Mohon tunggu...
HIKMAH FITRI ASHARI 121211079
HIKMAH FITRI ASHARI 121211079 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi di Universitas Dian Nusantara

Accounting student at Dian Nusantara University. Supporting lecturer Prof. Dr. Apollo Daito, M.Sc.Ak, Forensic Accounting Course

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea untuk Business Villains di Indonesia

17 Juni 2024   23:27 Diperbarui: 17 Juni 2024   23:27 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandangan Pemerintah/dokpri

Edward Coke dan Kontribusinya pada Teori Actus Reus dan Mens Rea dalam Kejahatan

Sir Edward Coke (1552-1634) adalah seorang hakim dan pemikir hukum Inggris yang terkenal dengan kontribusinya yang signifikan pada sistem hukum pidana Inggris. Salah satu warisan paling pentingnya adalah pengembangan teori Actus Reus dan Mens Rea, dua elemen penting untuk menentukan apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan.

Coke memainkan peran penting dalam mengembangkan teori Actus Reus dan Mens Rea, yang saat ini menjadi dasar hukum pidana di banyak negara. Actus Reus mengacu pada unsur fisik dari suatu kejahatan, yaitu tindakan atau kelambanan terdakwa yang melanggar hukum. Mens Rea, di sisi lain, mengacu pada keadaan mental terdakwa pada saat melakukan Actus Reus, seperti niat jahat, kelalaian, atau ketidaksengajaan.

Sekilas tentang Sir Edward Coke/dokpri
Sekilas tentang Sir Edward Coke/dokpri

Teori Actus Reus dan Mens Rea sangat penting dalam sistem hukum pidana karena:

  • Memastikan keadilan: Teori ini memastikan bahwa hanya orang yang benar-benar bertanggung jawab atas tindakan mereka yang dihukum.
  • Melindungi hak individu: Teori ini melindungi individu dari penuntutan atas tindakan yang tidak mereka lakukan dengan sengaja atau karena kelalaian.
  • Mempromosikan kepastian hukum: Teori ini memberikan kejelasan dan konsistensi dalam penerapan hukum pidana.

Coke memberikan kontribusi penting pada teori Actus Reus dengan menekankan pada pentingnya hubungan sebab akibat antara tindakan terdakwa dan hasil yang terjadi. Dia berpendapat bahwa Actus Reus tidak dapat terbukti kecuali terdakwa secara langsung atau tidak langsung menyebabkan hasil yang melanggar hukum. Coke juga memberikan kontribusi penting pada teori Mens Rea dengan menekankan pada keadaan mental terdakwa pada saat melakukan Actus Reus. Dia berpendapat bahwa niat jahat (malice) adalah bentuk Mens Rea yang paling serius, dan bahwa kelalaian (negligence) juga dapat menjadi Mens Rea dalam beberapa kasus.

Teori Actus Reus dan Mens Rea yang dikembangkan oleh Coke telah memiliki dampak yang signifikan pada sistem hukum pidana di seluruh dunia. Teori ini telah diadopsi oleh banyak negara dan telah menjadi dasar bagi banyak putusan pengadilan penting.

Actus Reus mengacu pada unsur fisik dari suatu kejahatan, yaitu tindakan atau kelambanan terdakwa yang melanggar hukum. Dalam kasus korporasi, Actus Reus dapat berupa:

  • Tindakan yang dilakukan oleh individu atas nama korporasi, seperti menyuap pejabat, melakukan penggelapan dana, atau memalsukan dokumen.
  • Kebijakan atau prosedur yang dibuat oleh korporasi yang memungkinkan terjadinya tindak pidana, seperti sistem kontrol internal yang lemah atau kode etik yang tidak ditegakkan.

Mens Rea mengacu pada keadaan mental terdakwa pada saat melakukan Actus Reus, seperti niat jahat, kelalaian, atau ketidaksengajaan. Dalam kasus korporasi, Mens Rea dapat berupa:

  • Niat jahat (malice) dari individu yang bertindak atas nama korporasi, seperti keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan bagi korporasi dengan cara yang melanggar hukum.
  • Kelalaian (negligence) dari korporasi dalam mengawasi atau mengendalikan individu yang bertindak atas namanya, sehingga memungkinkan terjadinya tindak pidana.
  • Ketidaksengajaan (recklessness) dari korporasi dalam mengambil risiko yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana.

Teori Actus Reus dan Mens Rea, yang dikembangkan oleh Sir Edward Coke, merupakan elemen penting dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan, termasuk dalam kasus korupsi E-KTP. Penerapan teori ini dalam kasus-kasus korporasi di Indonesia telah membantu untuk memastikan keadilan dan menghukum korporasi yang bertanggung jawab atas tindak pidana.

Kasus Korupsi E-KTP di Indonesia/dokpri
Kasus Korupsi E-KTP di Indonesia/dokpri

Kasus di Indonesia yang melakukan Tindakan kejahatan Korporasi: Kasus korupsi e-KTP (KTP Elektronik) 2014

Kasus Korupsi e-KTP pada tahun 2014 adalah salah satu skandal korupsi besar-besaran yang mengguncang Indonesia. Proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) dimulai pada tahun 2011 dengan tujuan untuk menggantikan KTP lama yang dianggap kurang aman dan tidak efisien. Proyek ini direncanakan untuk menghasilkan KTP yang dilengkapi dengan teknologi canggih seperti chip RFID untuk keamanan dan keandalan data penduduk.

Pada tahun 2013, mulai muncul indikasi bahwa ada penyimpangan dalam proyek e-KTP. Terdapat dugaan kuat bahwa harga-harga dalam proyek ini dimanipulasi (mark up) untuk memberikan keuntungan yang besar kepada pihak-pihak tertentu. Dokumen-dokumen yang diungkapkan juga menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses pengadaan dan penentuan kontraktor proyek. Pada tahun 2014, masyarakat mulai mengadukan dugaan korupsi proyek e-KTP ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK kemudian memulai penyelidikan terhadap kasus ini dengan serius mengingat skala dan nilai proyek yang sangat besar.

Pada bulan Juli 2014, KPK melakukan langkah tegas dengan menangkap beberapa tersangka utama yang terlibat dalam skandal ini. Di antara yang ditangkap adalah pengusaha Andi Narogong dan beberapa pejabat tinggi, termasuk Anang Sugiana Sudiharjo yang merupakan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri saat itu. Selama proses penyidikan, terungkap bahwa ada keterlibatan politisi penting dalam skema korupsi proyek e-KTP. Salah satu tokoh yang paling mencolok adalah Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI. Setya Novanto diduga memiliki peran sentral dalam memanipulasi proses pengadaan proyek e-KTP untuk memperoleh keuntungan pribadi dan bagi kelompok tertentu.

Proses pengadilan terhadap para tersangka korupsi e-KTP berlanjut. Beberapa di antaranya dijatuhi vonis bersalah atas keterlibatan mereka dalam skandal ini. Pada tahun 2018, Setya Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dalam proyek e-KTP. Vonis ini menunjukkan keseriusan hukum dalam menindak korupsi di tingkat tinggi. Kasus e-KTP menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia tentang pentingnya pengawasan yang ketat dalam pengadaan proyek pemerintah. Skandal ini juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengelolaan keuangan negara. Pemerintah dan lembaga terkait diharapkan dapat mengambil langkah-langkah lebih tegas untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Kasus Korupsi E-KTP/dokpri
Kasus Korupsi E-KTP/dokpri

Putusan Mahkamah terkait kasus korupsi e-KTP di Indonesia

Putusan ini menghasilkan beberapa keputusan penting terhadap para tersangka yang terlibat dalam skandal ini. Berikut adalah beberapa putusan yang mencatatkan sejarah dalam kasus korupsi e-KTP:

  • Putusan terhadap Setya Novanto: Setya Novanto, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada 24 April 2018. Putusan ini diberikan setelah dia terbukti bersalah melakukan korupsi terkait proyek e-KTP. Novanto dinilai terlibat dalam merencanakan dan memanipulasi proses pengadaan proyek e-KTP untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.
  • Putusan terhadap Anang Sugiana Sudiharjo: Anang Sugiana Sudiharjo, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, juga dijatuhi hukuman penjara dalam kasus e-KTP. Dia dinyatakan bersalah karena terlibat dalam penyalahgunaan wewenang dan proses pengadaan proyek e-KTP yang tidak transparan.
  • Putusan terhadap Andi Narogong dan Terdakwa Lainnya: Andi Narogong, seorang pengusaha yang diduga sebagai otak di balik skema korupsi e-KTP, juga dijatuhi hukuman penjara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus ini. Selain itu, beberapa pejabat pemerintah dan pihak swasta lainnya yang terlibat dalam skandal ini juga menerima vonis bersalah.

Hubungan teori Actus Reus dan Mens Rea/dokpri
Hubungan teori Actus Reus dan Mens Rea/dokpri

Hubungan Teori Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi e-KTP:

  • Actus Reus: Dalam konteks kasus korupsi e-KTP, Actus Reus dapat ditemukan dalam berbagai tindakan fisik konkret seperti manipulasi dokumen, penggelembungan harga, atau penyalahgunaan kewenangan dalam proses pengadaan. Misalnya, manipulasi dalam proses lelang untuk memastikan pemenang kontrak adalah pihak yang telah bekerja sama dengan pelaku korupsi.

  • Mens Rea: Mens Rea dalam kasus ini terkait dengan niat pelaku untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya. Niat ini mencakup kesadaran akan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan dan dampak negatifnya, namun tetap dilakukan demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Dalam hukum pidana, untuk menetapkan seseorang bersalah dalam kasus korupsi e-KTP, tidak hanya perlu bukti dari Actus Reus (tindakan konkret yang melanggar hukum), tetapi juga Mens Rea (keadaan pikiran atau niat untuk melakukan tindakan tersebut). Penerapan teori Actus Reus dan Mens Rea oleh Edward Coke memungkinkan pengadilan untuk memahami dan menilai keseluruhan kejahatan korupsi e-KTP dengan lebih komprehensif, mempertimbangkan baik tindakan fisik maupun keadaan pikiran para pelaku.

Pandangan Pemerintah/dokpri
Pandangan Pemerintah/dokpri

Pandangan pemerintah mengenai kasus korupsi, termasuk kasus korupsi e-KTP, memiliki banyak alasan mengapa hal itu sangat penting. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pandangan pemerintah terhadap kasus korupsi sangat signifikan:

  • Integritas dan Kredibilitas Pemerintah: Kasus korupsi sering kali menimbulkan keraguan terhadap integritas dan kredibilitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Pandangan pemerintah yang tegas terhadap kasus korupsi menunjukkan komitmen untuk memperbaiki dan memelihara kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
  • Pertanggungjawaban Publik: Pemerintah bertanggung jawab kepada publik atas penggunaan dana publik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Kasus korupsi menunjukkan bahwa dana publik bisa disalahgunakan, sehingga pemerintah perlu menunjukkan bahwa mereka serius dalam menindak dan mencegah korupsi demi kepentingan masyarakat.
  • Perlindungan terhadap Keuangan Negara: Kasus korupsi berdampak langsung pada keuangan negara dengan merugikan anggaran publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat. Pandangan pemerintah yang tegas mengenai korupsi penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah pajak digunakan secara efektif dan efisien.
  • Mendorong Reformasi Hukum dan Tata Kelola: Kasus korupsi sering kali memicu dorongan untuk mereformasi sistem hukum dan tata kelola pemerintahan. Pandangan pemerintah yang berkomitmen terhadap penegakan hukum yang adil dan efektif membantu memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan negara.
  • Membangun Kepercayaan Masyarakat: Pandangan pemerintah yang kuat terhadap kasus korupsi membantu membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi publik. Ini sangat penting untuk menjaga stabilitas politik, sosial, dan ekonomi negara serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
  • Pengaruh Terhadap Investasi dan Pembangunan: Kepercayaan investor, baik dalam skala domestik maupun internasional, terhadap lingkungan bisnis dan investasi di suatu negara dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah untuk menangani dan mencegah korupsi. Pandangan pemerintah yang kuat terhadap korupsi dapat membantu menciptakan lingkungan investasi yang lebih stabil dan menarik.

Kesimpulan

Kasus korupsi e-KTP di Indonesia memberikan ilustrasi yang jelas tentang penerapan teori Actus Reus dan Mens Rea dalam konteks hukum pidana. Actus Reus, yang mengacu pada unsur fisik dari suatu kejahatan, terlihat jelas dalam kasus ini melalui tindakan konkret seperti manipulasi harga, penggelembungan kontrak, dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pengadaan proyek e-KTP. Para pelaku menggunakan posisi dan kekuasaan mereka untuk memanfaatkan dana publik secara tidak sah, menghasilkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara.

Sementara itu, Mens Rea dalam kasus korupsi e-KTP mencakup niat dan kesengajaan para pelaku untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan prinsip-prinsip integritas dan keadilan. Mereka menyadari bahwa tindakan korupsi yang mereka lakukan melanggar hukum dan merugikan masyarakat secara luas, namun tetap melanjutkan tindakan tersebut demi keuntungan pribadi. Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi serta perlunya sistem pengawasan yang ketat dalam pengelolaan dana publik untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Dengan demikian, kasus korupsi e-KTP tidak hanya menjadi catatan hitam dalam sejarah administrasi publik Indonesia, tetapi juga menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun