Tujuan utama pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah memerdekakan manusia. Tujuan Pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak. Dalam proses "menuntun", anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Pada masa kini, konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara telah sesuai dengan rancangan Kurikulum Merdeka Belajar saat ini. Fokus pengembangan kurikulum merdeka ini bukan hanya kepada guru, tetapi kepada seluruh elemen yang ada pada bidang akademik. Pada kurikulum merdeka belajar, peserta didik diberikan kebebasan dalam proses mencapai tujuan pembelajarannya. Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator. Harapan adanya Kurikulum Merdeka ini adalah terbentuknya SDM yang unggul dan memiliki Profil Pelajar Pancasila.
Setiap orang Indonesia lahir dan bertumbuh di dalam pengalaman dan pergulatan hidup bersama di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural-religius. Dalam perspektif fenomenologi, identitas orang Indonesia berakar dan berkembang dalam pengalaman berada di dalam dunia dan berada bersama orang lain yang memiliki latar belakang budaya, agama dan suku yang berbeda (Heidegger, 1962). Untuk menjadi bangsa yang tetap bersatu dan berkembang, ada kebutuhan untuk selalu melestarikan kemajemukan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan, menguatkan kesetiakawanan dan menegaskan identitas bangsa yang majemuk. Setiap warga Indonesia berperan dalam menjaga dan mengembangkan nilai-nilai, jiwa, hasrat, martabat, sosialitas, relasionalitas, genuitas, dan dialogalitas demi keutuhan dan penegasan identitas bangsa.
Di sisi lain, keragaman budaya, suku, ras, religiusitas dan agama merupakan kekayaan yang membentuk identitas Indonesia. Di sisi lain, perbedaan siku, ras, agama dan budaya berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sudah sering konflik sosial pecah dipicu oleh sentiment perbedaan. Karenanya, seluruh elemen hidup berbangsa memiliki peran dan tanggungjawab untuk menjaga kesatuan dalam perbedaan atau kebhinekatunggalikaan (unity in diversity) sebagai identitas kultural dan politik bangsa (Pedersen, 2016). Tantangan selanjutnya adalah dinamika menegaskan kebhinekatunggalikaan menjadi identitas moral atau karakter setiap warga Indonesia. Kesadaran akan kesamaan nilai-nilai moral yang berakar dari keyakinan agama yang berbeda-beda merupakan jembatan untuk membangun kehidupan bersama yang adil, bersaudara, berbelarasa dan damai (Kusuma & Susilo, 2020). Oleh karena itu, setiap warga Negara berkewajiban untuk menjaga persatuan, membangun persaudaraan, dan menguatkan kesetiakawanan sosial sebagai sesama anak bangsa. Setiap warga Indonesia memiliki peran penting dalam menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai hidup berbangsa, jiwa, hasrat, keotentikan, dan ketulusan untuk melestarikan identitas bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika (Pedersen, 2016). Hal tersebut dapat ditanamkan di dalam keluarga dan proses pendidikan seumur hidup secara formal dan informal.
Para pendiri bangsa telah menggali nilai-nilai filsafat hidup berbangsa yang dirumuskan dalam dasar Negara Pancasila. Karenanya, Pancasila merupakan dasar filosofis pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama di Indonesia yang berkontribusi bagi kesatuan hidup berbansa dalam kemajemukan Indonesia. Nilai-nilai Pancasila menjadi dasar pengembangan paradigma pendidikan transformatif untuk melestarikan kemajemukan budaya, agama, ras dan suku di tengah tantangan dan ancaman keterpecahan hidup berbangsa.
