Sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, saya terkagum-kagum oleh sebuah pemandangan yang begitu menarik mata. Tiang-tiang pancang yang besar dan kokoh berdiri di sepanjang Jalan Tol Pasteur itu dengan begitu gagah. Bahkan saya merasa jika orang tertinggi di dunia berdiri di sebelah tiang pancang itu, dirinya akan terlihat kecil. Sejauh yang saya tahu tiang-tiang itu merupakan bagian dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Kegagahan itu seakan meredup setelah terlihat oleh mata jejeran pemukiman padat penduduk yang terlihat seperti semut mengerumuni tebu. "Sebuah dilema, ketika mereka yang miskin ini membangun mahakarya luar biasa di sebelah rumah beratapkan ribuan asa," ucap seorang anak di sebelah saya yang kekecewaannya menjalar ke luar tak dapat lagi dibendung oleh kata.
Saat itu terlihat sebuah benda panjang dengan moncongnya melewat di atas tiang pancang dengan kecepatan sekejap mata. Itu adalah Whoosh, nama kereta dari proyek ini. "Barang rongsokan dari China, apakah kau tahu proyek ini punya rencana yang salah, waktu pekerjaan yang molor, biaya operasional yang mahal, dan juga para tenaga kerjanya berasal dari China? Aku harap ada sisi baik dari proyek ini selain akhirnya negara ini maju karena punya kereta cepat saat negara tetangga belum mempunyainya," dia mencecarku dengan berisiknya seperti komentar orang-orang di luar sana.
"Pemandangan yang tak asing," katanya, "kau tahu, ini seperti kau menaiki kereta, berada di dalamnya, kau adalah penonton dalam sebuah karya. Di depanmu terdapat sebuah panggung, dibuat untuk menyaksikan parade kemelaratan dengan kemakmuran, kesemrawutan dengan kerapian, dan juga kebobrokan dengan keindahan".
Mendengar pernyataan itu, muncul perlawanan dalam batin saya, "Bukankah setiap kebijakan mempunyai sisi kurangnya? Sekali pun itu adalah Abu Bakar yang terkenal akan kepemimpinan dan keadilannya? Tergantung kepada kita yang menyikapinya, apakah ke arah positif atau negatif,". "Apakah argumen itu dapat keluar dari benakmu jika kau merupakan bagian dari mereka?" sosok anak ini semakin dalam menyelami diri saya, dia dapat mendengar semua pikiran yang berkecamuk ini. "Kau tahu tiang pancang itu membentang dari Halim hingga ke Padalarang. Biaya investasinya membengkak hingga 114,24 Triliun. Keretanya memang bagus, cepat sampai bila kau naiki. Tapi mahal, rakyat bawah sebelah mana yang berani naik ke atas melewati rumah kumuh mereka untuk sekadar menikmati angin Jakarta-Bandung selama 30 menit? Kurasa tidak ada, aku berani bertaruh bahwa para penumpangnya merupakan orang-orang penting yang setiap hari menenteng tas kerja berisikan dokumen dalam map, memakai rolls royce, bersepatu hitam mengkilap dan juga mengenakan setelan jas. Jika boleh aku berkata, aku pun tak tahu apa sebenarnya urgensi dari proyek ini, terkesan tergesa-gesa dan banyak problemnya. Apakah aku salah?".
Tidak, saya tidak berani menyanggah ucapannya karena pelan tapi pasti diri ini mulai mengikuti dan percaya akan setiap pernyataannya. Akan tetapi tidak serta merta saya menelannya mentah-mentah. Masih terus terjadi perang batin dalam diri saya, bukankah ini hanya seperti sebuah kesalahpahaman? Â Pemerintah ingin yang terbaik dengan memberikan infrastruktur memadai sebagai upaya mereka untuk maju sementara beberapa orang menganggapnya sebagai proyek kebut semalam tanpa urgensi yang jelas mengingat sebentar lagi akan habis masa jabatan pemegang kebijakan.
"Lucu sekali, aku mendengarnya, China Development Bank mendesak pemerintah untuk segera menambal utang akibat terjadinya pembengkakan biaya pada proyek kereta cepat ini. Kau bayangkan, 114 T hanya untuk Jakarta-Bandung bukankah jalan layang MBS sebesar 16 T itu cukup berdampak signifikan untuk mengurangi kemacetan jika memang pemerintah membuat proyek ini untuk tujuan itu? Mengapa tidak dibuat jalan layang dari Jakarta hingga ke Bandung saja? Jalanan bawah dibuat dengan tarif normal sementara jalan layang dibuat dengan tarif premium, bukankah itu lebih bermanfaat daripada kereta yang penumpangnya kebanyakan dari golongan para pejabat dan pengusaha itu?". Sepertinya untuk kali ini saya tidak setuju dengan pernyataannya, menurut saya negeri ini butuh mode transportasi masal yang cepat dan juga nyaman. Sudah banyak jalan di negeri ini dan itu tidak berdampak mengurangi kemacetan justru malah menambah jumlah kendaraan pribadi.
"Baiklah jika memang itu pendapatmu, lalu bagaimana dengan perubahan investor pada proyek ini? Kau tahu kan? Siapa investor pertama proyek ini? Ya, itu adalah Jepang negara dengan teknologi termaju di dunia ini. Tapi itu berhasil digantikan, kau tahu kan siapa penggantinya? Lagi dan lagi, negeri tercintamu ini harus berurusan dengan mereka atau memang sudah menjadi cabang dari mereka?" ucapnya dengan wajah merah padam. Sekali lagi, ucapannya menyinggung saya. Suaranya berisik dan memekakkan telinga seperti suara buzzer yang dapat membuat orang larut mengikuti arus suara mereka.
"Kau tahu program awal proyek ini adalah menyediakan kereta cepat dari Jakarta hingga Jogja bahkan Surabaya. Akan tetapi program ini sekarang menghilang. Janganlah terlalu jauh, bukankah proyek ini seharusnya dari Jakarta hingga ke Bandung? Namun setahuku hanya berakhir hingga Padalarang, bukan?" dia mempertegas jawabannya kembali. "Jika aku pemerintah, dengan biaya yang fantastis itu akan kugunakan untuk membangun infrastruktur di luar Jawa. Bukankah itu salah satu masalah yang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah? Mereka tidak lupa akan apa yang terjadi pada saat awal negara ini berdiri, bukan? Bagaimana Achmad Hussein menuntut Kabinet Juanda akibat pada waktu itu pemerintah pusat dianggap tidak adil dalam mengalokasikan dana pembangunan daerah. Hingga puncaknya ketika Achmad Hussein yang marah itu mendeklarasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Tapi sayangnya aku bukan pemerintah, aku seorang anak yang hanya dapat terlihat olehmu. Suaraku hanya berisik di telingamu, hanya kau yang dapat mendengarku. Sampaikanlah suara berisikku ke dunia agar mereka dapat mendengarnya dan menjadikannya sebagai perwakilan dari orang banyak yang suaranya tidak lebih besar dari semut," ucapnya tegas memerintah seperti seorang veteran perang yang sudah mengenyam banyak asam garam kehidupan.
Saya termenung, di mana awal mula kesalahannya? Siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Dan siapakah yang dapat menemukan solusi dari akar tunggang permasalahan ini? Satu yang pasti, kecondongan saya dalam kasus ini telah bergeser. Pelan tapi pasti, saya terlarut dalam setiap pernyataannya. Baiklah, untuk kali ini saya kalah, ragu dalam diri ini lebih besar daripada rasa percayanya. "Duhai Pemerintah, dalamnya laut dapat diukur akan tetapi dalamnya hati siapa yang tahu?" sebagai seorang yang mungkin kuasanya lebih kecil dari buih di lautan ini mengharap pemerintah selalu berada di sisi rakyat, bukan hanya rakyat yang di berada di atas tetapi rakyat-rakyat lain yang berada di bawah harus kalian dengar juga keluh kesahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H