[caption id="attachment_401063" align="aligncenter" width="581" caption="Ilustrasi: Twitbot (Wired.com)"][/caption] Di sela makan siang di seminar Membangun dan Meraih Keuntungan dari Online Store yang diadakan Kantor Pos Indonesia di mana saya menjadi pembicara pada 26 Februari 2015 lalu, seorang general manager (GM) sebuah hotel terkenal di Balikpapan datang dan duduk semeja dengan saya. Ia bertanya, "Pak Hilman, hotel saya ingin mengembangkan social commerce. Bagaimana cara cepat agar akun social media hotel saya mendapat banyak follower dan liker?" Saya balas bertanya apakah ia ingin jawaban mudah atau jawaban sulit. Ia memilih jawaban mudah. Karena saya sudah lama kenal dengannya, maka saya bicara lebih santai. Jawaban saya, "Kalau Bapak menginginkan (maaf) hubungan intim, saya bisa mengantarkan anda ke sebuah lokasi prostitusi di mana kita bisa dapat PSK dengan harga kompetitif. PSK ini tidak tampak seperti PSK pada umumnya. Penampilan mereka seperti wanita baik-baik, tutur bicaranya halus, cantik gemulai seperti perempuan mulia, dan bisa memberikan apa pun yang kita butuhkan. Tapi kalau Bapak ingin seorang wanita untuk dijadikan istri dan pendamping hidup yang setia, menghargai anda, membesarkan anak-anak anda, saya akan tunjukkan caranya, tapi tidak ada jalan pintas untuk yang satu itu". Ia terkejut. Kepala Operasional Kantor Pos Regional Kalimantan Bapak Akhmad Taufik yang duduk di sebelah saya sampai tersedak dan tertawa terbahak-bahak. Untung lah 6 orang yang berada dalam satu meja makan saat itu pria semua, jadi kami tak perlu merasa masygul. Menurut saya bisnis follower/liker palsu memang sekotor bisnis prostitusi. Penyediaan jasa follower, liker/fans, subscriber (kita sebut saja robot) di social media telah menjadi industri. Pada 2013, menurut riset Baracuda Labs, transaksi yang terjadi di industri jasa follower/liker palsu mencapai $360 juta atau Rp4,6 triliun! Jasa ini bisa jadi industri karena banyaknya permintaan yang timbul karena pengguna social media masih dihinggapi ilusi seperti yang saya tulis di tulisan ini. Karena telah jadi industri, development-nya makin berkembang. Saat ini hampir mustahil membedakan secara kasat mata mana yang follower asli dan mana yang robot. Robot sekarang memiliki profile page layaknya manusia asli, aktif meng-update post, bisa melakukan mention dan engagement, bahkan bisa menjawab bila ditanya! Harganya? Murah. Rp20-50 ribu per 1.000 robot. Orang hanya harus keluar uang Rp2-5 juta (bahkan kurang) untuk mendapatkan 100.000 robot sebagai follower atau liker. Nilai uang yang kecil untuk pemilik brand. Oh, jadi anda ingin follower/liker dari daerah tertentu (misal dari Balikpapan), berbahasa Indonesia, aktif update, punya banyak follower dan following serta akunnya sudah berumur lebih dari 6 bulan? Bisa. Sebagai orang yang aktif di dunia bawah tanah internet sejak 1998, saya tetap memelihara hubungan dan perkembangan terkini tentang sisi gelap internet. Dalam industri robot social media, teknologinya rata-rata dikembangkan oleh blackhater (sebutan bagi pengembang cara-cara curang/black hat di internet) dari China, Eropa dan Israel. Mereka tidak bekerja sendiri, tapi berkolaborasi dengan blackhater yang menyediakan jasa layanan terkait. Di dunia bawah tanah, 1.000 email verified Yahoo dijual seharga $5, 10.000 proxy dijual $12, dan $10 untuk program yang bisa men-by pass captcha pada halaman pendaftaran Twitter atau Facebook. Dalam sehari, seorang blackhater bisa memproduksi 50.000 akun baru di Twitter atau Facebook. Setelah akun-akun baru selesai dibuat, mereka semua dikendalikan lewat sebuah program yang biasa disebut ‘Admin Panel' dengan artificial inteligent (kecerdasan buatan) yang rumit sekaligus mengagumkan. Di Admin Panel ini semua robot akan diperintah menciptakan profile page mereka sendiri mengambil dari profile page manusia asli dari daerah/negara tertentu. Semua data diambil mulai foto, bio, lokasi, orang yang di-follow, bahkan isi timeline. Robot-robot ini akan saling follow, sehingga perbandingan antara following dan follower, atau Facebook friend mereka seimbang. Agar terlihat hidup, robot secara otomatis mengambil isi timeline orang lain secara acak. Bahkan sudah ada beberapa script yang bisa membuat robot menjawab/reply sebuah mention. Bila ada permintaan pembelian follower dari negara tertentu, misal follower Indonesia, Ukrania, Amerika Serikat dll, pemilik robot tinggal mengakses admin panel, memilih berapa banyak robot yang harus ‘ganti baju'. Sekali klik ribuan robot yang diperintahkan berganti profile, menghapus timeline, mengkopi timeline lain, langsung patuh dan menjalankannya. Tak ada lagi robot dengan foto profile ‘telur' dan timeline yang hanya berisi iklan.
Industri bawah tanah ini sedemikian besarnya sehingga tidak mungkin dimonopoli satu pihak. Pencipta teknologinya memang dari China, Eropa dan Israel, tapi admin panel dioperasikan dan diperdagangkan oleh orang-orang dari India dan Bangladesh. Industri jasa Amerika dan Eropa dalam beberapa tahun belakangan memang pindah ke India dan Bangladesh. Dua negara itu secara cepat beradaptasi dan mengembangkan kemampuan IT rakyatnya dan kualitasnya berstandar bisnis. Yang paling penting, harga man power mereka sangat murah karena biaya hidup di negara mereka sangat jauh lebih rendah dibanding di Eropa atau AS. Di Eropa, penghasilan $500/bulan hanya akan menjadikan seseorang tunawisma. Tapi $500/bulan di India dan Bangladesh bisa membuat orang dianggap kaya. Situs-situs penjual follower/liker berbasis di Eropa dan AS rata-rata memasang tarif $100-$150 untuk 1.000 follower/liker. Di marketplace seperti Freelancer dan Fivver, $100-$150 bisa untuk membeli 100.000-250.000 follower/liker.
Bahkan baru-baru ini di situs Freelancer, seseorang dari Bangladesh menerima pekerjaan menambah 1 juta liker dengan profile Yunani untuk sebuah Fanpage Yunani dengan harga hanya $225. Bayangkan, 1 juta liker ! Admin panel yang lebih sederhana turut diperdagangkan oleh orang India dan Bangladesh ke negara lain, termasuk Indonesia. Admin panel turunan ini hanya menyediakan robot dengan profile negara tertentu, tidak bisa mengubah profile, tidak bisa mengontrol robot untuk tugas yang kompleks dan jumlahnya terbatas.
Di Indonesia, harga follower/liker palsu rata-rata Rp20-50 ribu per 1.000 follower/liker. Masih banyak cara curang lain yang digunakan untuk menciptakan robot. Bahkan pengguna asli Twitter bisa dijadikan robot tanpa sepengetahuan mereka, atau dengan aplikasi saling follow. Dari sini kita tahu industri robot ini semakin berkembang karena banyaknya permintaan, uang yang berputar dan bisa menghidupi banyak orang.
Apakah pengelola Twitter, Facebook dan social media lain tidak tahu tentang ini? Tahu. Tapi mereka terus ditantang dengan makin rumitnya teknologi yang digunakan pengembang robot. Twitter dan Facebook semaksimal mungkin berupaya agar pembasmian robot ini tidak berdampak pada pengguna asli. Misal, Twitter dan Facebook bisa dengan mudah memblokir alamat IP (internet protocol) para robot, namun itu bisa berdampak pada pengguna asli yang menggunakan IP tersebut. Ini masuk akal karena IP itu didapatkan secara ilegal dan digunakan sebagai proxy oleh pengembang robot. Twitter dan Facebook tentu juga mengembangkan aplikasi yang bisa mendeteksi robot. Namun karena robot makin seperti manusia, maka aplikasi itu harus lebih rumit dan presisi agar tidak merugikan pengguna asli. Misalnya, tidak sampai menghapus akun pengguna asli ketika aplikasi dijalankan. Saya mencatat setidaknya 4 kali dalam setahun Twitter dan Facebook melakukan pembasmian ‘hama' robot ini secara massal. Akun para pembeli langsung kehilangan follower/liker secara drastis. Saya melihat ada akun seorang selebiriti yang kehilangan 2 juta follower dalam sehari. Ketika saya tengok ke situs forum bawah tanah para pengembang dan pedagang robot, hampir semuanya murka dan diprotes oleh konsumen mereka. Industri ini bisa sedemikian besar dan berkembang karena
pengguna social media dan pelaku social commerce terjebak dalam ilusi game number (permainan angka) follower/liker. Benar bahwa jumlah follower/liker adalah social currency seseorang di social media yang menandakan popularitas. Namun bagi brand yang menjalankan social commerce,
game number ini benar-benar area berbahaya untuk dimainkan. Pertama, robot tidak bisa membeli produk anda sehingga tidak ada gunanya berbicara kepada mereka (sebagai audiens).
Kedua, robot hanya di-follow oleh robot, sehingga ketika mereka melakukan engagement berupa retweet, comment, reply atau mention, pesan itu hanya menjangkau kawanan mereka sesama robot.
Ketiga, anda akan kecanduan karena menemukan cara cepat (meski curang) dan murah untuk mencapai popularitas. Game number ini akan jadi satu-satunya yang anda agung-agungkan kepada kompetitor, stakeholder atau bahkan kepada konsumen.
Keempat, anda bermain curang dan terpapar risiko ‘tertangkap' yang sangat besar oleh pengelola platform (Twitter dan Facebook). Tidak ada yang menjamin ribuan bot anda bisa bertahan sampai besok, minggu depan dst. Ketika pembasmian hama robot dilakukan dan anda kehilangan follower/liker dalam jumlah besar, konsumen anda akan tahu bahwa anda melakukan kecurangan dalam membangun popularitas.
Kelima, robot tidak bisa melakukan hal yang anda harapkan dari seorang brand loyalis atau advocate ketika anda membutuhkan komunitas untuk mendukung anda.
Lalu, apakah robot tidak ada gunanya selain game number? Saya harus adil dan mengatakan bahwa robot punya manfaat lain yang harus diperhitungkan dan terbukti memberi keuntungan.
Pertama, semut datang ke tempat semut lain berkumpul. Jumlah follower/liker sebagai social currency utama di social media adalah ilusi yang hinggap di mayoritas pengguna social media. Makin banyak follower/liker, otomatis dianggap populer, dan orang cenderung melibatkan diri dalam popularitas. Jadi, robot bisa berguna untuk memancing bergabungnya follower asli.
Kedua, search engine result page (SERP). Sebagai bagian dari ekosistem dunia maya, menggunakan search engine (mesin pencari) adalah bagian dari aktivitas kita. Mesin pencari paling populer dan paling banyak digunakan adalah Google, Twitter dan Youtube. Semakin banyak follower/liker anda, SERP anda makin tinggi. Brand anda akan tampil paling atas ketika pengguna internet memasukkan kata kunci (keyword) yang berhubungan dengan produk atau industri anda. Tampil di urutan teratas di halaman pertama pencarian Google dan Twitter adalah dambaan setiap brand yang hidup dalam ekosistem online. Tujuan ini tidak hanya dicapai dengan mengerahkan robot untuk follow atau like, tapi juga dengan melakukan engagement (retweet, comment, share, post like dll). Makin banyak engagement yang dilakukan robot ke akun anda, makin tinggi SERP yang dihasilkan.
Ketiga, menciptakan trending topic. Anda mungkin sering melihat trending topic dengan hashtag yang ‘aneh' atau ‘nggak penting banget' bertengger di daftar trending topic Twitter. Faktanya, tidak sedikit trending topic yang di-tailored atau diciptakan oleh robot. Misal brand anda memiliki sebuah hashtag yang ingin dipopulerkan dan anda mengerahkan 5 juta robot (atau lebih) untuk melakukan retweet. Niscaya hashtag anda ada di daftar trending topic. Kenapa trending topic penting? Social currency! Tidak sedikit selebriti yang dituduh menggunakan jasa robot ini seperti Justin Bieber, Lady Gaga, Kate Perry, bahkan Barack Obama. Banyak tools yang tersedia di internet untuk mendeteksi seberapa banyak follower palsu pada sebuah akun.
Namun beralasan kah kita menuduh sebuah akun sengaja membeli robot hanya karena sebuah tools mendeteksi terdapat banyak follower/liker palsu di akun itu? Tidak juga. Robot tidak hanya melakukan follow atau like ke akun pembeli jasa mereka atau sesama robot, tapi juga follow/like ke akun lain secara acak untuk mengelabui pendeteksi. Follow/like secara acak biasanya dilakukan ke akun populer seperti milik artis atau figur publik. Seperti akun Twitter @KotaBalikpapan yang turut saya kelola, terdeteksi ada 3% fake account atau robot. Padahal tidak sekali pun saya memainkan cara black hat. Tapi tidak ada yang bisa saya lakukan ketika robot datang dan follow @KotaBalikpapan karena program acak mereka. Memiliki follower/liker robot belum tentu membeli robot. Memiliki follower/liker robot lebih dari 25% jumlah total audiens, patut diduga kuat membeli robot. Sekarang anda sudah tahu bagaimana ilusi di social media bisa menciptakan sebuah industri robot follower/liker palsu yang begitu besar dan lintas negara, serta bagaimana bisnis ini dijalankan. Ilusi ini tidak mungkin dilawan. Selain ‘siapa kita' mau mengedukasi miliaran orang, ilusi ini bukan tidak ada manfaatnya sama sekali bagi brand. Ilusi game number ini harus ditunggangi seperti peselancar menunggangi ombak: dikendalikan, dijinakkan, dimanfaatkan. Kepada setiap kawan, klien atau stakeholder yang bertanya kepada saya tentang follower/liker palsu ini, saya lebih dulu menjelaskan tentang cara kerja dan risikonya, lalu yang terakhir keuntungannya.
Jika ingin dilakukan secara benar dan jujur, tak ada jalan pintas di bisnis ini. Tapi bila mereka ingin mengambil risiko dengan cara black hat, itu pilihan mereka: menunggangi ombak sampai pesisir atau tergulung dan tenggelam. [*]
Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari tulisan aslinya di Blog Social Lab dengan penulis yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Inovasi Selengkapnya