Mohon tunggu...
Hilda Nurhayati
Hilda Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca mendengarkan musik dan sesekali menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita dengan Payung Merah

30 Agustus 2024   16:56 Diperbarui: 30 Agustus 2024   17:00 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari, aku melihat seorang gadis berdiri di halte bus sambil memegang payung merah . Aku tidak bisa melihat emosi apapun di matanya, ini membuatku penasaran tapi juga takut. Setiap kali aku melihatnya, dia selalu ada  di sana di tempat yang sama dan memegang payung merah tersebut meskipun hari itu tidak hujan ataupun mendung. 

Dia selalu menatap ke arah jalan dengan tatapan kosongnya, aku tidak tahu harus bicara apa dan sikapnya membuatku semakin penasaran. Maksudku, dia terlihat sangat cantik selayaknya malaikat. Kenapa dia tidak memiliki emosi sama sekali?,  kenapa tatapannya sangat kosong seolah dia tidak hidup. 

Hari Demi hari berlalu dan aku selalu melihatnya  masih memegang payung merah yang sama, di tempat yang sama dengan tatapan kosongnya. Ini membuat rasa penasaran ku semakin menggebu-gebu sehingga akhirnya aku berani bertanya kepada wanita itu. Aku bertanya kenapa dia selalu menunggu di halte bus namun tidak menaiki bus, dia menjawab bahwa dia sedang menunggu. Aku mengangguk paham dan tersenyum kepadanya sebelum berjalan menjauh. 

Satu musim telah terlewati dan aku masih melihat dia berdiri di sana, di halte bus yang sama. Namun hari ini tatapannya berbeda, tatapannya sekarang terlihat berharap. Ini membuatku penasaran lagi dan bertanya padanya apa yang sedang dia tunggu hingga dia terlihat sangat berharap berbeda dari biasanya. Dan dia pun menjawab, anaknya akan datang menemui dia setelah sekian tahun berpisah tanpa bisa bertemu. Aku tersenyum dan memutuskan untuk menunggu bersama wanita itu. 

Selama menunggu, aku bisa melihat senyumnya yang tidak pernah luntur dan tatapan berbinar yang penuh dengan cinta.  Suara sirine ambulance terdengar dari arah kejauhan dan aku bisa melihat senyum wanita itu semakin melebar. Aku memundurkan langkahku saat ambulan berhenti tepat di depan halte bus. Belum sempat aku berkata, wanita itu tersenyum dan berlari menuju ambulan yang menurunkan peti wanita itu membuka peti itu dengan tidak sabar dan memeluk jenazah yang ada di dalamnya. Itu membuatku terkejut, anaknya datang tapi dia sudah tiada.  Dia menunggu begitu lama namun yang bisa dia temui hanyalah anaknya yang sudah tak bernyawa. 

Dia melihatku, tangannya memegang erat payung merah dan tangan kanannya memeluk erat anaknya. "Dia kembali dan payung ini belum rusak" katanya, dan membuatku bingung. Aku ingin bertanya namun petugas medis meminta wanita itu masuk agar mereka bisa melanjutkan perjalanan ke rumah duka. 

Setelah hari itu,  aku tidak pernah melihatnya lagi. Mungkin penantiannya sudah berakhir. Aku menghela napas dan fokus dengan kehidupanku. Tahun demi tahun berganti dan tepat di akhir musim panas, aku melihatnya kembali sorot matanya penuh dengan penyesalan.

Aku tersenyum dan mendekati wanita itu.

"Kau.. baik-baik saja?, ini sudah 3 tahun sejak saat itu" tanyaku, wanita itu tersenyum namun tidak mengangguk.

"Munafik jika aku bilang aku baik-baik saja, tapi..hidup akan terus berjalan, dunia ini akan tetap ada meskipun kita hancur. Aku harus tetap hidup" aku tersenyum mendengar jawabannya. 

"Apa aku boleh tahu kenapa kau masih memegang payung merah itu?" Tanyaku saat melihat payung itu masih ada di genggamannya. 

"Ini?, ini adalah payung kesayangan anakku, dia berjanji untuk kembali sebelum payung ini rusak..dan dia menepatinya, meskipun dia tidak datang dengan keadaan dimana aku bisa menahannya untuk pergi lagi" hatiku rasanya sedikit teriris, namun berusaha untuk tetap tersenyum. 

"Andai saja aku cukup kuat untuk membesarkan dia, aku pasti bisa melihat dia tumbuh dewasa namun takdir berkata lain. Dia akan baik-baik saja bersama ayahnya di sana. Dan yang perlu aku lakukan adalah tetap hidup hingga waktunya aku bertemu dengan mereka" 

Aku mengangguk mendengar ucapan wanita itu. Dan tanpa kusadari hujan turun membuatku agak terkejut karena ini masih musim panas.

"Ah hujan..kamu perlu payung ini?" Aku menggeleng saat dia menawarkan payungnya. Wanita itu mengangguk lalu bangkit dari kursi halte. 

"Aku pergi dulu kalau begitu" ucapnya lalu, pergi dengan payung merahnya. Aku menghela napas dan menunggu bus untuk mengantarku pulang butuh 30 menit lagi untuk busnya datang dan hujan semakin deras. 

Setelah menunggu, akhirnya bus yang kutunggu tiba dan dengan cepat aku masuk ke dalam bus bersaing dengan pekerja lain yang menunggu bersamaku.  Aku duduk di samping jendela dan melihat pemandangan kota yang sudah menjadi familiar di mataku. 

Mendengar cerita dari wanita itu, aku jadi merindukan keluargaku di desa. Mungkin sebaiknya aku mengajukan cuti dan menemui mereka. Aku tersadar dari pikiranku saat bus tiba tiba berhenti dan aku bisa mendengar suara sirine dari jauh. Mataku melirik ke arah jalanan dan menemukan payung merah yang sering aku lihat sudah rusak tergeletak di jalanan. Mataku menelusuri lebih jauh dan menemukan wanita yang baru saja berbincang denganku. Memeluk erat seorang anak dengan tangannya yang penuh luka. Rasanya aku ingin berhenti. Namun sayang, bus sudah melaju  dan membuatku tidak bisa menemuinya. 

Seminggu setelah kejadian itu, aku melihat wanita itu bermain di taman dengan anak yang dia peluk saat kejadian itu. Tangannya terlihat masih dibalut oleh perban namun matanya memancarkan kebahagiaan. Mungkin, tuhan sedang memberikan kesempatan bagi wanita itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun