Mohon tunggu...
hikmah
hikmah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - الف ليلة وليلة

Setiap kali air mata terjatuh, aku memilih memungutinya dengan haru, untuk kudaur ulang menjadi serangkaian aksara yang mampu kau baca. Dan apabila kau merasakan getir saat membaca tulisanku, bisa jadi, tulisan itu lahir dari air mata paling pilu yang pernah kujatuhkan!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hatiku yang Tuna Rasa

27 April 2021   10:28 Diperbarui: 27 April 2021   11:03 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu bertanya-tanya? Di dunia ini, masihkah ada ruang yang mungkin bisa kujadikan tempat membaringkan hati yang kini tak lagi utuh?
Sebagai tempat berteduh, untuk hatiku yang tak lagi bisa merasa.

Karna sejak saat itu, usai kau hancurkan hatiku hingga ke titik paling nihil, aku tak lagi bisa merasa.

Sejak saat itu, hatiku hanya tinggal nama, ia tak lagi mampu mengenali apa itu bahagia dan pilu? Senang dan sedih? Suka dan duka? Apa itu?!

Hatiku yang tuna rasa! Menyodorkanku akan ribuan rasa yang kini tak mampu kukenali lagi!
Aku ingin menangis, tapi bagaimana bisa?! Jika airmataku pun kini tak lagi menemukan tempat untuk kujatuhkan melepas segala kepahitan!
Airmata hanya mampu mengendap dan membanjiri hati yang terkatung-katung terbawa arus rasa yang tak bernama😢

Entah sudah berapa kali aku habiskan waktu untuk menunggu dan membersamaimu yang ternyata tega dengan tanganmu sendiri menghancurkanku hingga di titik paling rendah!
Entah sudah berapa banyak maaf kuberi? Mungkin, sebanyak itu pula pengkhianatan yang kuperoleh!

Tahukah kamu? Setiap hari, aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri dan berulangkali berkaca, mencari, di manakah letak kesalahan dan kekeliruanku selama ini?!
Maka di manakah letak kesalahanku?!
Mungkinkah satu-satunya kesalahan terbesarku adalah sebab aku begitu mencintaimu? Sebab aku begitu percaya? Sebab aku begitu jatuh! Jatuh padamu, seorang yang bahkan masih bisa tertawa terbahak-bahak tatkala aku hanya mampu tersentak melihat betapa lihainya kamu memainkan hatiku serupa mainan yang tak bernyawa!

Lalu kenapa? Kenapa harus hatiku yang kau pilih? Kenapa? Kenapa kau tanam dan sirami hati ini dengan kasih dan sayang, jika pada akhirnya ketika berbuah kau injak-injak dan remukkan dengan kejamnya hingga tak tersisa sedikitpun! Kenapa? Tidakkah kau ingat?! Hati yang dahulu penuh cinta dan kasih itu, kini telah menjelma menjadi hati yang tinggal nama, tanpa rasa! Kelam dan kelabu, itulah wujud hatiku kini!

Hati yang tuna rasa😌

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun