Mohon tunggu...
Hikmawan S. Putra
Hikmawan S. Putra Mohon Tunggu... Editor - Dosen, Editor dan Penulis Buku, Pegiat Litresi

Hikmawan memiliki minat pada bidang sejarah, agama, sosial dan politik. Hikmawan kerap mengkontruksikan sebuah tulisan dari sudut pandang historis dan psikologis. Hikmawan aktif sebagai editor, beberapa buku yang ia sunting adalah “14 Bekal Dokter Puskesmas”, “Perguruan Islam Al-Ulum Medan: Membangun Pendidikan Islami (1965-2021)”, “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Sekolah Reguler”, “Pendidikan Kewarganegaraan: Perspektif Kearifan Lokal Berwawasan Global”, “Arti Sahabat: Antologi Cerpen Siswa-Siswi SMP Negeri 13 Binjai”, dan lain-lain. Selain itu, editor juga beberapa kali menghasilkan karya buku, di antaranya “Inovasi Pemerintahan (2013)”, “Sabda Hikmah (2021)”, “Media Pembelajaran Berbasis ICT (2022)”, dan “Politik Kebangsaan Muhammadiyah (2022)”. Saat ini Hikmawan aktid sebagai penulis, editor, pengelola penerbit, guru dan Dosen Tidak Tetap di Universitas Medan Area. Hikmawan bisa dihubungi melalui nomor WhatsApp: 081276139718 dan email: hikmawansp@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fenoma Akhir Tahun: Negara Kesatuan yang Boros

31 Desember 2022   11:00 Diperbarui: 31 Desember 2022   10:59 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu fenomena yang jamak dijumpai ketika akhir tahun tiba di hampir seluruh daerah di Indonesia. Pembangunan sarana dan prasarana publik, berbagai kegiatan seminar, diklat, pelatihan, sosialisasi, iklan dan sejenisnya, adalah beberapa fenomena yang dimaksud. Di satu sisi fenomena ini dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar, seakan telah menjadi tradisi yang dianggap biasa dilakukan di penghujung tahun. Namun di sisi lain, memberikan dampak negatif tahunan yang tidak sedikit. Banyaknya kegiatan fisik di ruang-ruang publik, seperti renovasi jalan raya, perbaikan gorong-gorong dan drainase, pembangunan jembatan yang tersebar dan menumpuk pada setiap titik dan ruas jalan menyebabkan tradisi banjir dan kemacetan yang terjadi pada setiap akhir tahunnya. Kemacetan ini pada akhirnya yang akan menghambat proses efisiensi perputaran ekonomi, pertumbuhan masyarakat dan kegiatan kependidikan.

Selain itu, pekerjaan yang dilakukan secara terburu-buru dan harus "berkejaran-kejaran dengan waktu (deadline)" tentu akan menghasilkan output yang tidak optimal dan berkualitas. Bahkan jika terlalu dipaksakan akan menimbulkan ketidakefektifan, dan jika terus berlanjut akan menimbulkan ketidakefisienan. Ketidakberkualitasan yang dimaksud adalah karena banyaknya infrastruktur fisik yang dibangun pada akhirnya memiliki kualitas yang rendah, tidak rapi, dan "asal-asalan". Belum lagi berbagai kegiatan pelatihan, seminar dan sejenisnya yang sesungguhnya tidak terlalu urgensi dan dibutuhkan dan pada akhirnya menghasilkan kegiatan yang "asal jadi" dan dianggap tidak efektif. 

Ketidakefektifan yang dimaskud adalah tidak tepat sasaran, tepat guna, kebermanfaatannya tidak jelas, dan tidak sesuai dengan tujuan dari kegiatan-kegiatan itu sendiri. Fenomena ini seakan terus berlanjut di  penghujung tahun, sehingga menjadi sebuah budaya dan tradisi tahunan yang akhirnya menghasilkan negara yang tidak efisien. Ketidakefisienan yang dimaksud adalah tidak mampu memperkirakan secara matang antara perencanaan dan pelaksanaan, pengeluaran dan pemasukan, sehingga yang terjadi penghambur-hamburan dan pemborosan negara. Pemborosan-pemborsan itu semakin membengkak ketika alokasi anggaran tidak disalurkan kepada kebutuhan yang semestinya. Seakan sudah lazim terjadi begitu banyak "siraman" ketika suatu proyek pengerjaan program pembanguan dan kegiatan itu dieksekusi.

Instansi pemerintahan daerah bekeyakinan bahwa alokasi APBD yang berjalan dan yang telah dianggarkan harus segera "dihabiskan", jika tidak maka instansi pemerintahan yang bersangkutan harus mengembalikan anggaran tersebut dan dianggap "tidak layak" untuk mendapatkan anggaran yang sama atau lebih pada tahun anggaran berikutnya. 

Memang tidak ada yang memaksa instansi pemerintah daerah untuk menghabiskan atau menyerap anggaran di atas 90% atau anggaran belanja yang telah dialokasikan tidak selamanya harus habis sesuai pagu yang tersedia. Namun ketika pemerintah daerah yang tidak mampu mememuhi taget kinerjanya, misalnya dari 5 miliyar yang dianggarakan, hanya 3 miliyar yang terealisasikan, maka pemerintah daerah dianggap gagal dalam melakukan perencanaan penganggaran yang matang. Maka kelebihan 2 miliyar itu harus dikembalikan kepada nagara. Makanya pemerintah menghimbau berulang kali agar penyerapan anggaran dilakukan sedini mungkin, agar setiap satuan kerja dapat merivisi anggaran tersebut dan jika ada kelebihan anggaran bisa dialokasikan kepada kegiatan lain yang belum mendapatkan anggaran. 

Namun masalahnya, setiap instansi pemerintahan juga "tidak rela" jika dana anggaran itu kembali kepada negara untuk membiayai satuan kerja yang lain yang masih kekurangan anggaran. Maka solusi instannya adalah "pemborosan", pembiayaan yang tidak tepat sasaran dan pembelanjaan secara "jor-joran" di akhir tahun. Serba dilematis memang. Jika berkata jujur, sebenaranya pemerintah pusat mengetahui akan hal ini, namun seakan terjadi "pembiaran-pembiaran".

Dalam padangan dan nalar positif, sebenarnya negara sah-sah saja menarik kembali anggarannya yang tidak terserap sesuai target penganggaran asalkan semua kinerja telah terpenuhi. Artinya negara juga berfikiran positif bahwa untuk apa diberikan dana berlebih jika dengan dana yang cukup juga bisa mengahasilkan kinerja yang baik. Namun yang terjadi adalah negara atau pemerintah pusat justru mendesak agar setiap instansi pemerintahan menyerap anggaran tersebut dengan optimal dengan dalih agar mencapai target fiskal, menciptakan pertanggugjawaban yang rapi dan memberikan kebermanfaatan maksimal bagi masyarakat. Bahkan pemerintah pusat dalam dua bulan terakhir tahun ini berkomitmen menyerap Rp.1.200 triliun anggaran dari pagu belanja sebesar Rp 3.106,4 triliun yang belum terserap sesuai dengan Perpres 98/2022. Artinya pemerintah baru merealisasikan belanja sebesar Rp 1.913,9 triliun atau terserap 61,6% hingga 30 September 2022. Dari sini dapat terlihat bahwa pemerintah pusat sendiri tidak memberikan contoh yang baik dalam mengelola negara yang efisien.

Seringkali kinerja yang baik dinilai dari sebrapa besar penyerapan anggarannya. Hal ini di satu sisi memang tidak salah, sebab penyerapan anggaran yang baik tentu akan menunjang infrastruktur yang baik, pelayanan yang optimal dan pembangunan ekonomi daerah yang meningkat. Namun ketika anggaran itu dipaksakan harus habis, ini masalahnya. Tidak jarang pemerintah daerah atau pusat bekerja tidak terstruktur, teorganisir, rapi dan terencana, yang mengakibatkan setiap satuan kerja "berlomba-lomba" dengan waktu yang singkat untuk menghabiskan anggaran. Maka yang terjadi di lapangan adalah pekerjaan yang "asal jadi", tidak sesuai kebutuhan, bahkan beberapa ada yang fiktif. Maka dari itu, kinerja yang baik seharusnya tidak hanya dinilai seberapa besar terserapnya anggaran tersebut, namun juga melihat asas kebermanfataan dan luaran yang dihasilkan.

Keteledoran instansi pemerintah hingga melaksankan sebagian besar programnya di akhir tahun adalah perbuatan yang "kekanak-kanakan" dan "tidak dewasa". Biasanya instansi pemerintah daerah membuat program sebanyak-banyaknya untuk diajukan, termasuk program yang tidak begitu urgensi atau penting, dengan harapan jika beberapa program dicoret atau tidak disetuji maka masih banyak program lain yang diterima. Makanya seringkali penganggaran yang diajukan tidak sesuai kebutuhan. Sehingga ketika anggaran suatu program kegiatan itu disetujui, maka biasanya tidak langsung diterapkan atau dilaksanakan karena dinilai belum mendesak dan tidak harus buru-buru untuk mengimplementasikannya, yang pada akhirnya proses penyerapan anggaran "menumpuk" di akhir tahun.

Keteledoran ini juga terjadi oleh beberap sebab, di antaranya faktor sumberdaya manusia yang kurang dan kompeten, permasalahan teknis perizinan dan surat menyurat, permasalahan teknis terkait pengadaan barang dan jasa, masalah pembebasan tanah dan penolakan warga, masalah politik dan kepemerintahan, misalnya lambatnya bergantian kepemimpinan atau kepungurusan dan konflik pentingan, atau bisa juga disebabkan permasalahan hukum, misalnya penyelewengan anggaran, terjerat kasus-kasus tertentu dan sebagainya. Perencanaan dan pelaksanaan yang tidak matang inilah yang akhir menimbulkan pemborosan negara.

Kita harus memahami terlebih dahulu untuk apa pembangunan dengan berbagai kegiatannya itu dilakukan. Tentu saja tujuan akhirnya untuk kebaikan masyarakat. Namun ketika pembangunan yang terjadi justru tidak memberikan dampak yang baik untuk masyarakat, maka untuk apa pembangunan itu dilakukan. Pembangunan yang terburu-buru dan dilakukan "ngasal" tidak hanya memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat, namun membuat negara bangkrut, "tumpul" dan tidak maju. Dari sisi fisik memang dapat dikatakan membangun, namun esensinya kegiatan tersebut hanyalah ritual penghabisan anggaran negera dan tidak memberikan efek kepada pembangunan masyarakatnya. Infrastruktur fisik memang terbangun namun rakyat tak kunjung sejahtera. Seharusnya alokasi pembangun ditujukan kepada pembangunan masyarakatnya, misalnya peningkatan pelayan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pemajuan UMKM dan peningkatan kualitas pendidikan. Bukan kepada memperbesar belanja pegawai, belanja operasional, pengadaan barang dan jasa instansi, yang justru tidak berdampak signifikan bagi masyarakat.

Dilema Negara Kesatuan

Negara berbentuk kesatuan seperti di Indonessia mengharuskan semua urusan kenegaraan terkomando oleh pemerintah pusat. Dari sisi penganggaran maka tugas pemerintah pusat adalah mengelola dan mendistribusikan setiap hasil yang didapatkan di setiap wilayah untuk selanjutnya memeratakannya ke seluruh daerah. Namun permasalahan yang terjadi adalah tidak sedikit pemerintahan daerah dianggap dianaktirikan dan diperlaukan tidak adil oleh pemerintah pusat sebab kontribusi yang mereka lakukan dianggap lebih besar dalam menyumbang pemasukan negara. Fenomena ini menjadi lebih gempar di pekan terakhir ini, dengan adanya pernyata dari Bupati Kapupaten Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, terkait Dana Bagi Hasil (DBH) yang dianggapnya tidak adil. Ia menggap pemerintah pusat menghambat pembangunan daerah dan kesejahateraan masyarakatnya, pemerintah pusat tidak memberikan ruang lebih bagi daerah untuk melakukan pembangunan, sedangkan daerah yang dipimpinnya menghasilkan sumber daya mineral yang tidak sedikit yang selalu diserap oleh pemerintan pusat. Walaupun akhirnya pernyataan ini dibantah oleh kementerian keuanggan.

Tidak masuk kepada sisi perdebatannya, terlepas dari benar dan salah, namun bukan berarti fenomena tersebut tidak terjadi di Indonesia, baik sadar ataupun tidak. Dalam kajian sosiologis misalnya, banyak kaum sparatis bersenjata yang muncul di "ujung-ujung" Indonesia, seperti di Aceh (GAM) dan Papua (OPM) tidak lepas dari kecemburuan sosial karena merasa tidak diperlaukan adil oleh pusat. Kaum sparatis ini beranggapan bahwa dearah mereka telah menyumbangkan hasil bumi dan berkontribusi banyak bagi negara, namun mengapa pembangunan dinilai begitu lambat, pertumbuhan ekonomi berjalan di tempat, serta pendidikan dan kesahatan tidak merata di daerah mereka. Mungkin kita tidak setuju dengan adanya gerakan sparatis tersebut sehingga menimbulkan disharmoni bangsa, namun sikap protes itu dianggap sah dan wajar-wajar saja, sebab dalam nalar sistem negara kesatuan maka memang pemerintah pusatlah yang bertanggungjawab akan prihal itu semua.

Watak negara kesatuan memang pada awalnya semua urusan kenegaraan tersentralisasi kepada pemerintahan pusat. Namun dengan semakin berkembangnya konsep negara demokrasi, muncul sistem desentralisasi yang diejawantahkan melalui otonomi daerah, di mana daerah memilki ruang lebih untuk mengelola dan mengurusi rumah tanggannya sendiri. Pada perkembangan selanjutnya maka munculah DAU, DAK dan DBH itu dengan tujuan menciptakan keadilan dan pemerataan.

Namun permasalahan yang sering muncul di negara kesatuan adalah semua urusan, permaslahan dan problematika daerah yang pada akhirnya harus bermuara kepada pusat. Termasuk masalah penyerapan anggaran dan belanja setiap satuan kerja dan instansi pemerintah. Hal ini menyebabkan pusat harus menanggung semua permasalahan daerah di negara sebesar Indonesia ini. Di sisi lain pemerintah pusat mungkin "menikmati" akan hal ini, namun akhirnya menciptakan daerah yang "manja" dan "bergantung" kepada pusat. Di sisi lain mungkin juga pusat "kewalahan", sedangkan daerah juga merasa tidak "berdaya" untuk berkembang. Di sisi lain mungkin pusat mengaggap bahwa ini "jalan terbaik" membangun kebangsaan, namun ternyata masih banyak daerah yang merasa hal itu "tidak adil".

Hal ini berbeda dengan negara yang menganut sistem federasi atau negara serikat, di mana daerah secara luas dan mandiri berhak mengatur daerah sendiri karena memiliki hak yang sangat besar dan tidak terpengaruh oleh kebijakan pusat. Oleh karena itu, di negara serikat, negara-negara bagiannya memiliki konstitusi tersendiri. Artinya semua permasalahan dan urusan daerah tidak harus terlimbahakan, terkomando dan tersentralisasi kepada pemerintah pusat. Pemerintahan daerah memiliki coraknya tersendiri dalam membangun daerahnya, sehingga muncul semangat kompetitif untuk membuat negara bagiannya maju. Indonesia sebenarnya pernah kurang lebih satu tahun mengadopsi sistem ini dari hasil kesepakatan dengan Belanda melalui Koferensi Meja Bundar (KMB). Namun karena dianggap berpeluang menciptakan ketidastabilan geopolitik dan disintegrasi bangsa maka mulai tahun 1950, Indonesia menggunakan bentuk negara kesatuan hingga sekarang.

Walaupun telah menerapkan otonomi daerah yang luas, tetap saja komando itu berada di pusat. Pemerintah pusat masih memiliki tanggung jawab untuk mengurusi daerahnya. Terkait regulasi, maka daerah harus berinduk kepada konstitusi tunggal negara, dan negara berhak memberikan pengawasan dan desakannya. Konstitusi dan struktur kenegaraannya di negara kesatuan merupakan hal yang mengikat, sehingga semua penyelenggaraan negara pusat harus berpegang teguh pada konstitusi. Berbeda dengan negera serikat dimana peran konstitusinya tidak mengikat selama tidak bertentangan. Maka dari itu, pemborosan yang terpusat hingga menyebar hampir di seluruh daerah merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari, karena mengingat negara kita memilki konstitusi yang mengikat sehingga menghasilkan sistem yang tehubung antara pusat dan daerah.

Ketika negara telah memilih sistem negara kesatuan sebagai jalan bernegera, seharusnya "pembiaran-pembiaran" terhadap pemborosan uang negara tidak harus terjadi, sebab pusatlah yang memiliki kendali sentral terhadap jalannya negara dan bertanggungjawab penuh dalam menciptakan sistem yang lebih efektif dan efisien. 

Selain itu, perlu adanya peningkatan sistem monitoring dan evaluasi. Tentu saja, tidak harus ada lagi penilaian kinerja yang baik pada setiap instansi pemerintahan diukur dengan keberhasilannya menyerap anggaran, dan kinerja yang buruk dinilai dari ketidakmampuan atau ketidakmaksimalan dalam menyerap anggaran. Namun lebih dari itu, penilaian harus dilihat secara komprehensif dari hulu ke hilir, dari proses perancanaan, pelaksanaan dan luaran yang dihasilkan. Maka pemerintah pusat tidak perlu segan untuk bertindak tegas jika dalam proses penyerapan APBD terdapat malfungsi dan malmanfaat. Perlu ada kemauan, kerja sama, kerja baik dan serius dari setiap pemangku jabatan. Jangan ada lagi yang namanya "pewajaran" dan "pembiaran-pembiaran" itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun