Berbicara mengenai kebijakan penghapusan "pekerjaan rumah" terdahap siswa SD dan SMP. Sebenarnya ada plus dan minusnya, sehingga menimbulkan pro dan kontra. Pertama, kita lihat dari perspektif orangtua dalam mendampingi anak, ada orang tua yang beranggapan bahwa anak perlu di berikan PR supaya waktu tidak terbuang hanya untuk bermain yang tidak bermanfaat.Â
Namun, ada pula orang tua yang merasa terbebani dengan adanya PR yang diberikan, karena terlalu sulit. Serta orang tua yang tidak menguasai materi dari PR anaknya, sehingga membuat si anak terbebani lalu menangis.
Dari perspektif anak, pasti kita semua yang pernah menjadi siswa SD dan SMP, pernah merasa terbebani dengan adanya PR, karena waktu kita habis hanya untuk mengerjakan PR, terlebih lagi kita merasa kesal mengerjakan mata pelajaran yang begitu sulit seperti matematika atau lainnya. Namun dengan banyaknya keluhan sebelum mengerjakan, hasilnya semua beres walaupun semua karena terpaksa.
Menurut pandangan saya, sisi positif dari adanya PR yang diberikan adalah dapat meningkatkan pemahaman dan kecerdasan anak. Apalagi untuk kalangan anak SD dimana mereka belum ada inisiatif sendiri untuk belajar, mereka masih perlu terus didorong untuk pembentukkan karakter dan tanggung jawab atas tugas yang telah diberikan.Â
Dan secara perlahan-lahan kita bimbing, akan menghasilkan suatu kebiasaan sehingga terbitlah sikap disiplin dan berkembang secara mandiri. Dan di sisi lain, dapat melatih mental anak sejak dini, agar dapat lebih berani menghadapi jenjang pendidikan berikutnya.
Namun bagaimana dengan minus perihal Siswa Dibebaskan PR ?
Jika PR mengarah pada kuantitas, maka siswa hanya akan berorientasi pada nilai, PR tersebut tidak akan memberikan pemahaman pada anak. Jawaban mereka hanya menyalin kalimat dari buku, mengenai definisi-definisi dan merangkum yang dapat memakan waktu lebih dari dua jam, sehingga bukan otak yang bekerja, melainkan fisik yang bekerja dan menyebabkan rasa malas dan letih, alhasil ketiduran diatas buku.Â
Maka seharusnya PR mengarah pada kualitas. PR yang diberikan memiliki tujuan yang jelas, dan bermanfaat pada anak, walaupun hanya satu soal tetapi berkualitas, sehingga menghasilkan jawaban yang berbeda menurut persepsi masing-masing siswa, sehingga dapat membantu peningkatan kreativitas dan daya pikir kritis serta empati pada ilmu pengetahuan.
Lalu jika PR di hapus dan digantikan dengan 2 jam kelas pengayaan, yakinkah itu dapat mengurangi beban siswa?Â
Menurut saya, cara berfikir atau cara belajar setiap siswa itu berbeda-beda. Pertama, ada siswa yang langsung mengerti apa yang disampaikan guru dikelas, kedua ada siswa yang baru paham ketika ia pelajari ulang di rumah. Jadi, jika jam sekolah ditambah 2 jam, maka itu akan membebani siswa yang kedua. Karena 2 jam tersebut dapat digunakan satu jam pertama untuk pendalaman materi, satu jam terakhir untuk mengerjakan tugas.
Sebenaranya yang perlu dipikirkan adalah bagaiman cara untuk merubah pikiran anak dari yang menganggap bahwa PR itu berat di kerjakan menjadi sesuatu hal yang menyenangkan, sehingga akan membentuk mindset atau pola pikir positif yang dapat berpengaruh terhadap potensi dan semangat anak hingga dewasa.
Dr. Ibrahim Elfiky dalam bukunya, mengatakan bahwa pikiran apapun yang anda masukkan ke akal akan berubah menjadi perhatian, perasaan, sikap, dan hasil yang serupa. Anda akan terus mendapatkan hasil yang sama selama anda tidak mengubah akarnya, yaitu pikiran.
Semoga Bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H