Mohon tunggu...
Hilda Nurhayati
Hilda Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca mendengarkan musik dan sesekali menulis -tidak akan ada yang tahu ceritamu kecuali kamu menceritakannya pada mereka-

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Story Over Tea 3.1

23 Oktober 2024   20:07 Diperbarui: 23 Oktober 2024   20:10 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Day 2

Suara alarm dari handphone milik haya bergema di ruangan miliknya. Tangan haya meraba-raba meja di samping tempat tidurnya untuk mematikan alarm miliknya sebelum melanjutkan tidurnya. Gadis itu kembali melanjutkan tidur sebelum akhirnya dia bangun ketika alarm kedua berbunyi. Ia menggosok matanya kemudian menatap atap dengan tatapan kosong, mencoba mengumpulkan energi dan jiwanya yang mungkin masih berada di tempat lain.

"Hari ini, apa lebih baik aku mempromosikan toko ku ya?, tapi kemana?" Gumamnya, memikirkan cara agar tokonya itu dikenal orang. 

"Dari awal tokoku memang terletak di pojok meskipun dekat dengan jalan tapi masih agak jauh sedikit..hah..tapi aku tidak boleh begini!, akan kubuat tempat ini ramai!" Ucapnya, memberi afirmasi pada diri sendiri sebelum akhirnya bangun dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Setelah selesai, dia menuruni tangga dan menatap ke arah tempat dimana dia menghabiskan waktu untuk membuat kue dan tehnya. Sembari berjalan, dia mengikat rambutnya sambil menggumamkan lagu.

"Baiklah, hari ini mari kita coba beberapa kue dan memberikannya sebagai tester di taman!" Ucapnya dan dengan segera menyiapkan bahan dan alat yang akan dia gunakan. Dia mencuci tangan dan dengan telaten membuat adonan. 

"Oh, teh juga cocok dengan croissant kan? Apa tidak yah?" Gumamnya sendiri saat membuat adonan untuk kukis. Setelah membentuk kukis dan meletakkannya di oven, Dia memotong beberapa coklat putih untuk dimakan sebagai camilan. 

"Umm enak!" Gumamnya saat mengunyah coklat sambil menunggu kukisnya matang. Matanya melirik ke arah pintu dan melihat siluet seseorang di balik gorden jendela. 

"Siapa?, jangan-jangan pencuri?, eh.. tidak baik berburuk sangka. Tapi...waspada kan tidak salah" tambahnya lalu bergerak menuju pintu dengan membawa garpu. Dia mengintip lewat lubang kecil yang ada di pintu. Napasnya melega saat melihat sosok pria yang dia kenal berdiri di depan pintu. 

"Ada apa gio?" Tanya haya sambil membuka pintu, mempersilakan lelaki itu masuk ke dalam. 

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu, aku tahu tidak seharusnya aku langsung datang kesini saat kamu pasti masih sibuk mempersiapkan toko. Tapi..aku benar benar tidak tahu harus datang ke mana" balas gio dengan ekspresi muka yang sedikit lelah. Haya menaikkan alisnya, dia menatap gio dan memperhatikan gerak geriknya. 

"Duduklah, kamu mau teh?. Aku akan membuatkannya untukmu. Teh apa yang kamu mau?' tanya haya dan pergi menuju tempat dimana dia membuat teh. 

"Ah.., tidak usah aku ingin air putih saja" balas gio yang kini duduk di kursi dekat jendela. Matanya nampak kosong dan tangannya meremas ibu jari miliknya. 

"Baiklah" jawab haya dan dengan segera menyiapkan teh melati juga segelas air putih, matanya melirik ke arah oven yang masih memanggang kukis miliknya. 

"Sepertinya awan kemarin hinggap di wajahmu" ucap haya, memotong keheningan saat meletakkan nampan berisi air putih dan dua gelas teh melati di meja.

"Ah..kelihatan ya?, aku pikir aku sudah menyembunyikannya" balas gio yang kini menunduk dan menghela napas berat. "Ya..kupikir aku memang tidak berniat menyembunyikannya, apa aku salah jika aku ingin orang tau aku punya masalah?" Tambah gio, haya tersenyum tipis dan melihat ke arah luar. 

"Tidak, kamu tidak salah kok..manusia kan punya keinginan untuk dimengerti. Bukan salahmu jika kamu ingin orang tahu kamu punya masalah" balas haya lalu mendorong teh melati itu ke arah gio. 

"Minumlah dulu, nanti dingin" tambah gadis itu. Gio menatap haya dan kembali menunduk sebelum menghela napas panjang. 

"Aku lelah haya.., tidak peduli seberapa kerasnya aku bekerja..kupikir mereka tidak pernah merasa cukup" haya terdiam, menunggu gio melanjutkan ceritanya. 

"Kau bayangkan, selama kita di sma aku selalu bekerja kan haya, aku menggantikan ayah karena dia kecelakaan. Aku mengerti, sangat mengerti bahwa memang aku mampu untuk setidaknya membantu ibu membayar biaya rumah sakit ayahku dan biaya hidup. Tapi..kenapa?, sejak kapan semuanya seakan melempar tanggung jawab padaku" mata gio berair dan nafasnya tercekat saat berbicara. Haya menepuk pelan tangan gio dan menunggu dia melanjutkan ceritanya. 

"Ibu tiba tiba bilang dia tidak mau bekerja karena atasannya banyak bicara, dia juga mengatakan gajiku yang bekerja di supermarket sudah cukup untuk menghidupi keluarga. Saat ayah sembuh, kupikir dia akan membantuku tapi..tidak,dia juga tidak bekerja. dia bilang kakinya masih sakit, dan banyak alasan lainnya, dia juga mengatakan bahwa sudah waktunya akulah yang harus memberikan biaya pada mereka" gio menepis air matanya dengan lengan jaket miliknya. Haya menghentikan tangan gio karena khawatir akan melukai matanya. 

" itu akan sakit.. gunakan ini" ucap haya dan memberikan tisu yang ada di meja sebelah. Gio menarik napasnya lagi dan menghapus air matanya yang semakin mengalir. 

"Terimakasih, maaf tidak seharusnya aku datang padamu di pagi hari dan mengatakan hal gila ini" ucap gio, berusaha menahan diri agar tidak melanjutkan ceritanya. 

"Minumlah, lalu kau bisa melanjutkan ceritamu. Tolong..aku memaksa" ucap haya dan memberikan cangkir teh itu kepada gio. Gio mengangguk dan menerima cangkir teh tersebut perlahan dia menyesapnya. aroma dari daun teh dan manisnya minuman itu sedikitnya membuat gio merasa tenang, dia meletakkan cangkir di atas meja dan menatap haya lagi.

"Baiklah, sebenarnya aku tidak masalah jika aku Memang harus membiayai hidup orang tuaku. Tapi.. entah apa yang ada di pikiran mereka, tiba tiba anak laki-laki dari sepupu ayahku datang dan mereka memintaku berbagi kamar dengan anak itu. Kupikir tidak ada masalah, normal untuk berbagi kamar apalagi katanya anak itu masuk perguruan tinggi yang dekat dengan rumah kami. Tapi, yang membuatku ingin marah adalah cara orang tuaku memperlakukan aku dengan anak tersebut. Mereka selalu menyiapkan sarapan untuk anak itu tapi tidak pernah memberikan satu mangkok pun untukku..mereka bilang aku bisa makan di supermarket"

Haya mengangguk, dia tidak pernah mengalaminya tapi mendengar sahabatnya mengalami nasib yang buruk dia sangat bersimpati padanya. 

"Aku mencoba mengerti...tapi, bagaimana bisa mereka menggunakan uangku untuk biaya kuliah anak itu?. Bagaimana bisa mereka mengatakan seharusnya aku bekerja lebih giat agar punya uang lebih dan bisa membelikan mereka mobil dan rumah yang besar?..kenapa mereka tidak pernah puas?. Anak itu masih punya orang tua kenapa mereka tidak meminta uang saja dari mereka karena dia anaknya yang menumpang di rumah kami!. Aku marah haya..tapi aku tidak bisa mengatakannya langsung pada orang tuaku.. aku terlalu pengecut" ucapan gio melemah di akhir dan badannya kembali bergetar. 

"Puncaknya malam tadi, aku pulang kehujanan kupikir mereka setidaknya menanyakan keadaan ku..tapi apa?, mereka menanyakan uang bonus lembur milikku. Aku bilang tidak ada, dan ayahku membuka tasku begitu saja dia mengambil uang bonus milikku..sekarang aku tidak punya uang sepeserpun haya..aku tidak tahu Dosa apa yang telah kuperbuat di masa lalu"

Mata haya membulat tak percaya mendengar ucapan gio hatinya merasa ikut tersayat saat melihat tubuh gemetar gio.

"Mereka bilang aku penipu, pelit karena berbohong lalu mengusirku dari rumah dan disinilah aku sekarang..semalam aku menginap di rumah Noah tapi dia pergi dan aku tidak enak berada di rumah yang pemiliknya pergi apalagi ada orang tua noah jadi aku keluar dan yang terpikir hanya kamu..maaf jadi mengganggu" sesal gio lalu menghapus air matanya. Haya menggeleng dan tersenyum hangat. 

"Menganggu apa?, sudahlah.. terimakasih sudah bercerita..aku tidak cukup baik dalam memberi saran, tapi..bagaimana kalau kamu memisahkan uang gajimu ke bos atau siapapun yang kamu percayai jadi kamu masih punya pegangan. Katakan pada orang tuamu kalau gajimu dikurangi begitu saja.. terkadang kita harus berbohong untuk menyelamatkan diri" balas haya, gio mengangguk dan tersenyum tipis. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun