelola interaksi (engagement). Kebetulan saya adalah pengelola akun Twitter @KotaBalikpapan akun informasi perkotaan terbesar di Pulau Kalimantan dan Indonesia Tengah dengan 108.000 follower. Saya juga ditugasi media relation karena bekerja di surat kabar. Goal yang dibebankan kepada saya jelas dan tegas: membangun VCC agar mampu menggerakkan warga secara nyata sehingga mengubah kebijakan Gubernur. Saya langsung melakukan campaign #SaveSepinggan lewat @KotaBalikpapan dan menggandeng akun Twitter informasi Balikpapan lainnya. Saya membuat e-flyer, e-poster dan meme penolakan tersebut. Saya juga membuat petisionline di Change.org. Materi referensi alasan penolakan dan diskusi setiap hari dipublikasikan di @KotaBalikpapan. Secara rutin saya mengirim press release ke surat kabar yang ada di Kaltim. Dengan sangat cepat #SaveSepinggan menjadi begitu viral, engage, intens dan langsung menarik perhatian. Media massa jadi tertarik membahas gerakan #SaveSepinggan ini. Maka digulirkan lah isu ini di surat kabar secara terus-menerus. Kaltim, khususnya Balikpapan gempar. Soalnya, Balikpapan dikenal sebagai kota yang tentram dan jarang protes. Kali warga Balikpapan protes sangat keras meski baru lewat social media. Ketika itu belum ada samasekali aksi turun ke jalan. Tapi di social media dan surat kabar ributnya bukan main. Surat kabar sebagai media mainstream juga memainkan peranan strategis sebagai 'penerima bola'. Mereka mewawancarai Gubernur, Walikota Balikpapan, DPRD Kaltim dan Balikpapan, kelompok masyarakat, dll. Hingga muncul pernyataan dari kelompok masyarakat dan etnis yang menyatakan di surat kabar bahwa mereka menolak perubahan nama Sepinggan. Kami sudah dapat banyak teman. Pada titik ini lah teman-teman di gerakan #SaveSepinggan memulai aksi long march. Tapi jumlahnya sedikit, tidak sampai 100 orang. Aksi cukup besar justru dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang bergerak sendiri. Para aktivis ini berhasil membuat Ketua DPRD Balikpapan Andi Burhanuddin Solong menandatangani surat pernyataan menolak perubahan nama Sepinggan. Peristiwa ini dirayakat sangat meriah di social media. [caption id="attachment_1552" align="aligncenter" width="320" caption="Aksi long march #SaveSepinggan (sumber: Kaskus)"]
- Isu tentang perubahan nama bandara
- Digerakkan lewat Twitter menggunakan buzzer besar perkotaan
- Social media sebagai pencetus, media massa sebagai penggerak
- Kelompok strategis digerakkan media massa yang berada di luar kelompok pencetus
- VCC terjadi begitu deras di social media, tapi netizen tidak turun ke dunia nyata.
- Gerakan social media diredam untuk mencegah konflik keras di dunia nyata
Berikut tentang #Egypt
- Isu tentang pemerintahan, kesejahteraan, represi, militer, dan semua aspek penting kebangsaan.
- Media massa dikontrol atau diblokir pemerintah.
- Twitter menjadi satu-satunya medium pertukaran informasi dan komunikasi.
- Isu yang krusial dan strategis yang menyangkut harkat hidup orang banyak membuat orang bersedia turun.
Twitter Rebelion Hype: #SaveKPK VCC dalam arus yang besar juga kita lihat pada #SaveKPK atau #SaveAhok. Tapi ia cuma bergaung di social media dan media massa saja. Aksi turun ke jalan hanya jumlah kecil. Pada akhirnya juga tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Ia cuma ramai-ramai di dunia maya saja atau hype. Hype di social media macam ini bisa kita temukan hampir setiap hari. VCC melahirkan 'save ini' atau 'save itu'. Tapi itu cuma berhenti di trending topic. Kesimpulan Revolusi tidak pernah digerakkan oleh social media, ia hanya pencetus gerakan dan medium pertukaran ide. Seberapa besar sebuah isu mempengaruhi kepentingan rakyat tetap menjadi kunci utama. Keterbukaan informasi juga memainkan peranan sangat penting. Sangat sulit (atau mustahil) berharap #Egypt atau #Tunisia bisa terjadi di Indonesia yang membebaskan pertukaran informasi dan gagasan lewat berbagai medium. Kebebasan berpendapat adalah pondasi terpenting dalam demokrasi. Ia akan terus berjuang mendesak keluar ketika dihalangi. Dan ketika tembok itu roboh, yang datang adalah air bah. Saya pribadi melihat VCC di Indonesia dalam konteks politik, hukum dan sosial hanya sebatas hype. Social media digunakan sebatas katalis pertukaran pendapat, bukan menggerakkan ke aksi nyata dalam jumlah masif. Orang bereaksi di social media baru sebatas urun rembuk, keberpihakan pada topik, atau social currency. Yang justru memainkan peranan penting dalam pergerakan adalah media massa mainstream. Namun dengan keterbukaan informasi yang dimiliki Indonesia, apapun topik yang diarahkan atau digalang media massa, selalu bisa menemukan perimbangannya. Perimbangan itu dilakukan oleh media massa lain atau social media. (*) Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari versi aslinya di Blog Social Lab oleh penulis yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H