Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Maya Prabowo Vs Jokowi

3 Juli 2014   23:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:36 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dua kontrak kerja pengelolaan social development dan online reputation management yang saya kerjakan, sama-sama punya klausul yang intinya: tidak menyatakan kepada pihak lain bahwa saya atau perusahaan tempat saya bernaung, sebagai pengelola social development. Satu perusahaan adalah BUMN bidang Migas, satu perusahaan lagi brand otomotif internasional. Nilai kontraknya masing-masing sembilan digit dan berlangsung selama setahun penuh.

Bagi pelaku bisnis Social Commerce, klausul ini tidak mengenakkan buat saya karena tidak bisa memasukkan mereka mereka ke dalam portofolio bisnis. Bisa dimasukkan, tapi bila kontrak selesai dan tidak diperpanjang. Yang artinya pemasukan berkurang banyak. Lebih tidak enak lagi.

Tapi saya tidak bisa menyalahkan mereka, bahkan setuju. "Nanti orang berpikir negatif, Twitteran dan Facebookan saja kok dibayar ratusan juta. Nanti dikira pencitraan," begitu kata mereka.

Pencitraan. Citra. Sekarang jadi kata yang tabu dan terlarang sekali sejak hiruk-pikuk politik Pemilu dan Pilpres semakin ramai. Padahal membangun citra itu pekerjaan sehari-hari pekerja marketing, komunikasi dan branding seperti saya.


Sekarang kata 'citra' sinonim dengan kata 'bohong'. Dan kata 'pencitraan' setara dengan 'pembohongan'. Kok kayaknya haram banget pekerjaan saya ini.



Pengguna internet Indonesia 71 juta, 90%-nya akses digunakan untuk social media. Penetrasi mobil device setiap tahun naik 100%. Pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia nomor 3 di dunia. Berdasarkan data Alexa, Facebook adalah situs paling banyak dibuka di Indonesia, mengalahkan Google.

Tidak peduli kita menganggap betapa konyolnya data di atas. Faktanya, puluhan juta orang Indonesia berkumpul di sini, di social media. Mereka bicara, entah yang mereka bicarakan itu penting atau tidak, benar atau tidak, bermutu atau tidak, dan tidak-tidak yang lain. Faktanya, ini kerumunan massal dan mereka saling berbicara. Bergosip, menyanjung bahkan menfitnah anda.

Di sisi lain, anda menolak masuk ke kerumunan dan ikut berdialog karena menganggap Facebook, Twitter dan social forum itu cuma iseng-iseng. Pada akhirnya anda tidak punya kontrol terhadap apa mereka bicarakan. Orang lain, insya Allah kompetitor anda, kemudian masuk ke kerumunan dan mengambilalih kontrol pembicaraan itu. Hasilnya pasti tidak baik buat anda. Ketika anda google nama anda, halaman satu hanya menunjukkan betapa buruknya diri anda. Ketika anda cari nama anda di Twitter, isinya mayoritas sumpah serapah.

Sebagai bangsa yang suka ngobrol (terbukti nomor 3 di Facebook dan Twitter), netizen Indonesia dengan tanggap dan cepat mengonsumsi platform-platform baru social media. Waktu Friendster rilis, ramai-ramai mendaftar. Facebook keluar, cepat-cepat bikin akun. Twitter mulai naik daun, buru-buru ikut ngetwit. Hal yang sama terjadi ketika Instagram, Pinterest dan Path dirilis. Behaviour netizen kita seragam: mengonsumsi, memakai, meramaikan.

Namun urutan ketiga sebagai user Facebook dan Twitter terbanyak di dunia itu tidak dibarengi dengan ketanggapan netizen Indonesia untuk menggunakannya sebagai sarana produktivitas. Karena itulah kompetensi social development, social selling, social publishing dan online reputation masih sangat asing di Indonesia. Belum ada satu pun institusi di Indonesia yang menyediakan sarana sertifikasi bagi expertise komunikasi yang dikombinasikan dengan skill marketing, branding dan IT ini. Sertifikasi baru disediakan oleh institusi di luar negeri seperti Hootsuite University (alhamdulillah sudah lulus).

Netizen kita tidak tanggap karena hanya ambil posisi sebagai user dan consumer -- dan memakainya iseng-iseng saja. Meski waktu yang dihabiskan untuk iseng-iseng di social media itu lebih banyak dibandingkan menonton tivi. Ditambah social media populer tidak mengenakan biaya, gratis. Makin iseng lah kita. Makin dianggap barang tidak penting Facebook dan Twitter ini. Tapi begitu Facebook down satu jam, langsung gempar Nusantara! Langsung mau bunuh diri karena tidak bisa update status. Begitu akun Facebook dibajak, rasanya mau sayat-sayat nadi.

Banyak akun jualan di Twitter dan Facebook. Tapi mayoritas hanya dibuat, diupdate sekali-dua kali, lalu ditinggal. Yang diurusi adalah akun pribadi untuk bergosip dengan teman-teman dan update foto selfie atau upload foto makan siang.

Selama netizen kita hampir semuanya mengambil posisi di social media sebagai consumer, selamanya pula bisnis social development dianggap bisnis kurang kerjaan, iseng atau coba-coba, serta dianggap sinis. Karena itu pula pasukan maya bayaran Prabowo dan Jokowi dianggap pasukan haram. Perusahaan yang menaungi mereka juga dianggap semata-mata cari duit (ya iyal ah, namanya juga perusahaan, bukan LSM).

Kabar soal pasukan maya Prabowo dan Jokowi sudah lama kita dengar. Saya memastikan, mereka nyata. Mereka bernaung di bawah beberapa perusahaan yang saling terkoneksi, jumlahnya ratusan, bekerja secara shift 24/7, punya organisasi kerja yang rapi, punya SOP, bekerja dengan tools mahal dan canggih, dan nilai kontrak kerjanya miliaran.

Mereka melakukan pekerjaan yang sama seperti yang saya lakukan: membangun citra, berdialog, mengklarifikasi, memonitor, mengukur, memetakan, mendengarkan, bahkan menyerang. Saya dan mereka juga sama-sama bekerja secara rahasia dan senyap, dilarang menyatakan diri keluar. Bedanya, saya menangani business brand, mereka menangani personal/political brand.

Bila kata 'citra' disinonimkan dengan kata 'bohong', maka sulit sekali membangun citra di social media bila hanya lewat bohong. Di social media jangankan bicara bohong, bicara yang benar saja bisa dianggap bohong. Kalau bohong, akan segera ketahuan karena netizen tidak gaptek. Tinggal googling langsung ketemu jawabannya. Begitu ketahuan bohong, langsung di-bully beramai-ramai.

Namun, membangun citra lewat berbohong ini efektif bila dilakukan secara masif, berantai, simultan dan kontinyu. Sangat berbahaya bila tidak ditangkal. Misal, dalam sehari pasukan maya Prabowo menyuplai 100 artikel bohong soal Jokowi ke news feed Facebook anda setiap hari tanpa ada klarifikasi atau perlawanan dari pihak Jokowi, anda lama-lama pasti goyang. Hari pertama, kedua, ketiga, bisa saja anda tidak percaya. Tapi belum tentu di hari ke-7. Hal yang sama juga bisa terjadi terhadap pasukan maya Jokowi terhadap Prabowo. Kebohongan yang dilancarkan terus-menerus bisa dianggap sebagai kebenaran. Ini ilmu dasar psikologi komunikasi.

Attack dilawan counter-attack, intelejen dilawan kontra-intelejen, positive campaign dilawan negative campaign, visi masa depan dilawan jejak rekam buruk masa lalu, nasihat baik dilawan tuduhan kemunafikan. Jadi, tugas pasukan maya bukan hanya menyebarkan positive campaign ke netizen, tapi juga menangkal serangan, menyerang dan tak memberi celah pada lawan supaya terliha baiknya.


Ini perang. Perang opini. Dan politik bukan soal benar-salah, tapi memenangkan opini pemilih.



Perang ini dilancarkan di dunia maya, tempat dimana 71 juta orang berkumpul dari total 190 juta pemilih Pilpres 2014 atau sekitar 40% pemilih. Dan netizen ini tidak terisolasi, mereka adalah sel-sel bebas yang akan menjadi advokat-advokat Capres pilihan mereka di kehidupan nyata, kepada keluarga mereka, teman mereka, tetangga mereka, yang mungkin saja tidak Facebookan atau Twitteran.

Jadi perang di dunia maya bukan hanya soal memenangkan hati calon pemilih, tapi juga menjadikan mereka para advokat dan pasukan (gratisan) di dunia nyata dan di dunia maya. Lihatlah, berapa banyak sekarang orang memasang avatar atau profile picture dukungan mereka terhadap Prabowo maupun Jokowi, atau gambar-gambar yang menyerang calon satu dan lainnya. Perang sentimen di dunia maya sudah berhasil dikibarkan, sekarang tinggal bagaimana mengelola saja sampai garis finish.

Kita juga bisa melihat banyak statistik soal Prabowo dan Jokowi dari digital conversation yang diolah tim Prabowo, tim Jokowi, tim independen, atau kita sendiri yang mengukur.Bahkan Google Politic sejak beberapa minggu lalu sudah merilis #election2014 dan data insight soal keduua calon. Namun apakah hasil statistik itu mencerminkan keunggulan? Tidak. Sama halnya seperti berbagai survei offline yang sering kita lihat di tivi atau di koran. Hasil survei politik manapun tak pernah jadi acuan kemenangan. Kemenangan sesungguhnya ada di kotak suara. Survei hanya alat ukur untuk referensi menetapkan strategi selanjutnya atau menaikkan sentimen audiens. Kenapa kita banyak mendengar soal survei bayaran, itu tidak ditujukan buat menyenang-nyenangkan si pembayar. Tapi untuk menaikkan sentimen positif terhadap yang namanya di urutan atas. Psikologi pemilih adalah cenderung kepada pihak yang lebih berpotensi menang. Potensi ini digambarkan lewat hasil survei.

Jadi, bila anda dalam sehari melihat puluhan informasi soal Capres seliweran di Facebook atau Twitter anda dan bikin muak, harap maklum. Harap bersabar hingga 9 Juli. Mohon maaf untuk ketidaknyamanan ini. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun