Mohon tunggu...
Hilda Nurhayati
Hilda Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca mendengarkan musik dan sesekali menulis -tidak akan ada yang tahu ceritamu kecuali kamu menceritakannya pada mereka-

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

A story over tea

19 Oktober 2024   19:27 Diperbarui: 19 Oktober 2024   19:32 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Suara angin terdengar cukup nyaring hari ini, mungkin sudah waktunya awan menangis setelah beberapa bulan terakhir selalu bahagia. Klakson mobil tidak terlalu terdengar di tempat ini, membuat gadis yang sedang mengeluarkan kukis dari oven bernyanyi mengikuti irama lagu dari handphone miliknya. Matanya berbinar dan sudut bibirnya terangkat saat melihat hasil karyanya yang kini tersaji dengan indah di display kue. 

"Selamat, atas debutmu matcha kukis" gumamnya dengan senyuman lebar. Sara nyaring dari cerek yang ada di atas kompor membuat perhatian gadis itu teralih dari kukis dan bergegas untuk mematikan kompor. 

"Sepertinya sulit untuk mendapatkan pelanggan pertama" keluh gadis itu dan duduk di sofa empuk dekat jendela. Matanya melirik ke arah gedung-gedung tinggi yang ada di sekeliling toko teh miliknya. Deru angin semakin kencang hingga membuat lonceng angin di tokonya berbunyi, alis gadis itu mengernyit saat melihat langit semakin gelap. Dia bisa melihat beberapa kilatan dibalik gelapnya langit saat itu. Jantungnya memburu dan tangannya menggengam erat meja yang tepat berada di depannya.

"Tolong jangan" gumamnya berulang kali sembari memejamkan mata saat hujan yang awalnya hanya rintik berubah menjadi deras. Mata gadis itu bergetar dalam pejamannya. Isak tangis mulai keluar, tangannya pun bergetar namun tidak memiliki niat untuk melepaskan genggamannya dari meja. 

"Ahhhhhhh!" Teriaknya saat gemuruh dari kilat terdengar keras dan membuatnya jatuh dari sofa yang didudukinya. Gadis itu meremas dadanya dengan kuat, merasakan debaran kencang yang masih terasa. Matanya menatap kosong ke arah depan, nafasnya masih memburu namun perlahan membaik. Dia bangkit dari duduknya, dan dengan gerakan lemas berjalan menuju tempat dibelakang konter. 

Dia menghembuskan napas lega saat melihat tidak ada lagi kilat yang menyambar di langit. Sebelum berjalan untuk menyalakan tea maker. Dia membuka rak untuk membawa stoples berisi bunga lavender kering dan daun mint. Dengan telaten, gadis itu memasukkan satu sendok lavender kering dan beberapa daun mint ke dalam tea maker. Setelahnya ia memasukan air panas ke dalamnya. 

"Hah..syukurlah, meskipun hujannya masih deras. Setidaknya tidak ada lagi suara gemuruh" ucapnya dan duduk di kursi yang dekat dengan tea maker yang sedang melakukan tugasnya. Untuk menghilangkan rasa bosan, dia membuka buku novelnya dan perlahan situasi hujan di luar tidak terdengar karena fokusnya telah tertuju pada buku yang sedang dibacanya. 

"Halo?" Suara wanita dan pintu yang terbuka membuat gadis itu terlonjak, matanya dengan cepat menatap gadis yang berdiri di ambang pintu tokonya. 

'Pelanggan pertama!' Batin gadis itu dan dengan cepat menghampiri wanita yang terlihat  bingung untuk masuk atau tidak.

"Halo, selamat datang ada yang bisa saya bantu?" Tanya gadis itu dengan senyuman paling ramahnya. 

"Ah itu..sebenarnya aku hanya ingin berteduh..hujannya lebat dan payungku robek karena tersangkut di pohon" jujur wanita itu, lalu menatap sekeliling toko milik si gadis. 

"Begitu rupanya, tidak apa-apa mari masuk, dan duduk dimanapun yang kamu suka" balas gadis itu masih dengan senyumannya yang ramah. Wanita itu tersenyum balik dan meletakkan payung di samping pintu sebelum berjalan menuju kursi yang dekat dengan jendela. 

"Ah..boleh aku tahu namamu?" Wanita itu bertanya pada si gadis yang kini kembali ke belakang konter. 

"Namaku? Ah..tentu, namaku Nur hayati. Biasanya temanku memanggilku haya atau aya" balas gadis itu yang kini menyajikan teh yang sudah ia buat ke cangkir.

"Nur Hayati? Sepertinya orang tua mu benar benar menaruh harapan besar padamu ya haya" balas wanita itu, haya hanya tersenyum dan meletakkan dua kukis dan teh ke nampan lalu berjalan menuju meja wanita tersebut.

"Oh aku tidak membawa uang" tolak wanita itu saat haya meletakkan teh dan kukis di mejanya. 

"Ah..ini gratis, tapi.. kamu bisa membayar dengan memberitahu siapa namamu" balas haya dengan senyuman manisnya. Wanita itu tertawa pelan dan tersenyum ke arah haya. 

"Namaku maya, aku pekerja di kantor sebelah tokomu. Awalnya aku berniat pulang tapi takdir berkata lain, meskipun begitu aku tak menyesal karena bisa bertemu denganmu haya" jawab maya dan menatap ke arah teh yang memiliki aroma khas itu. 

"Wow, sudah lama aku tidak mencium aroma lavender sekuat ini" gumam maya lalu mengalihkan pandangannya ke arah haya yang sedang menyesap tehnya. 

"Aku boleh menerimanya?" Pertanyaan maya membuat haya tertawa lalu mengangguk dengan senyuman. 

"Tentu, untuk apa aku menyajikannya jika bukan untuk diminum? Kalau tidak keberatan tolong makan kukis nya dan beritahu aku bagaimana rasanya" balas haya dan melihat ke arah luar, angin dan hujan nampaknya sedang bersahabat hari ini. 

"Kau tinggal sendiri disini?" Tanya maya dan membuat haya kembali melihat maya yang kini menikmati teh dan kukis buatan nya. 

"Ya, aku tinggal sendiri..bukan berarti aku tidak punya keluarga atau saudara, hanya saja aku suka kesendirian yah.." balas haya dengan nada yang sedikit rendah saat mengatakan 'keluarga'. Maya menelan tehnya dan mengangguk enggan melanjutkan saat mendengar jawaban haya. "Terkadang kita memang ingin sendiri bukan?, aku juga begitu..rumahku dekat dengan kantor tapi aku memilih membeli apartemen yang sedikit lebih jauh dari kantor" balas maya dengan senyuman manis. "Entahlah, terkadang tinggal sendiri rasanya lebih baik setidaknya bagiku haha" haya tertawa canggung saat mendengar balasan dari maya, dia ingin bertanya 'kenapa?' tapi diurungkan karena berpikir tidak seharusnya dia bertanya. 

"Sepertinya ada yang ingin kamu tanyakan?" Lanjut maya saat melihat ekspresi haya. Haya menggeleng lalu memakan kukisnya agar tidak perlu menjawab pertanyaan maya. 

"Tanyakan saja, aku tidak akan memakanmu" tambah maya dengan nada bercanda. Haya mengehela napasnya lalu menatap ke arah maya. 

"Kenapa kamu pikir sendiri itu lebih baik?, bukankah kesepian itu nyata?, contohnya saat sakit kamu harus mengobati dirimu sendiri, memasak, menghabiskan waktu sendiri tidak kah itu mengganggumu?" Cerocos haya, maya tertawa pelan saat melihat haya yang sedang menarik napas setelah mengucapkan semua kata itu dalam satu tarikan napas. 

"Pertama, baik bagiku karena aku tipe yang tidak suka tempat yang terlalu berisik dan untuk situasi dimana aku sakit. Aku masih bisa menelpon temanku dan memintanya untuk berkunjung. Aku juga sering menghabiskan waktu bersama di luar dengan rekan kantor atau teman dekatku. Jadi kesepian itu tidak ada di kamusku..temanku selalu ada" balas maya, haya mengernyitkan dahinya lalu menatap maya lebih dalam.

"Boleh aku bertanya? Mungkin ini pertanyaan sensitif" tanggap haya, maya mengangguk dengan percaya diri. 

"Kamu bilang temanmu selalu ada untukmu, bagaimana dengan keluargamu?" Pernyataan haya, membuat maya terdiam sejenak dan meletakkan cangkir teh di tatakannya. Haya menggigit bibir bawahnya. 'Apakah aku sudah bertanya terlalu jauh?' batinnya bertanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun