Nama : Hilma Sofia Dwi Wijayanti
NIM : 204102030017
Undang-undang informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah UU yang Mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.Â
UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE semakin meningkat menyebabkan turunnya kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Penyalahgunaan UU ITE disebabkan oleh beberapa alasan. Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan dengan baik. UU ITE juga dinilai kurang jelas dalam membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik.
Di dalam UU ITE terdapat sejumlah pasal yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet. Sehingga sejak UU ITE disahkan pada tahun 2008, sering kali mendapat kritikan pedas dari masyarakat. Karena kerap dijadikan landasan untuk membawa orang-orang yang melontarkan kritik di dunia maya ke ranah hukum.
Pasal UU ITE yang sering kali dipermasalahkan disebut sebagai "Pasal Karet". Pada dasarnya pasal karet merupakan sebuah pasal yang penafsirannya dapat berbeda-beda dan mudah sekali untuk diinterpretasikan secara sepihak.
Adapun pasal yang sering kali disebut sebagai pasal karet yaitu Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Selain pasal 27 ayat 3, berikut daftar pasal-pasal lainnya yang rumusannya multitafsir, yaitu :
- Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi dan tidak relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
- Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
- Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.
- Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
- Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
- Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
- Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
- Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
- Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat ada 38 orang yang dijerat dengan UU ITE di Indonesia pada tahun 2021. Meski demikian, jumlah itu menurun signifikan dari tahun sebelumnya yang sebanyak 84 orang. SAFEnet juga menemukan bahwa UU ITE lebih banyak menjerat korban dari kalangan aktivis.
Selain aktivis, juga terdapat korban lainnya. Contohnya korban kekerasan yang mencari keadilan di media sosial seperti ibu dari tiga anak korban kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ia dilaporkan dengan Pasal 27 ayat 3 oleh terduga pelaku kekerasan.Â
Pelapor beralasan ibu korban telah mengungkapkan kasus yang dialaminya pada jurnalis yang kemudian dipublikasikan di media massa. Padahal dalam pemberitaan tersebut jurnalis tidak menyebutkan nama jelas terduga pelaku.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu menceritakan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2016 berawal dari kasus Prita Mulyasari pada tahun 2009.
Seperti yang kita ketahui, kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap UU ITE yang menggemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial.
Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni International Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakit pun tidak memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni International marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itu pun Prita sempat ditahan di Lembaga Permasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas "Koin Kepedulian untuk Prita". Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Kasus Prita tersebut merupakan kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Pasal 27 Ayat 3 Tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Semoga kehadiran UU ITE bisa menjadi pelindung hukum bagi aparat kepolisian untuk bertindak tegas dan selektif terhadap berbagai jenis penyalahgunaan internet. Dengan demikian, kehadiran UU ini tidak menjadi ancaman yang menakutkan bagi pengguna dan mematikan kreativitas seseorang di dunia maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H