Mohon tunggu...
Hikmah Komariah
Hikmah Komariah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seseorang yang suka mengeluh atas berbagai ketidakidealan dan kerusakan yang ada, mencoba berpikir out of the box dan berusaha menemukan ide yang mencerahkan untuk dunia saat ini dan dunia dimasa mendatang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hadiah dari Emak untuk Si Bungsu

25 Desember 2017   22:07 Diperbarui: 25 Desember 2017   22:29 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pribadi : Pianika Dari Emak

Yang membuat Emak ogah-ogahan itu sebetulnya kebiasaan jelek saya yang suka sekali bongkar semua mainan dan barang yang saya punya. Alhasil, hampir semua barang yang saya punya tidak panjang umur. Dalam hitungan bulan bahkan hari, pasti sudah rusak. Ini yang dikhawatirkan Emak: pianika saya rusak hanya dalam hitungan bulan. 

Beli satu pianika oke lah ya, tapi kalau harus beli dua sampai tiga pianika dalam setahun ya jelas bangkrut. Itu mungkin yang dipikirkan Emak. Dan begitulah beliau, perhitungannya selalu detail dan logis.

Tapi karena saya minta terus dan memang butuh untuk sekolah, akhirnya Emak mau membelikan pianika buat saya. Dengan satu syarat. Saya harus janji akan merawat pianika itu baik-baik. Harus awet, kata Emak. 

Ajaibnya, ternyata saya bisa memenuhi janji itu sampai hari ini. Sejak SD sampai sekarang saya berumur 25 tahun, pianikanya masih bagus dan bisa dipakai. Hanya warna tutsnya yang memudar termakan usia.

Pianika beserta syarat dari Emak jadi hadiah yang spesial buat saya, karena ternyata keduanya bisa mendorong saya untuk berubah, walau cuma sedikit. Saya jadi lebih menghargai dan bisa menjaga barang-barang yang saya miliki. 

Tidak sesembrono dulu. Toh, semuanya dibeli pakai uang dan uang hanya bisa didapat setelah banting tulang bekerja. Itulah pesan tersembunyi dari pianika pemberian Emak yang betul-betul saya resapi maknanya sekarang ini.

Kepercayaan

Hadiah kedua yang berarti untuk saya adalah kepercayaan. Memang bukan benda yang bisa dilihat, dipegang, dan dimainkan, tapi ketika Emak memberikan kepercayaan pada saya, rasa sayang pada beliau semakin berlipat.

Saya adalah anak bungsu. Agak sedikit dimanja, ya. Intinya, semua orang di rumah merasa saya tidak bisa hidup mandiri. Selalu butuh orang lain dan sembrono. 

Tiap kali jalan di tempat ramai, Emak merasa harus memegang tangan saya supaya saya tidak hilang, jatuh, atau tertabrak. Lalu ketika saya kelas 3 SMA, saya bilang pada Emak kalau saya ingin melanjutkan kuliah di Surabaya yang jaraknya sekitar 796 km dari rumah. 

Emak tidak setuju. Selain khawatir tidak bisa membiayai sampai selesai, Emak juga meragukan kemampuan saya hidup sendiri di perantauan. Gimana makannya? Tinggal sama siapa disana? Kamu memang bisa nyuci sendiri? Gimana pergaulannya? Dan pertanyaan bagaimana lain yang cukup bikin emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun