Pancasila, sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sejatinya memiliki makna yang sangat mendalam. Lima sila yang terkandung di dalamnya menggambarkan nilai-nilai luhur yang diharapkan dapat menyatukan bangsa ini yang terdiri dari beragam suku, agama, budaya, dan pandangan hidup. Namun, meskipun Pancasila sudah berusia lebih dari tujuh dekade, dinamika dan tantangan dalam penerapannya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dalam pandangan saya, Pancasila tetap relevan dan menjadi tonggak utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh, sila pertama tentang Ketuhanan yang Maha Esa mengingatkan kita untuk tetap menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Ini menjadi landasan kuat untuk menjaga toleransi antar umat beragama di Indonesia. Tetapi di sisi lain, kita melihat bahwa penerapan toleransi ini tidak selalu mulus. Di berbagai tempat, isu-isu agama sering kali disalahgunakan untuk tujuan politik, yang pada akhirnya justru memperburuk hubungan antar kelompok masyarakat. Saya sering berpikir, apakah kita sudah benar-benar menghayati sila pertama ini, atau justru menggunakannya hanya sebagai simbol formalitas, sementara dalam kenyataannya ada banyak bentuk intoleransi yang tersebar, baik secara terang-terangan maupun yang lebih terselubung?
Lebih lanjut, sila kedua yang berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, mengajarkan kita untuk menghargai martabat manusia, baik dalam keadaan apapun. Namun, kenyataannya, kita masih banyak melihat kesenjangan sosial yang sangat tajam. Di satu sisi, ada sekelompok kecil orang yang hidup dalam kemewahan, sementara di sisi lain, masih ada jutaan rakyat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketimpangan ini seolah menjadi tantangan besar yang menguji sejauh mana kita mengimplementasikan sila ini dalam kehidupan nyata. Saya percaya, jika Pancasila benar-benar diterapkan dengan baik, ketidakadilan sosial seperti ini seharusnya bisa diminimalisir. Tapi nyatanya, ini sering kali tidak terjadi, dan sistem yang ada malah sering kali memperburuk ketimpangan. Pemerintah, meskipun banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi kemiskinan, seharusnya lebih serius dalam menghadirkan keadilan sosial yang sejati, bukan hanya sekadar program-program yang sifatnya temporer atau pencitraan semata.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, adalah inti dari kebhinekaan kita. Dalam sebuah negara yang terdiri dari lebih dari 300 etnis dan ribuan pulau seperti Indonesia, menjaga persatuan adalah hal yang sangat penting. Namun, di sinilah letak tantangan besar kita pada kenyataan bahwa pluralisme Indonesia masih kerap diuji. Persatuan yang kita bangun kadang mudah terpecah hanya karena perbedaan politik, agama, atau ras. Ketika kita melihat fenomena politik identitas yang semakin menguat, saya sering bertanya, apakah Pancasila masih menjadi alat pemersatu yang efektif? Konflik yang muncul akibat polarisasi politik, termasuk dalam hal agama, memberi gambaran betapa rapuhnya persatuan kita jika tidak dijaga dengan hati-hati. Pancasila seharusnya menjadi alat pemersatu yang merangkul semua perbedaan, namun seringkali justru berisiko menjadi alat untuk saling menjatuhkan.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengajarkan kita pentingnya demokrasi yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Namun, saya merasa, dalam praktiknya, nilai musyawarah dan mufakat sering kali hilang di tengah hiruk-pikuk politik yang semakin didominasi oleh kepentingan kelompok tertentu. Keputusan-keputusan politik yang diambil lebih sering didorong oleh kekuatan mayoritas, tanpa benar-benar memperhatikan suara-suara dari kelompok yang lebih kecil atau kurang beruntung. Rakyat sering kali merasa bahwa mereka hanya menjadi penonton dalam proses demokrasi, sementara para politisi lebih sibuk memperebutkan kekuasaan dan tidak cukup mendengarkan aspirasi rakyat. Di sinilah menurut saya letak kegagalan kita dalam mengimplementasikan nilai dari sila keempat ini. Jika demokrasi yang kita jalankan hanya untuk kepentingan segelintir orang dan bukan untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan, maka kita akan kehilangan arah sebagai bangsa.
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah prinsip yang paling mendalam dalam Pancasila. Ia mengingatkan kita untuk menciptakan sebuah masyarakat yang adil, sejahtera, dan merata. Namun, seiring berjalannya waktu, keadilan sosial justru menjadi semakin sulit terwujud. Ketimpangan sosial yang ada, baik dalam hal ekonomi, pendidikan, maupun akses terhadap layanan dasar, semakin memperburuk situasi sosial. Di kota-kota besar, misalnya, ada jurang yang sangat dalam antara yang kaya dan miskin. Di sisi lain, di daerah-daerah terpencil, banyak yang masih kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, apalagi fasilitas kesehatan yang memadai. Padahal, keadilan sosial adalah janji negara kepada rakyatnya. Jika negara gagal memenuhi janji ini, maka nilai sila kelima ini hanya akan menjadi jargon kosong belaka.
Selain tantangan-tantangan internal yang dihadapi dalam penerapan Pancasila, ada juga tantangan eksternal yang tidak bisa diabaikan. Globalisasi yang membawa nilai-nilai dan budaya luar yang semakin kuat tentu mempengaruhi cara pandang kita terhadap kehidupan berbangsa. Kadang, nilai-nilai Pancasila seperti gotong-royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas Indonesia bisa tergeser oleh nilai-nilai individualisme yang lebih dominan di dunia Barat. Globalisasi juga membawa dampak negatif berupa peningkatan konsumsi materialistis yang sering kali bertentangan dengan semangat kesederhanaan dan keadilan sosial yang diajarkan oleh Pancasila.
Saya rasa, Pancasila tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau para pejabat negara, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai warga negara. Penerapan Pancasila seharusnya tidak berhenti hanya pada tataran retorika atau simbolik. Ia harus menjadi bagian dari tindakan nyata dalam kehidupan kita sehari-hari baik dalam cara kita berinteraksi dengan sesama, dalam menjalankan profesi, dalam menjalankan pemerintahan, maupun dalam membangun negara. Jika kita semua bisa memahami dan mengimplementasikan Pancasila dalam tindakan kita, saya yakin Indonesia bisa lebih baik lagi.
Salah satu tantangan terbesar menurut saya adalah bagaimana menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam situasi yang semakin kompleks. Di tengah globalisasi dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, ideologi-ideologi asing yang lebih mengedepankan individualisme atau bahkan materialisme sering kali menggoda banyak orang, terutama generasi muda. Tentu saja ini tidak salah, karena dunia terus berubah. Namun, saya merasakan pentingnya untuk terus mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang makna sesungguhnya dari Pancasila bukan sekadar teks, tetapi sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila tetap menjadi landasan yang kuat untuk membangun dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
Namun, pada kenyataannya, penerapan Pancasila seringkali terhambat oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis, baik dalam politik maupun dalam ekonomi. Oleh karena itu, menurut saya, kunci untuk menjaga relevansi dan keutuhan Pancasila adalah dengan kembali kepada inti ajaran-ajarannya yaitu kesadaran bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan berkeadilan sosial, di mana persatuan dan kebersamaan menjadi kekuatan utama dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Kita harus terus menerus mengingatkan diri kita sendiri dan generasi berikutnya untuk tidak hanya melihat Pancasila sebagai sebuah dokumen sejarah, tetapi sebagai pedoman hidup yang harus dijaga dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI