Sialnya, biaya pendidikan di Pesantren itu cukup Mahal, kayaknya biaya SPP bulannya sama dengan UMR kota itu deh. Singkat cerita sang ketua PCM sekaligus ayah sang anak itu nego agar biaya masuk dapat dibayar duakali, bukan dikurangi, hanya dibayar dua kali. Betapa mengiris hati, teganya sang mudir menolak dan mempersilakan untuk mencari sekolah lain saja.
Secara historis sosiologis, proses pendidikan yang didirikan oleh KHAD ditujukan bagi orang yang belum berdaya secara ekonomi agar si anak itu tumbuh menjadi orang yang cerdas sehingga pada akhirnya dapat menjadi manusia yang berdaya. Dan proses itu senada dengan yang dimaksudkan oleh Social Mobility Index yang dirilis oleh World Economic Forum.Â
Dalam indeks itu, Indonesia menempati menempati urutan ke 67 dari 82 dengan nilai 49.3, artinya jika saya berasal dari kalangan orang miskin, maka probabilitas saya untuk tetap menjadi orang miskin sangat tinggi.Â
Maka tak heran bila kita mendengar anekdot 'yang kaya makin kaya, adapun yang miskin makin miskin'. Sangat berbeda dengan Denmark yang menempati urutan pertama dengan nilai 85.2, artinya orang miskin disana memiliki probabilitas yang tinggi untuk mengubah nasib hidupnya.
Jika kita ingin sandingkan sedikit, setiap negara memiliki kaum oligarkinya masing-masing tak terkecuali Indonesia. Menurut Prof. Jeffrey Winters, sumberdaya utama Oligarki tak lain adalah uang, dan mereka bertujuan untuk menjaga uang itu sehingga tidak terjadi redistribusi sekaligus untuk memengaruhi iklim sosial politik negara.Â
Pertemuan antara aktor oligarki dan publik figur pemerintahan membuat timbulnya konflik kepentingan untuk melakukan praktek korupsi. Korupsi kemudian membuat pertumbuhan ekonomi negara stagnan (dengan tidak mengatakan menurun). Pada saat yang sama juga merampas hak masyarakat untuk pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya.
Nah jika hak masyarakat Indonesia untuk memperoleh pendidikan dirampas oleh para koruptor. Apa respon Muhammadiyah atas fenomena itu? Tentu membebani biaya pendidikan yang tinggi bukan hal yang tepat di tengah masyarakat Indonesia yang didominasi oleh kelas menengah bawah.Â
Dengan demikian perjuangan KHAD dalam membangun sekolah yang bisa dinikmati oleh orang miskin itu mesti menjadi spirit Muhammadiyah dalam menyelenggarakan pendidikan era kini.Â
Sebab jangan sampai, kisah perjuangan KHAD itu hanya tinggal kisah semata yang dibanggakan, direproduksi, dikapitalisasi dalam buku pelajaran Kemuhammadiyahan.Â
Sedangkan dalam kenyataan, bahkan anak pengurus Persyarikatan sendiri yang tidak bisa menyekolahkan anaknya di persyerikatan Muhammadiyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H