Pancasila sebagai entitas dan identitas bangsa menunjukkan bahwa pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia. Pancasila dengan ke lima silanya mampu menunjukkan keberadaan Indonesia yang unik sekaligus menjadi ciri khas dari bangsa Indonesia. Melalui Pancasila, Indonesia dapat bersatu dalam keberagaman. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang terdiri dari lima sila. Pancasila memiliki peran penting sebagai entitas dan identitas bangsa Indonesia. Pancasila menjadi dasar bagi pembentukan hukum, kebijakan, dan tata kelola negara Indonesia. Pancasila juga menjadi pedoman bagi masyarakat Indonesia dalam berperilaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila sebagai entitas mengandung arti adanya keberagaman nilai yang khas dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia, keragaman merupakan nilai yang khas dan menjadi salah satu identitas bangsa Indonesia. Keragaman Indonesia merupakan anugerah alamiah yang sudah ada sejak sebelum terbentuknya negara Indonesia. Dalam arti ini keragaman merupakan kekayaan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia beragam dalam hal pengalaman hidup, budaya, bahasa, ras, suku, bahasa, kepercayaan, tradisi, dan berbagai ungkapan simbolik. Semuanya itu memuat nilai-nilai yang menjiwai dinamika hidup bersama dengan corak yang berbeda-beda. Keragaman merupakan nilai kemanusiaan Indonesia yang membentuk keunikan setiap pribadi, identitas bangsa dan budaya Indonesia (Na'imah, Sukiman, & Nurdin, 2017). Setiap pribadi yang lahir dan hidup di Indonesia memiliki keunikan budaya.
Pancasila yang memuat lima sila sebagai kesatuan merupakan identitas bangsa Indonesia. Lima sila Pancasila memuat nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dalam perjalanan sejarah yang panjang. Lima sila itu merupakan satu kesatuan yang menjiwai hidup berbangsa (Hijriana, 2020).Â
Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua warga Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa, ras, dan budaya memiliki keyakinan kepada yang Maha Esa. Religiositas merupakan identitas manusia Indonesia yang memberi dasar bersikap dan bertindak etis di tengah masyarakat. Saling menghargai pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda merupakan bagian dari kesadaran dan praktik hidup bersama.
Sila kedua dari Pancasila adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab. Saling menghargai martabat pribadi manusia merupakan pelaksanaan dari keyakinan religious bahwa setiap pribadi merupakan ciptaan Tuhan. Sila kedua menekankan prinsip etis pentingnya menghargai sesama warga masyarakat tanpa diskriminasi karena perbedaan latar belakang budaya, etnis, suku dan kepercayaan.
Sila ketiga adalah Persatuan Indonesia. Sila ketiga merupakan prinsip moral dan imperatif etis bagi semua warga Indonesia. Menghargai nilai-nilai yang menyatukan di tengah perbedaan dan keragaman merupakan sikap dasar yang perlu dikembangkan dalam hidup di tengah keluarga, masyarakat dan ruang Sekolah. Setiap warga Indonesia menyadari bahwa kesatuan dalam keragaman dan perbedaan merupakan identitas bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan (Mangunwijaya, 2020 [2]; Siswoyo, 2013).
Sila keempat adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan. Sila ini berhubungan dengan tradisi berdialog dan bermusyawarah dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan hidup bersama. Prinsip musyawarah atau dialog memberi peluang dan hak kepada setiap warga untuk terlibat secara aktif dalam penentuan kebijakan hidup bersama. Dalam konteks hidup berbangsa, hak dan suara rakyat direpresentasikan melalui para wakil rakyat.
Sila kelima dari Pancasila adalah Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hidup bersama dalam keragaman dijamin dengan penegakan keadilan. Sikap adil didukung dengan kesetiakawanan dan kemurahan hati untuk hidup saling membantu atau gotong-royong. Keadilan sosial dan kesetiakawanan merupakan prinsip etis yang penting dalam membangun kesatuan bangsa yang memiliki wilayah yang sangat luas, dan situasi geografis serta kondisi demografis yang beragam.
Nilai-nilai kemanusiaan yang termuat dalam sila-sila Pancasila merupakan pondasi filosofis pengembangan hidup bersama di bidang politik, sosial, budaya dan pendidikan di Indonesia. Cara menjadikan Pancasila sebagai fondasi pendidikan di Indonesia adalah dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai dari sila pancasila dalam proses pembelajaran. Peserta didik diajarkan untuk tidak hanya memahami materi pembelajaran tetapi juga diajarkan untuk dapat bersikap sesuai dengan kodrat alam dan jamannya. Mampu menjadi manusia Indonesia yang berbudi luhur, bertoleransi tinggi, gotong royong, dsb.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk membentuk kemampuan berperilaku: 1) mampu mengambil sikap yang bertanggungjawab sesuai dengan hati nuraninya demi kemajuan bangsa, 2) mampu mengenali masalah hidup bersama dan menemukan cara-cara pemecahannya, 3) mampu mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, 4) mampu memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia (Kaelan, 2016). Melalui pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila diharapkan generasi muda bangsa Indonesia mampu mengembangkan life skill untuk kemajuan bangsa yang memiliki rasa tanggung jawab, pemecahan masalah, dapat menganalisis terhadap masalah-masalah. Dengan kata lain, pendidikan dalam bingkai nilai-nilai filsafat Pancasila membentuk karakter dan keterampilan pribadi yang unggul, karakter akademis yang rasional dan kolaboratif, karakter religius yang menyatukan keragaman, karakter sosial yang empatik dan bersaudara (Sulianti, 2018).
Profil Pelajar Pancasila merupakan konsep yang menggambarkan bahwa Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Profil pelajar Pancasila merupakan bentuk penerjemahan tujuan pendidikan nasional, berperan sebagai referensi utama yang mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan termasuk menjadi acuan untuk para pendidik dalam membangun karakter serta kompetensi peserta didik. Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 009/H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen, dan Sub Elemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka memberikan panduan tentang dan bagaimana Profil Pelajar Pancasila menjadi bagian esensial dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Profil Pelajar Pancasila memiliki enam aspek yakni: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; dan 6) Kreatif.
Pendidikan abad ke-21 menekankan pada pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Pembelajaran harus memperhatikan kebutuhan peserta didik dan mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Terdapat 4 keterampilan abad 21 yang biasa disebut 4C yakni Communicaton (komunikasi), Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah), Collaborative (kolaborasi), Creativity (kreatif). Profil Pelajar Pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Pembelajaran harus memperhatikan enam ciri utama Profil Pelajar Pancasila agar peserta didik memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta siap menghadapi tantangan abad 21.
Dalam kondisi Masyarakat Indonesia yang majemuk, proses pendidikan perlu mengelaborasi potensi religius para peserta didik untuk menumbuhkan relasi empatik yang mendukung proses dan praktik berdialog yang terwujud dalam tradisi bergotong-royong di dalam kehidupan sehari-hari (Endro, 2016). Dialog dalam tindakan bergotong-royong menjadi ruang implementasi aktivitas manusiawi yang mengaktualisasikan potensi kognitif, spiritual, afektif, sosial, dan moral yang terarah pada pelestarian kesatuan bangsa dalam kebhinekaan. Proses dan praktik dialog dalam masyarakat Pancasila berlangsung secara kontinu di tengah perkembangan zaman untuk menguatkan identitas bangsa dan menegaskan kontribusi bangsa dalam relasi dengan bangsa-bangsa lain secara global.
Untuk mempertahankan Identitas dan Entitas bangsa Indonesia bisa dilakukan melalui program Profil Pelajar Pancasila dalam Pembelajaran abad 21 yang berpusat pada peserta didik, hal ini dapat diwujudkan dengan cara :
- Selalu memulai dan mengakhiri pembelajaran dengan salam dan berdoa
- Menghubungkan manfaat mempelajari materi dalam kehidupan sehari-hari
- Menayangkan short movie maupun cerita inspiratif tentang kebhinekaan global agar setiap peserta didik mampu mengakui dan menghargai keberadaan budaya yang beragam
- Memberikan contoh dan menciptakan pembiasaan yang positif seperti mmebuang sampah pada tempatnya, menerapkan 5S (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun), dsb
- Menciptakan suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, sehingga peserta didik dapat belajar dengan baik dan nyaman
- Selama proses pembelajaran menciptakan budaya kolaborasi, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif bagi peserta didik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H