Mohon tunggu...
HILDA REIZA PUTRI 220910101110
HILDA REIZA PUTRI 220910101110 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Proteksionisme Nikel Indonesia: Analisis dan Dampak

29 Februari 2024   13:23 Diperbarui: 29 Februari 2024   15:13 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nikel merupakan salah satu komoditas yang paling banyak dibutuhkan oleh banyak industri terutama industri logam paduan, stainless steel, baterai, dan pelapisan logam. Dewasa ini, nikel banyak dibutuhkan sebagai bahan baku utama pembuatan dalam pembuatan baterai lithium yang digunakan untuk kendaraan listrik. 

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor bijih nikel terbesar di dunia. Indonesia memiliki 52% cadangan nikel dunia mencapai 139.419.000 ton Ni yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua. Indonesia mampu memproduksi 1 juta metrik ton pertahun yang menyumbangkan sekitar 37% produksi nikel dunia pada tahun 2021. 

Namun, pemanfaatan nikel di dalam negeri masih terbilang rendah karena sebagian besar produksi nikel yang diekspor dalam bentuk bijih nikel. Hal ini terjadi sebelum adanya pemberlakuan kebijakan larangan ekspor mineral mentah pada tahun 2020.  

            Sejak tahun 2019, Indonesia telah mengambil kebijakan untuk melarang adanya ekspor mineral mentah. Pada Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)  Nomor 11 Tahun 2019 pemerintah melakukan relaksasi dengan mewajibkan bagi setiap perusahaan nikel untuk memiliki smelter (pemurnian). 

Hal ini ditujukan agar pengolahan nikel mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi. Namun keputusan yang diambil Indonesia mendapatkan protes dari Uni Eropa. Uni Eropa merasa keputusan yang diambil Indonesia dianggap tidak adil dan mengakibatkan dampak negatif kepada industri baja Eropa akibat akses terhadap bijih mineral yang terbatas. 

Uni eropa juga menganggap bahwa keputusan yang diambil Indonesia akan merugikan pasar global dan menghalangi Uni Eropa dalam mendapatkan nikel harga murah. Berakhir Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO dengan dan Uni Eropa yang memenangkan gugatannya.

            Meski akhirnya kalah gugatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan akan tetap teguh pendirian dalam melakukan kebijakan larangan ekspor bijih mineral mentah. Presiden Joko Widodo juga menghimbau kepada para menterinya untuk terus menjalankan hilirisasi demi mewujudkan Indonesia maju. 

Setidaknya terdapat 3 alasan Indonesia untuk tetap menjalankan pelarangan ekspor nikel. Pertama, mengembangkan program hilirisasi. Indonesia telah mengembangkan teknologi smelter. Indonesia telah menargetkan untuk terus menambah teknologi smelter sebanyak 53 smelter pada tahun ini. Melalui hasil olahan smelter, nikel Indonesia akan memiliki kualitas dan nilai jual yang lebih tinggi. Dengan hasil nikel yang lebih berkualitas tersebut harapannya dapat membantu peningkatan keuntungan ekspor. 

Kedua, pemerintah memiliki tujuan untuk mengamankan stok nikel yang ada untuk kebutuhan smelter yang terus meningkat. Ketiga, melalui program hilirisasi pemerintah menargetkan untuk meningkatkan investasi asing menanamkan modal mereka. Selain itu, dengan program hilirisasi diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan untuk memperbaiki PDB Indonesia dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

          Berdasarkan pada alasan diatas, Indonesia berfokus pada pengembangan industri dalam negeri. Industri nikel di Indonesia belum mampu bersaing dengan industri besar negara lain. Dengan adanya kebijakan proteksionisme yakni pelarangan ekspor, industri pemula dapat mulai menyesuaikan kapasitasnya dalam mempersiapkan diri untuk bersaing di kancah internasional. Harapan Indonesia adalah terlepas dari ketergantungan global, Indonesia mampu memproduksi olahan nikel yang bernilai ekonomi tinggi.

            Disamping itu, terdapat dampak negatif dari progam hilirisasi ini. Investor terbesar dalam hilirisasi ini adalah China. Koordinator Jatam Melky Nahar mengatakan bahwa pemerintahan Joko Widodo telah memberikan "karpet merah" kepada China dengan tanpa memedulikan setumpuk masalah yang ada di lapangan, termasuk sengketa lahan, isu kesehatan, dan kerusakan lingkungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun