Tulisan saya sebelumnya tentang Sastra Instant yang agak mengusik dunia fiksiana sehingga melahirkan puluhan postingan dan ratusan komentar membuat saya merasa sedikit bahagia karena mengetahui ada juga ternyata Kompasianers yang tertarik dengan isu sastra yang selama ini saya pikir sedikit yang berminat di dunia Kompasiana.
Untuk menyikapi kritikan, komentar dan masukan terhadap tulisan saya dan menganggap saya tidak mempunyai hak untuk menilai atau menghakimi (saya sendiri lebih suka menyebutnya mengkritik) karya-karya yang lahir di dunia fiksiana dan akhirnya menggeliat ke permukaan akan istilah (yang sebenarnya sudah lama ada) tentang Sastra Instan, akhirnya saya membuat tulisan ini.
Blessing in disguise juga sih, karena di satu sisi tentunya selain tulisan itu menuai banyak kritikan tajam, di sisi lain saya melihat begitu banyak postingan menyoal tentang Sastra Instant dari berbagai segi, saya menganggap semuanya sebagai suatu apresiasi, dan ini membuat saya tergelitik, karena ternyata banyak Kompasianer tertarik untuk mendiskusikan isu sastra yang selama ini jarang yang membahasnya, yaitu tentang kritisi atau penilaian terhadap karya sastra (termasuk di dalamnya fiksi).
Menurut saya, seperti ahli semiotik, Roland Barthes menyatakan, “Pengarang telah mati” pengertiannya, jika suatu karya sudah di published di umum, maka karyanya/tulisannya sudah milik umum. Sang penulis sebenarnya sudah tidak ada. Publik berhak mengapresiasi, menilai karyanya itu dalam segala ranah yang terwakili. Bukan pengarang yang berhak mengapresiasi karyanya, melainkan ranah publik (termasuk di dalamnya jurnalisme warga) lebih jauh lagi untuk sastra, ada kritikus sastra yang mampu melihat karya itu lebih dalam lagi sesuai keilmuannya.
Karya sastra yang dihasilkan seyogyanya mempunyai kegunaan setidaknya pencerahan bagi yang membacanya (art for life) Setelah membaca karya novel atau puisi kita, orang lain akan mengambil pembelajaran dari hasil karya kita. Bukankah demikian yang dialami banyak orang, dalam hatinya serasa berkobar-kobar setelah membaca karya Chairil Anwar, Sutarji ataupun Rendra? Ataupun setelah menyelesaikan pembacaan karya Pramoedya, Linda Christanty ataupun Andrea Hirata, kita merasakan betapa cerdas dan meresapnya tulisan mereka, menjadi pencerahan dan menambah nilai hidup kita?
Saya mungkin orang yang memilih prinsip art for life (seni untuk sosial/masyarakat). Perlulah kita jujur pada diri sendiri, tidakkah kita merasa bahagia dan senang jika karya kita dibaca banyak orang? Menjadi pencerahan, di komentari dan kemudian didiskusikan lebih dalam lagi? Kemudian apa yang terjadi setelah timbul kesadaran dari pembacanya? Kegairahan dalam hidup menjadi meningkat, perlawanan bagi hal-hal yang dilihat tidak adil dan inhuman di sekitarnya semakin menguat dan akhirnya? Apakah yang terjadi dengan masyarakat yang tingkat kesadaran humanisme di negerinya tinggi? Korupsi, kejahatan dan ketidak adilan pastinya akan lebih kecil. Mungkin saja kesadaran dan pendidikan sastra yang kurang di negeri kita menyebabkan Negara kita terpuruk di lembah korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela.
Sebagai Apresiator
Mudahnya, apresiator adalah seseorang yang mampu mengapresiasi suatu karya sastra. Saya sendiri lebih suka mengambil konsep pemahaman dari Stanley Fish mengenai teks polisemik yang membawa pembaca pada tingkatan beresiko akibat membaca suatu teks (entah itu karya sastra, fiksi maupun teks lainnya).
Konsep ini akan membawa pembaca dalam posisi yang kurang nyaman dan mengganggu, mengapa? Karena dalam hal ini sebelum membaca tentunya dalam kepala si pembaca ini sudah mempunyai konsep pemikiran dan pengalaman hidup diri mereka sendiri. Nah, jika kemudian karya yang ditawarkan dan dibaca menjadi pengganggu dalam diri pembaca dan secara tidak langsung membuat pembacanya harus menghayati dan meneliti hal-hal yang mereka percayai dan kehidupan mereka sendiri lalu pada akhirnya suatu karya itu meminta kepada pembaca untuk menemukan kebenaran mereka sendiri dan lebih jauh juga kadang kepada harga diri pembaca itu (intinya sih seperti bercermin, merefleksikan).
Daripadanya lah kemudian lahir opini-opini, komentar-komentar yang mengapresiasi tulisan tersebut secara baik maupun berlawanan. Itulah proses pembacaan yang mendalam. Menurut saya Pembaca mampu menjadi apresiator yang baik jika ia telah melewati proses di atas tersebut.
Pertanyaannya sekarang ke kita semua, apakah sedalam ini kita membaca karya-karya Kompasianer di ruang Fiksiana sebelum kita memberikan komentar ataupun opini, atau hanya karena sekedar teman, basa basi, ketawa-ketiwi, yang penting kelihatan bahwa kita sudah membaca tulisan Kompasianer tersebut? Katanya dunia fiksiana menjadi ruang belajar bagi semua Kompasianers?
Seperti apakah proses belajar mengajar yang terjadi itu? Atau karena hanya hingar bingar pertemanan dan fanatisme absolut semata kemudian mengesampingkan apresiasi bagi karya teman-teman kita?
Sebagai Kritikus
Tentunya secara sederhana kerjanya pasti mengkritisi sesuatu. Dalam Sastra sebagai sebuah ilmu, ada yang namanya Kajian Sastra lalu Kritik Sastra. Kritik Sastra tentunya mengkritisi suatu karya sastra dalam ranah sastra sebagai keilmuan. Akademisi Sastra lahir karena kebutuhan dunia akan para pemikir-pemikir akademis yang dengan khusus mempelajari dan memperdalam kaidah-kaidah sastra yang ada dan kemudian mengimplementasikannya dalam hasil-hasil sastra yang ada sejak dahulu sampai yang terkini, lalu menyajikannya ke masyarakat.
Kritik Sastra kemudian menelaah karya-karya itu secara teoritis maupun praktis. Kritik Sastra secara sederhana menjadi jembatan penghubung antara Pelaku Sastra, Penggiat Sastra dan Publik Sastra (Pembaca). Kegunaan kritik sastra sendiri, selain memberi penilaian yang baik atau buruk, juga menjelaskan dimensi-dimensi lain yang terkandung dalam karya sastra untuk pembacanya.
Mengapa sepertinya harus dari kalangan akademisi sastra yang menjadi kritikus sastra? Tidak menutup kemungkinan bisa saja jika mau dari luar, pastinya akan muncul pertanyaan mengenai kemampuan kritis yang dapat diterima (acceptable), mumpuni dan mempunyai nalar kemana arah karya yang dikritik tersebut akan di interpretasikan nantinya.
Nah, dimana saya sendiri berdiri jika saya membaca sebuah karya sastra, termasuk di dalamnya fiksi?
Dua-duanya, saya akan berdiri sebagai apresiator, menjadi pembaca yang kritis dalam menilai suatu karya sastra dan fiksi, dan lebih jauh lagi jika diperlukan, saya akan berdiri sebagai kritikus, tentunya dari keilmuan yang telah dipelajari untuk menelaah suatu karya dilihat dari kaidah-kaidah sastra yang sahih.
Saya tidak tahu dengan teman-teman Kompasianers terutama di Fiksiana. Tapi untuk saya secara pribadi, dalam mengikuti atau bergabung dengan sesuatu saya harus mendapatkan makna dari hal itu. Demikian juga bergabung dengan Kompasiana. Semoga sharing saya ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H