Mohon tunggu...
Hikmah Ubaidillah
Hikmah Ubaidillah Mohon Tunggu... -

A woman. Love reading, writing, learning, new experiences, & self development.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Seorang Penerjemah Buku (Atlantis - The Lost Continent Finally Found: Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia)

6 Agustus 2010   00:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:16 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai sarjana arkeologi, menerjemah buku ini menjadi kebanggaan untuk saya. Dalam artikel ini saya tidak bermaksud mengatakan pendapat saya mengenai benar tidaknya Indonesia adalah Atlantis. Saya hanya berupaya menuliskan beberapa catatan tentang karya geolog dan fisikawan Brazil sembari membaca ulang bukunya di sela-sela waktu kerja dan kuliah pascasarjana.

Masa menerjemah karya ini adalah masa belajar yang padat dengan mencari informasi di dunia maya, waktu-waktu di mana saya harus membaca banyak referensi, dan periode yang penuh upaya memahami pemecahan teka-teki ala Santos. Masa-masa dengan banyak “ooo…” Sudah dua tahun lewat dan banyak konten buku ini yang sudah lepas dari ingatan saya.

Darwinisme No Way

Buku ini adalah tendangan manis berbuah gol bagi orang-orang yang tidak sepakat dengan teori Darwin tentang evolusi, terutama ketika Santos berbicara tentang manusia-manusia raksasa dan manusia kerdil dengan segala jenisnya (Homo Sapien, Cro Magnon, Homo Floriensis, dsb). Mungkin, kalau mereka bisa disebut manusia dengan sifat-sifat seperti yang melekat pada kita, pada zaman dulu ada BERMACAM MANUSIA dengan ciri fisik dan kemampuan yang berbeda. Santos berjasa menjelaskan keberadaan dan proses punahnya mereka dari muka bumi.

Mereka, seperti terbukti dari fosil-fosil yang ditemukan di banyak sudut bumi ini, memang PERNAH ADA. TAPI, mereka tidak berevolusi menjadi KITA yang sekarang: KITA bukan keturunan MANUSIA KERA. Mereka menghilang dari muka bumi karena bencana, karena keterbatasan fisik dan daya tahan. Bisa jadi ada sesuatu yang membedakan kita dari nenek moyang kita, misalnya TINGGI BADAN (mungkin ada yang pernah mendapat informasi bahwa tinggi badan Nabi Nuh mencapai 30 meter), yang kalaupun benar menurut saya itu adalah sebuah evolusi untuk adaptasi ekologis, dan ini tentu saja berbeda jauh dengan EVOLUSI MANUSIA seperti yang dikemukakan Darwin.

Inilah tautan (link) yang hilang, yang mungkin sempat menjadi pertanyaan para pemerhati dan pemikir yang menentang Darwinisme.

Sekadar selingan. Dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa arkeologi, saya dan sahabat pernah berpikir, mungkinkah salah satu MANUSIA KERA itu adalah mereka yang dikutuk karena melanggar perintah untuk mensucikan hari Sabtu (Sabath)? Sayangnya, sampai sekarang saya belum menemukan sumber yang menjelaskan hakikat “KERA” yang dimaksud: apakah wujud mereka benar-benar seperti kera yang kita lihat sekarang ataukah seperti apa. Ini juga harus diselaraskan dengan penanggalan, lokasi temuan, dan konteks lainnya. Tapi tampaknya ini hanya khayalan tak logis saya :)

Sosok Sama Citra Berbeda

Kalau Anda sempat menonton tayangan Metro TV tentang Solomon dan Saba (Sulaiman dan Ratu Saba) hampir dua tahun lalu, mungkin Anda seperti saya: terkaget-kaget. Karena apa yang saya dapat dari sudut pandang Islam tentang mereka berdua sangat jauh dengan apa yang saya lihat di layar. Kisah Solomon dan Saba begitu “vulgar” jauh dari nilai suci dan agung yang selama ini saya dapati. Begitu juga ketika saya membaca komik peradaban yang di dalamnya ada kisah tentang David (Daud), Alexander the Great (Iskandar Zulkarnain) dsb. Tapi, inilah perbedaan yang mesti kita ketahui dan kita tanggapi dengan bijak. Tidak serta merta kita harus menindaklanjuti dengan sikap ekstrim: lingkungan dan apa yang kita baca memengaruhi sudut pandang dan pengetahuan kita, bukan? Dan bukan rahasia kalau beberapa umat yang mengenal beberapa nabi yang sama memiliki pandangan yang berbeda bagai bumi dan langit terhadap sosok-sosok tersebut.

Melalui buku ini, secara tidak langsung, Santos mengajak kita (jika Anda Muslim) mengarungi pemikiran bangsa dan umat lain tentang Musa, tentang Solomon, tentang Iskandar Zulkarnain. Harap dicatat di sini, Santos adalah seorang Brazil yang secara pribadi dan lingkungan tidak akrab dengan Islam (Inilah salah satu yang kurang di buku ini, namun tidak berarti buku ini tidak penting. BUKU INI SANGAT PENTING, kalau bukan A MUST READ). Jelas saja Santos banyak meninjau dari tradisi Hindu dan mitos Yunani-Romawi: mengetahui tradisi Hindu adalah keniscayaan bagi peneliti arkeologi mana pun, sementara mitos-mitos Yunani dan Romawi merupakan sesuatu yang akrab di telinga orang di belahan barat sana dan mesti dikaji dalam kaitannya dengan Atlantis (salah satunya) karena Plato seorang Yunani.

Jadi, ketika Anda yang Muslim menemukan hal-hal yang menurut Anda tidak sesuai dengan apa yang Anda yakini, berpikirlah out of the box karena sepanjang yang saya alami, apa yang diuraikan buku ini malah menguatkan keyakinan beragama saya tanpa menghilangkan kepercayaan saya akan keabsahan dan validitas penelitian Santos.

Nenek Moyang yang Cerdas

Paparan Santos membuktikan bahwa nenek moyang kita bukan pengkhayal yang mengisi hari-harinya dengan cerita bohong tentang sebuah negeri yang makmur, tentang manusia raksasa, tentang bencana besar. Bak pepatah “tidak ada asap kalau tidak ada api”. Semua kisah ajaib mereka pasti memiliki latar belakang logis yang tidak kita ketahui. Mereka melukiskan kisah masa lalu dengan cara dan pengungkapan berbeda, yang setelah dibanding-bandingkan ternyata memiliki benang merah satu sama lain: bagaimana banyak bangsa di dunia memiliki kisah tentang banjir besar (bencana semesta), tentang pulau suci (pulau putih) yang luas dan makmur, dsb. Masalahnya adalah, kita kerap memandang segala kisah dan naskah kuno itu sebagai kebohongan semata. Padahal, beberapa di antara “kebohongan itu” tersirat dalam kitab suci yang kita percayai.

Buku ini mengajak kita untuk lebih arif menyikapi dan merefleksikan semua kisah itu karena nenek moyang kita memiliki kebijakan untuk mengemukakan sesuatu tidak dengan tersurat dengan berbagai penyebabnya (anggaplah mereka berada di sebuah orde di mana ada hal-hal yang “tabu” dibicarakan terang-terangan dengan banyaknya intrik dan kepentingan yang melingkupi “sesuatu” itu). Tidak perlu diungkap di sini, berapa banyak kearifan lokal (local genius) yang terkesan tidak masuk akal tapi memang benar adanya dan berlatar logis.

Dunia Kompleks yang Jarang Dipahami

Buku ini memberi gambaran kompleksitas dunia arkeologi. Arkeologi adalah dunia yang sangat terbuka untuk berbagai interpretasi. Arkeologi membiarkan kita memandang sesuatu dari berbagai perspektif. Karena arkeologi berupaya merekonstruksi kebudayaan manusia masa lalu berdasar tinggalannya, maka belajar arkeologi berarti belajar melihat sesuatu secara holistik (Anda pasti sudah tahu bahwa kebudayaan itu bukan hanya “tarian” atau “nyanyian” tapi kebudayaan adalah kompleksitas kehidupan dalam berbagai aspeknya baik berupa gagasan, aktivitas atau artefak, apakah itu dari sisi bahasa, teknologi, ekonomi, kepercayaan, politik, dsb yang melingkupi kehidupan manusia di dunia. Anda belajar untuk tidak hanya menilai apa yang tersurat, tapi apa yang tersirat sebab arkeologi bertujuan untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan, memahami perilaku manusia dan proses perubahan budaya. Anda bagai merangkai kepingan puzzle yang tercerai berai.

Jangan pernah beranggapan ketika seorang arkeolog meneliti ia hanya perlu berbekal “hapalan” dan “ilmu sejarah”. Arkeologi itu sifatnya multidisipliner: dalam kajiannya membutuhkan banyak ilmu bantu seperti sejarah, antropologi, biologi, geologi (berkaitan dengan lapisan pembentuk bumi yang menjadi acuan umur relatif temuan arkeologis), filologi, geografi, arsitektur, paleontology, filsafat, dan metalurgi. Sayangnya, pandangan masyarakat Indonesia tentang arkeologi tidak sampai ke ranah ini, mungkin sebagian besar bisa dikatakan masyarakat kita “tidak mengerti” apa itu arkeologi (maaf, ini pendapat subyektif dari pengamatan saya akan sekeliling). I love archaeology.

Melompati Ide-ide

Menerjemah buku ini bukan proses yang bisa dikerjakan sambil lalu berbarengan dengan menerjemah buku lain. Selain masalah idealisme sebagai lulusan arkeologi, penuturan Santos yang kadang meloncat-loncat ke sana-sini serta banyak hal yang harus dipelajari dan dicari tahu––baik itu terkait mitos Yunani-Romawi yang asing bagi saya dan asing buat pembaca Indonesia hingga banyak catatan kaki menghiasi buku ini, tinjauan geologis yang cukup banyak di buku ini, dsb––adalah hal lain yang membuat saya memutuskan untuk fokus.

Mungkin, hingga buku ini sampai ke tangan Anda, loncatan-loncatan ide Santos dalam buku ini masih terasa. Ketika ia membahas tema X, tiba-tiba banyak sisipan infomasi tentang masalah Y yang tak pelak membuat dahi kita berkerut. Ketika sampai ke bab R, misalnya, kita baru bisa mengerti apa yang ia maksud dengan “sesuatu” di bab B. Santos juga kerapa mengulang banyak kata yang membuat jenuh, seperti “11.600 tahun yang lalu”, “gunung berapi super” “surga Atlantis” dsb, tapi kata-kata itu sepertinya harus ia tulis ulang untuk menguatkan.

Akhirnya
Bagi saya pribadi, buku ini sangat bernilai. Saya, seperti halnya Anda, mencintai Indonesia dengan segala masalahnya. Dan buku ini mudah-mudahan memberi inspirasi bagi kita untuk maju dan berjuang bersama demi Indonesia yang lebih baik. Amin.

Banyak hal menarik lainnya dari buku ini. Namun, keterbatasan ruang waktu tidak mengizinkan untuk mengungkapnya. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan kecil seorang penerjemah.

©2009 by hikmah ubaidillah aziz. tulisan ini bisa dicopy dengan mencantumkan sumber dan nama penulis asli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun