Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menunggu Lompatan Indonesia di Padang Energi (Bagian 2/3)

8 April 2015   18:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upah pekerja migas lokal dan impor per tahun berdasar negara (Sumber: Hay: Oil & Gas Global Salary Guide 2013)

[caption id="attachment_408230" align="aligncenter" width="576" caption="LEBARAN SUNYI PEJUANG ENERGI: Sejumlah pekerja muslim di anjungan lepas pantai, PAPA, Flowstation Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mendengarkan kotbah Idul Fitri di perairan Karawang, Jawa Barat (28/7/14). (Sumber: Okezone)"][/caption] (Tulisan ini adalah bagian ke-2 dari tulisan bagian pertama Menunggu Lompatan Indonesia di Padang Energi (Bagian 1/3))

C. BONUS DEMOGRAFI 2020: TANTANGAN BERPOTENSI ANCAMAN

Sudah jelas pemerintah memegang peranan terpenting dalam pengembangan SDM dalam negeri dalam kepentingan strategis ketahanan energi. Sistem politik sosialis dan terpusat China (yang sering disebut otoriter) nyatanya memberi dampak kuat dalam mendorong penguatan kapasitas bangsa terutama ketahanan energi, industri dan laju pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, SDM nasional tak hanya pelaku, tapi sekaligus tujuan pembangunan dan pemangku kepentingan utama. Sebagai negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan menuju bonus demografi 2020, Indonesia memiliki potensi ini. Bonus demografi dimana rasio ketergantungan populasi non-produktif terhadap populasi produktif berada di tingkat terendah, adalah berkah yang ditunggu-tunggu setiap negara. Ia hanya terjadi dalam beratus-ratus tahun. Bonus demografi Jepang tahun 1950-an adalah kunci terpenting negara itu dalam laju pertumbuhan industri dan ekonomi Jepang. [caption id="attachment_1527" align="aligncenter" width="480" caption="Bonus demografi Indonesia (Sumber: Badan Pusat Statistik)"]

[/caption] Namun Indonesia tengah berhadapan dengan berbagai tantangan. C.1. Upah Industri Migas Domestik Tidak Menarik Bagi Pekerja Domestik Jumlah pekerja migas Indonesia, terutama yang high-skilled, masuk 3 besar di ASEAN. Namun tidak sedikit yang bekerja di luar negeri untuk NOC negara lain, yang otomatis memperkuat ketahanan energi negara asing yang tengah bersaing dengan Indonesia. Salah satu alasan utama mereka meninggalkan Ibu Pertiwi karena merasa lebih dihargai oleh perusahaan asing ketimbang dalam negeri dari segi upah. Sementara, industri migas dalam negeri memberikan upah lebih dari 3 kali lipat bagi ekspatriat dibanding tenaga kerja lokal. Rata-rata ekspatriat migas Indonesia mendapatkan upah $146.000/tahun atau Rp1,9 miliar. Sementara rata-rata pekerja migas lokal hanya diupah rata-rata $42.200/tahun atau Rp550 juta. Sebagai warga Balikpapan yang dijuluki Kota Minyak, saya memiliki banyak teman pekerja migas domestik yang bekerja di dalam dan luar negeri. Mereka yang bekerja di luar negeri mengatakan upah yang mereka dapatkan bisa 3-5 kali lipat dibanding bila mereka bekerja di dalam negeri. Keuntungan lain, mereka bisa mengembangkan diri bekerja di ekosistem berteknologi tinggi dengan SDM andal dari berbagai negara. Hampir semuanya mengatakan akan pulang ke Indonesia dan berkumpul lagi bersama keluarga seandainya industri migas domestik bisa memberikan upah yang bersaing dengan luar negeri, serta menyediakan ekosistem industri yang mendukung pengembangan diri. [caption id="attachment_1528" align="aligncenter" width="460" caption="Upah pekerja migas lokal dan impor per tahun berdasar negara (Sumber: Hay: Oil & Gas Global Salary Guide 2013)"]
Upah pekerja migas lokal dan impor per tahun berdasar negara (Sumber: Hay: Oil & Gas Global Salary Guide 2013)
Upah pekerja migas lokal dan impor per tahun berdasar negara (Sumber: Hay: Oil & Gas Global Salary Guide 2013)
[/caption] C.2. Serbuan SDM ASEAN Dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 membuka pintu selebar-lebarnya bagi pekerja dari seluruh ASEAN masuk ke Indonesia, salahsatunya ke industri migas. Malaysia, Vietnam dan Filipina adalah mereka yang menyediakan banyak tenaga kerja migas. Sementara upah yang ditawarkan industri migas di Indonesia sangat menggiurkan bagi ekspatriat seperti disebut di atas. Hal ini akan menjadi celah serbuan masuknya pekerja migas asing dari wilayah ASEAN dan menurunkan nilai kompetisi pekerja migas domestik yang tersedia di dalam negeri. Di sisi lain, pekerja migas domestik yang high-skilled akan lebih memilih bekerja di luar negeri ketika upah yang disediakan bagi mereka di dalam negeri tidak menarik. Membanjirnya tenaga kerja impor yang akan menguasai bidang medium-skilled dan high-skilled di Indonesia berpotensi memicu konflik sosial dengan pekerja lokal yang hanya digunakan di bidang low-skilled. [caption id="attachment_1529" align="aligncenter" width="480" caption="Jumlah pekerja Asia Tenggara berdasar negara (Sumber: ASEAN DNA)"]
Jumlah pekerja Asia Tenggara berdasar negara (Sumber: ASEAN DNA)
Jumlah pekerja Asia Tenggara berdasar negara (Sumber: ASEAN DNA)
[/caption] Saya tidak melihat ada yang bagus ketika ketahanan energi nasional ditangani bukan oleh Putra Bangsa, yang justru bekerja di luar negeri untuk kepentingan ketahanan energi negara lain yang merupakan pesaing Indonesia di kancah perebutan sumberdaya. Pemerintah harus segera memanggil Putra Bangsa pulang, membangun industri migas sebagai bisnis yang menarik sehingga bisa menawarkan upah yang adil bagi tenaga lokal, serta meningkatkan kapasitas SDM bidang energi untuk meningkatkan daya saing manusia Indonesia yang tengah berhadapan dengan warga ASEAN lainnya. C.3. Daya Saing SDM Di ASEAN, daya saing SDM Indonesia masih berada di urutan tengah. Dengan jumlah penduduk 43% dari seluruh populasi ASEAN, Indonesia jelas akan menjadi arus utama barang, jasa dan investasi. Sementara, Pemerintah telah mencanangkan MP3EI yang didanai sebesar Rp4.000 triliun. Proyek pemerintah akan membanjir dan industri akan melaju. MP3EI akan menyerap sedikitnya 9,5 juta tenaga kerja dan keseluruhan industri memerlukan 30 juta tenaga kerja baru di 2020. Lalu bagaimana dengan SDM domestik yang diharapkan bisa menjadi pelaku? Indeks daya saing global (global competitiveness index) SDM Indonesia tahun 2014-2015 berada di urutan ke-34. Kita berada jauh dibanding Singapura (urutan 2), Malaysia (urutan 20) bahkan Thailand (urutan 31). Tenaga kerja Indonesia masih urutan pertama di ASEAN dengan penyediaan 127 juta orang, jauh melampaui Vietnam di urutan kedua dengan 52 juta orang. Sementara, pendidikan SDM nasional juga masih rendah. Dari 118 juta pekerja Indonesia di 2014 berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), berasal dari lulusan SD 55 juta orang (46%), SMP 21 juta, SMA 18 juta, diploma 3 juta dan universitas 8 juta. Setidaknya saat ini ada 7 juta pengangguran. [caption id="attachment_1530" align="aligncenter" width="356" caption="Peringkat daya saing global 2014-2015 (Sumber: World Economic Forum)"]
Peringkat daya saing global 2014-2015 (Sumber: World Economic Forum)
Peringkat daya saing global 2014-2015 (Sumber: World Economic Forum)
[/caption] Kekhawatiran bukan hanya soal tergusurnya tenaga kerja domestik karena kalah bersaing dengan SDM impor, namun juga pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menyerap tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 4-5% per tahun sebenarnya belum cukup untuk memanfaatkan bonus demografi. Diprediksikan, bila Indonesia tidak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 9-10% per tahun, maka di 2020 akan muncul 20 juta pengangguran baru. Angka 10% memang terdengar fantastis dan pemerintah perlu rencana cadangan apabila target pertumbuhan itu tak tercapai. Salah satunya adalah mengekspansi industri nasional ke luar negeri sebagai alat serap ketersediaan tenaga kerja domestik, seperti yang dilakukan China di Benua Afrika, bahkan di Kalimantan Timur. Lagi-lagi Indonesia harus belajar dari China untuk mengatasi persoalan SDM ini sebagai sesama negara dengan populasi jumbo. Indonesia harus segera menetapkan fokus bidang keilmuan penduduknya: pilih terapan atau murni. Meski saat ini Pemerintah gencar dengan pendidikan vokasi terutama kalangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), kenyataannya pengangguran dari SMK justru naik dengan alasan skill mereka belum standar industri dan ketersediaan lapangan kerja. Karena itu transfer teknologi terapan khususnya energi dan industri strategis harus segera dikebut, salah satunya menggunakan daya tawar Pemerintah ke perusahaan asing berteknologi tinggi yang beroperasi di Indonesia. Peningkatan jumlah lembaga sertifikasi industri dan pesertanya juga harus dilakukan secara cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar akan SDM berstandar industri. Tantangannya bukan lagi menciptakan SDM siap kerja, namun SDM yang dibutuhkan oleh pasar global di level medium dan high skill yang kelak berkiprah di dalam dan luar negeri untuk kepentingan nasional. (*/bersambung ke bagian 3-terakhir) Tulisan ini dibuat untuk Blog Competition: Peningkatan Peran SDM dan Industri dalam Negeri pada Kegiatan Hulu Migas yang diselenggarakan oleh SKK Migas bekerjasama dengan Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun