Ditengah hiruk pikuk Ibukota, diantara gedung yang menjulang tinggi serta bangunan mall dengan beragam papan iklan diskon, kita masih melihat warga suku baduy melintas di pinggir jalanan Ibukota dengan pakaian asli budaya baduy, tersirat dalam balutan warna hitam dan putih yang mendominasi. Walaupun tengah berada di Ibukota, tidak menjadi alasan untuk meninggalkan tradisi pakaian mereka berganti pada era modernisasi.
Di era modernisasi, dengan kenyamanan teknologi maju, masyarakat baduy tidak terkontaminasi oleh sentuhan itu, namun mereka tetap menghormati kehidupan modern yang ada di sekelilingnya. Begitu pula dengan kita, ketika berkunjung ke wilayah baduy, kita harus menghargai peraturan yang ada dalam suku baduy.
Apakah kalian pernah datang atau bermalam di baduy?
Mungkin untuk yang belum pernah, kalian perlu sekali datang dan rasakan indahnya alam sekitar serta sungai yang amat sangat bersih.
Kita juga perlu belajar dari masyarakat baduy dalam menghargai alam, karena masyarakat baduy sangat menjunjung tinggi etika lingkungan dalam menjaga alamnya. Hal itu saya rasakan sendiri ketika berada di Baduy Dalam, dimana kita sebagai pendatang tidak diperbolehkan menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat mencemari atau merusak lingkungan sekitar.
Salah satu tradisi kental yang mewarnai kehidupan masyarakat Baduy adalah bersahabat dengan alam. Mengapa begitu? ya, karena suku Baduy di titipkan oleh nenek moyangnya untuk menjaga dan melestarikan alam sekitar, sehingga sampai saat ini masyarakat Baduy sangat memepertahankan nilai dan norma dari leluhurnya.
Kegiatan warga baduy adalah membudidayakan tanaman, sehingga menjadi mata pencaharian mereka. Mungkin yang pernah ke Baduy Dalam, pernah merasakan lingkungannya sepi, itu karena mereka banyak menghabiskan waktu untuk di ladang kurang lebih 7 hari.
Kemudian hasil panen suku Baduy ada yang dijual ke masyarakat luar baduy, ada yang hanya dipakai untuk keperluan pribadi. Bebarapa hasil panen dari ladang masyarakat Baduy seperti jahe, kunyit, lengkuas, dan padi.
Sepanjang perjalanan menelusuri hutan menuju Baduy Dalam, saya tidak melihat ada satupun sampah yang berkeliaran. Saya benar-benar menghirup udara bersih serta menikmati pemandangan alam yang menghijau secara alami serta ladang-ladang yang sangat di jaga oleh masyarakat Baduy. Namun, kita perlu memperhatikan langkah kaki, karena terkadang ada padi yang di tanam sangat rawan di pinggiran jalan setapak yang sangat halus seperti rumput.
Perjalanan saya dimulai dari stasiun tanah abang menuju stasiun rangkas bitung, kemudian saya menuju desa Cakuem menggunakan Elf, memakan waktu kurang lebih dua jam perjalanan. Dari desa Cakeum saya mulai berjalan kaki untuk menuju baduy dalam dengan kurang lebih dua puluh lima ribu langkah kaki, atau sekitar lima jam perjalanan.
Jadi, sebelum memutuskan untuk datang ke Baduy Dalam, kalian perlu memperhatikan kondisi tubuh serta kekuatan fisik, itu yang terpenting. Karena perjalanan yang akan dilalui memiliki beberapa medan berbukit terjal, dan apalagi jika kita diguyur hujan yang tidak ada notifikasi kapan ia akan turun.
Alat terpenting menurut saya yang wajib kalian bawa, senter dan tracking pole. Dua alat itu benar-benar sangat dibutuhkan selama perjalanan. Dikarenakan Baduy Dalam tidak menggunakan listrik dalam kehidupan sehari-hari, maka senter berguna ketika kita di malam hari pergi ke sungai untuk buang air kecil.
Saya tiba di perkampungan Baduy Dalam pada malam hari, tapi tidak tahu tepatnya pukul berapa, karena jam tangan, handphone, atau alat elektronik lainnya saya matikan. Selain karena dilarang menggunkan teknologi modernisasi di baduy, ini kesempatan bagi saya untuk menikmati suasana asli kehidupan Baduy Dalam dengan alamnya yang masih asli, istirahat sejenak dari hiruk pikuk Ibukota, fokus pada ketenangan yang amat dalam.
Saya bersama teman-teman menginap di salah satu rumah warga yang menjadi tokoh penting dalam suku Baduy. Sangat beruntung sekali kami bisa menginap dan mendapatkan banyak informasi mengenai kearifan lokal suku Baduy. Dan pemilik rumah sangat welcome kepada kami, sampai kita juga di sajikan makan malam, yaitu sayur asam yang masih hangat, nasi, sambal, tempe, dan telur dadar. Kapan lagi kan ya kita dimasakkin oleh warga penduduk asli Baduy Dalam. Dan masakannya benar-benar enak, terutama sambalnya, saya sebagai pencinta sambal, ku akui sambal buatan istrinya sangat lezat dan pedas.
Ada satu yang membuktikan bahwa makanannya benar-benar enak. Teman baru saya, ia mengatakan tidak ingin makan karena kenyang sudah makan pop mie sebelumnya. Namun saya paksa karena kita harus menghargai orang yang sudah mau masak di tengah malam untuk tamu yang tidak diundang ini. Dan setelah kita selesai makan, saya kaget karena temen saya tadi yang bilang tidak mau makan, justru nambah nasi dan lauk lagi, saya hanya tercengang melihatnya. Saya hanya diam saja, membiarkan dia menikmati makanannya, dengan begitu pemilik rumah juga merasa senang melihat masakkannya habis.
Di pagi hari, saya merasakan aroma sejuk perkampungan Baduy Dalam, saya terbangun mungkin sekitar pukul 06.00, saya langsung pergi ke sungai untuk cuci muka dan bersih-bersih. Tidak seperti di rumah, yang menggunkan sabun, odol dan deterjen dalam keseharian, kita harus mencontoh warga Baduy Dalam, dalam menjaga air agar selalu jernih dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari. Air sungai yang mengalir jernih, membuat kita ingin berlama-lama merendamkan tubuh di permukaannya.
Keliling lingkungan baduy di pagi hari, terlihat jelas semua lingkungan warga asli Baduy Dalam, hati berkata “oh jadi seperti ini salah satu pesona alam Indonesia yang masih alami dan tejaga, tidak pernah terekspos dan tidak akan pernah bisa kita temui melalui media sosial”. Berjalan menujun aula, terdengar dari kejauhan suara angklung yang dimainkan oleh anak-anak suku baduy dengan umur kurang lebih 5-7 tahun, seakan kehadiran kita disambut dengan penuh gembira.
Rumah suku Baduy Dalam tidak seperti rumah pada umumnya, suku baduy tidak menggali tanah untuk fondasi. Jika kontur tanah tidak merata, bukan tanah yang harus menyesuaikan atau digali sehingga diratakan, melainkan batu dan kayu yang harus menyesuaikan tanah, batu hanya diletakkan diatas tanah. Dan dalam membangun rumah, warga baduy tidak menggunkan paku, namun hanya diikat.
Selain itu, untuk pintu rumah warga harus mengarah ke Utara dan Selatan. Sedangkan, untuk pintu rumah pemimpin atau yang disebut oleh warga Baduy Dalam adalah “Pu’un” menghadap ke arah timur. Dan ada pemisahan antara rumah Pu’un dan rumah warga biasa yang dibatasi dengan dua kayu yang membentuk huruf V, dan kami sebagai pendatang juga tidak boleh melewati pembatas tersebut, sebelum pembatas itu juga sudah ada beberapa warga, yaitu bagian keamanan yang menjaganya.
Sekitar pukul 09.00 saya bersama teman-teman berkemas kembali, dan berpamitan kepada pemilik rumah, dan make sure kembali ke dalam rumah dan lingkungan sekitar kalau tidak ada sampah yang tertinggal. Sampah botol minum atau lainnya, saya kumpulkan dalam plastik dan disimpan didalam tas, dan bawa pulang kembali.
Walaupun di sepanjang perjalanan saya banyak mengeluh dan fisik terkuras karena tracking yang menantang, namun saya banyak belajar mengenai nilai sosial budaya yang merupakan salah satu suku di Indonesia. Suku Baduy Dalam tidak semenyeramkan seperti yang kalian bayangkan, selagi kita mau menghargai peraturan yang ada dalam lingkungan suku baduy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H