LeBron James melompat melampaui batas. Pebasket Afrika-Amerika ini membuka kemungkinan lain menjangkau impian bersama.
James bukan saja memimpin Los Angeles Lakers, klubnya yang sudah sepuluh tahun masuk babak playoff saja tidak pernah, menyambar gelar juara NBA dalam kompetisi yang sempat terhenti karena pandemi Covid-19.Â
Lompatan James pun turut menentukan jalannya pemilihan presiden AS dan presiden terpilih negara tersebut, yang tak pelak berarti turut memengaruhi tanan politik dunia.
Di tengah gemuruh perayaan kemenangan Lakers pada 11 Oktober lalu, James menepi. Di ruang yang agak sepi, sembari berbaring mengarah ke langit-langit, dia menelepon ibunya.Â
Kepada perempuan yang melahirkan dan membesarkan dia dan saudara-saudaranya dengan single parent, James berjanji untuk segera pulang menemuinya dengan gunung rindu di bahunya.
James begitu karena dia paham betul betapa sulit, sangat sulit, melahirkan dan membesarkan anak-anak bagi perempuan berkulit hitam, terlebih sendirian, di AS yang rasis. Negara ini membangun dirinya dengan mendiskriminasi warga kulit berwarna dalam berbagai bidang kehidupan.
Misalnya, untuk bisa hidup sehat saja, seperti menghirup udara bersih dan mendapatkan air bersih, warga kulit berwarna harus mempertaruhkan hidup-matinya sebagai budak di era perbudakan dilegalkan. Hanya satu dua warga kulit berwarna yang sangat kaya yang bisa mendapatkannya dengan agak mudah.Â
Begitu pula akses ke pendidikan berkualitas. Mayoritas anak-anak kulit berwarna terjeblos ke dalam sekolah-sekolah yang malah membuat mereka terperosok ke dalam botol alkohol dan moncong pistol.
Tentu saja setiap warga kulit berwarna sangat tidak menghendaki itu. Mereka sangat menghendaki perubahan. Tapi bahkan setelah Barack Obama menjadi presiden pertama orang kulit berwarna dalam sejarah AS, para pihak yang berkeras melanggengkan rasisme sistemik masih saja begitu kuat.
Donald Trump, yang memenangi pemilihan presiden tahun 2016 dengan mengandalkan eksploitasi rasisme, sepanjang masa kepresidenannya malah memperkuat sistem kenegaraan rasis. Dan untuk meraih jabatan presiden keduanya, Trump makin membabi-buta mengobarkan superiotas putih.
Padahal, itu di tengah warga kulit berwarna jauh lebih banyak yang terjangkit Covid-19, mati akibatnya, dan kehilangan pekerjaan karenanya. Juga di tengah polisi yang leluasa membunuhi warga Afrika-Amerika. Trump bahkan membela polisi-polisi yang melakukan pembunuhan. Berulang dia menyatakan apa yang mereka lakukan itu adalah menegakkan hukum dan ketertiban.
James tak bisa diam. Jika mau, tentu saja dia bisa. Dan dia bisa diam dengan hidup serba wah karena harta berlimpah yang didapatnya dari kebintangannya di arena kompetisi NBA.Â
Tapi James memakai hartanya untuk mendirikan I Promise Scchool pada 2018, di kota asalnya, Akron, Ohio. Sekolah untuk anak-anak dari keluarga miskin ini bukan saja gratis, tapi pun menyediakan seragam, makanan, bus, sepeda, dan sumber daya gratis lainnya di luar kelas, seperti bantuan kesehatan fisik dan mental.
Ketika pandemi Covid-19 semakin nyata membuat puluhan juta orang, mayoritas warga kulit berwarna, tiba-tiba kehilangan pekerjaan dan --- karenanya --- tak sedikit yang kehilangan rumah, Yayasan James mendirikan I Promise Village.Â
Apa yang mulai dibuat pada Juli lalu ini adalah sebuah kompleks perumahan untuk keluarga dari anak-anak yang bersekolah di I Promise School yang membutuhkan rumah. Dan yang disediakan I Promise Village bukan saja atap, tapi pun berbagai kebutuhan sehari-hari lainnya dan perawatan kesehatan.
Misalnya, dengan berbagai cara (legal dan ilegal), politik AS menghilangkan semakin banyak hak suara warga kulit berwarna. Di antaranya dengan sensus yang meniadakan keberadaan mereka. Inilah yang mendorong Yayasan James mendirikan More Then a Vote pada 23 Juni lalu.Â
Fokusnya membetot lebih banyak warga memiliki hak suara dan menggunakannya pada saat seharusnya digunakan. Juga mendorong arena-arena olah raga dijadikan tempat pemungutan suara. Dasarnya untuk memungkinkan tertampungnya pemilih dalam jumlah besar dan sekaligus jarak fisik sesuai protokol kesehatan dapat dipraktikan.
Hal tersebut bersamaan dengan maraknya berbagai protes yang disulut oleh pembunuhan George Floyd, pria Afrika-Amerika, oleh polisi kulit putih pada siang bolong.Â
Video pembunuhannya beredar ke seluruh dunia melalui media sosial. Floyd mati kehabisan napas setelah setelah ditelungkupkan di jalan panas, dan selama delapan menit sembilan detik lutut seorang polisi putih menekan lehernya. Polisi itu terus begitu meskipun dengan leher ditekan lutut Floyd berujar, "I can't breathe! I can't breathe! I can't breathe..."
Para pebasket NBA terusik. Kyrie Irving, peraih cincin juara NBA bersama James ketika di klub Cleveland Cavaliers, menyerukan agar kompetisi NBA dalam gelembung tanpa penonton dihentikan. Seorang demi seorang pebasket NBA bergabung dengan pebasket klub Brooklyn Nets itu.
Gundahlah asosiasi basket AS. Begitu pula para pemilik klub. Mereka pun segera mengadakan pertemuan. Para perwakilan pemain, termasuk James, diundang. Namun, di tengah pertemuan, James keluar. Dia merasa ada hal mendasar yang tak disentuh forum tersebut.
James lantas menghubungi Chris Paul, ketua asosiasi pemain NBA. Perbincangan dengannya membuat James menghubungi Obama. Mantan Presisen AS tersebut menyarankan agar James dan kawan-kawan menggunakan keahliannya.Â
Maka mereka bersedia melanjutkan kompetisi. Namun dengan beberapa syarat. Beberapa bagian dari pertandingan diminta (dan dipenuhi oleh pemilik klub dan asosiasi basket AS) untuk kampanye solidaritas antirasis.
Hal itu bukan saja membuat kompetisi dilanjutkan hingga Lakers meraih gelar juara dengan mengalahkan Miami Heat, klub tempat James meraih cincin juara untuk pertama dan kedua kalinya, tapi pun membuat para pebasket ramai-ramai mendukung More Than a Vote.Â
Dengan sendirinya, karena para pebasket NBA adalah juga selebriti yang masing-masing memiliki sebegitu banyak fans, membludaklah warga AS yang mengajukan diri sebagai sukarelawan More Than a Vote. James sendiri menyulap tubuhnya menjadi papan iklan dengan memakai kaos bertuliskan "Vote or die".
Gerakan tersebut tidak menyatakan dukungan terhadap Joe Biden. Namun Trump merasa terancam. Bahkan berang. Melalui akun Twitternya, Trump menyebut James tidak bisa bermain basket. Dia menantang James untuk beradu slum dunk.
James menanggapi cuitan Trump dengan tertawa. Begitu juga tanggapannya terhadap mereka yang menuntut James agar bermain basket belaka.
Kareem Abdul Jabar beda. Memang tak sedikit yang tergila-gila memuji-muji Jabbar, menyebutnya lebih besar daripada James. Tetapi, melalui kolomnya di The Guardian (12 Oktober 2020), mantan bintang NBA ini malah menyanjung James sebagai atlit modern. James disebutnya sebagaisimbol penyatuan olah raga dan moral. Dan untuk ini tidaklah mudah.
"Untuk menjadi simbol, seseorang harus unggul dalam olahraganya," ujar Jabbar. "Menyaksikan wajah determinasi LeBron yang dipahat di Mount Rushmore saat ia menunjukkan perpaduan yang mempesona antara kelincahan, keanggunan, kekuatan, dan keterampilan ciamik yang dengan jelas mendorong rekan satu timnya untuk mendorong diri mereka lebih keras dan lebih tinggi menunjukkan bahwa ia layak mendapatkan setiap penghargaan yang didapatnya.
Tapi kesediaannya yang tak tergoyahkan untuk terus meyakinkan mereka yang kecewa dan kehilangan haknya mengapa mereka perlu memilih, menjadikannya perwujudan dari kemenangan kejuaraan NBA ini."
James mencapai apa yang disanjung Jabbar tentulah tidak hanya karena bakat dan kerja kerasnya sendiri. James sendiri mengakui banyak pihak yang turut memungkinkannya. Beberapa nama dia sebutkan ketika dia menerima gelar pemain terbaik NBA 2020.
James pun tahu bahwa ada banyak pebasket NBA yang vokal. Mereka pun bahkan mempertaruhkan reputasi dan hidupnya untuk memungkinkan keadilan dan kesetaraan.Â
Tapi bahkan para pebasket yang berhadapan dengan James dan kawan-kawannya di final mengakui bahwa James seperti ditulis Jabbar; simbol penyatuan olah raga dan moral.
Lewis Hamilton, superstar Formula I dan satu-satunya atlit berkulit hitam di olah raga tersebut, mengaku terinspirasi James. Setiap hendak mulai balapan, Hamilton menekuk satu lututnya seperti polisi yang menekuk lutut menekan leher Floyd. Dan Hamilton demikian dengan memakai kaos bertuliskan "Black Lives Matter".
Meski demikian, James tak lantas membesar kepalanya. Begitupun ketika majalah TIME menobatkannya sebagai Atlit Terbaik 2020. Impiannya memang bukan berkepala besar, tapi turut memungkinkan kesetaraan dan keadilan terutama melalui bidang yang disukai dan disuntukinya.
Itulah yang diusahakannya antara lain dengan mendirikan I Promise Shool, I Promise Village, dan ke mana pergi menjelang pilpres AS memakai kaos bertuliskan "Vote or die".Â
Suka atau tidak, itu semua telah turut memungkinkan pilpres AS 2020 diikuti pemilih terbanyak sepanjang sejarah pilpres AS, dan Trump yang menggelorakan superioritas putih dikalahkan oleh Biden.
James memang bersukacita. Tapi dia pun menegaskan bahwa pekerjaannya menegakkan kesetaraan dan keadilan baru saja dimulai. "Kita merasa sangat baik sekarang. Tapi Anda tidak ingin merasa hebat. Karena itu tidak pernah selesai."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H