Mohon tunggu...
Hikmah Fitriyani
Hikmah Fitriyani Mohon Tunggu... -

hidup akan lebih indah nun penuh warna dengan hikmah di setiap suasana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ampuuun ya Allah...

21 Juli 2012   02:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:45 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menempuh jenjang sekolah menengah pertamaku di salah satu sekolah negeri di kecamatan tempat aku bermukim. Sewaktu SMP aku memang mengenakan kerudung tapi hanya di sekolah dan di tempat ngaji saja, ya itu memang karena terpaksa. Orang tuaku yang memaksanya. Kalau bukan karena orang tuaku aku tidak akan mau mengenakan kostum yang serba ribet itu.

Kira – kira selang waktu satu minggu dari awal aku masuk SMP aku dipondokkan di majlis tempat aku mengaji sejak kelas 4 SD. Lagi – lagi aku merasa terpaksa dan hari – hari di pesantren ku jalani dengan setengah hati. Waktu itu aku merasa pondok pesantren memang bukan tempatku. Aku memberontak kepada kedua orang tuaku, aku tidak mau mondok lagi. Kali ini keinginanku tidak bisa tidak dikabulkan oleh orang tuaku. Setelah kurang lebih satu bulan aku mondok akhirnya mereka mengizinkanku untuk tidak mondok lagi asal aku tetap mengaji menuntut ilmu di pesantren itu.

Di SMP kutemukan berbagai model teman mulai dari yang pendiam sampai yang bisa dikatakan brandal, dan semua itu bisa berteman baik denganku. Guru – guru di SMP-ku pun hampir semua sayang dan perhatian padaku. Aku serasa selalu diikuti dewi fortuna dalam hidupku saat itu. Hari – hari ku jalani dengan ceria dan bahagia, tapi tanpa ilmu agama yang kaffah sehingga semakin aku sibuk mengurusi kesenangan – kesenanganku itu semakin jarang aku berangkat mengaji ke pesantren. Bisa dikatakan aku menjadi orang – orang yang merugih bahkan celaka, begitulah kata salah satu pepatah islam.

Memasuki kelas dua SMP aku mulai mengenal pergaulan dengan lawan jenis serta dengan nuansa merah jambu yang identik akannya. Banyak teman laki – lakiku yang tertarik padaku, entah hanya karena luarku saja ataukah karena dalamku. Aku pun merasa semakin menjadi bintang yang paling bersinar diantara bintang – bintang yang bersinar saat itu.

Di tahun itu pula terjadi tragedi yang memilukan yang merubah diriku. 21 – 12 – 2006 ayahku dipanggil Ilahi Rabbi lewat tumor ganasnya yang telah lama menginang pada lambungnya. Aku sedih bukan main.

Sekitar seminggu aku absen dari kelas. Tapi sungguh disayangkan, sejak kepergian ayahku aku bukannya menjadi lebih baik tapi malah menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Mungkin karena imanku yang masih tipis. Waktu itu aku berfikir tidak ada lagi yang mengawasi aku lagi sehingga aku bisa berbuat apapun sesukaku. Kemidian aku semakin dekat dengan teman – teman yang tadi ku katakan seperti brandal, mulai dari perokok hingga pecandu obat – obat terlarang. Sering bolos kelas, jarang mengerjakan tugas dan selalu membuat kesal guru. Ya, itulah mereka – mereka yang menjadi teman dekatku saat itu. Tapi untunglah telingaku masih bisa mendengarkan nuraniku dan otakku bisa dengan tepat mengerti akan hal itu, sehingga aku tidak sampai mengikuti jejak mereka. Biasanya aku hanya ikut nongkrong saja dengan mereka dan melihat mereka berbuat maksiat, tapi tanpa kusadari sebenarnya secara langsung dan tidak langsung akupun turut andil dalam maksiat itu. Astaghfirullah.

Hari – hari pun terus berlau dan kuwarnai dengan warna abu – abu yang waktu itu kurasa seperti mejikuhibiniu. Hingga lulus dari SMP aku pun bersekolah di salah satu SMA faforit di kota tempat tinggalku. Walau sekolah kami berbeda – beda aku masih tetap berhubungan dengan teman – temanSMPku, ya tentu saja tak sesering dulu.

Di SMA iseng – iseng aku mengikuti organisasi dibidang kerohanian, SKI namanya. SKI memang wadah orang – orang baik dan orang – orang yang ingin menjadi baik. Tapi waktu itu aku belum sadar tentang hal itu, yang ku tahu aku hanya ikut – ikut teman saja. Disamping itu sejak SMA aku menjadi agak rajin mengaji ke pesantren lagi karena teman – teman nongkrongku sudah sibuk dengan urusan masing – masing, begitu pula aku.

Baik di pondok pesantren maupun di SKI aku sering mendapat siraman rohani yang sedikit demi sedikit mampu mengikis noda - noda hitam yang mengotori hatiku.

Bulan Ramadhan 1430 H. Aku merasa menjadi diriku yang baru yang semakin baik dan beriman. Apakah aku mendapatkan lailatil qodar di bulan yang penuh maghfiroh itu? Ataukah ini karena keberkahan hasil mengajiku di pesantren selama bertahun – tahun silam?. Entahlah, untuk hal itu Allahu a'lam bisshowab. Aku sendiri tidak tahu kapan dan bagaimana hidayah itu turun. Sejak saat itu hatiku mulai tergerak untuk mulai memperbaiki diri. Aku mulai bisa mengenakan jilbab dengan ikhlas dan sepenuh hati bukan hanya di sekolah dan di pesantren saja. Bahkan aku sudah sadar bahwa itu memang wajib bagiku dan bagi muslimah lain, dan hatiku pun bisa menerima dengan penuh kelapangan. Sedikit demi sedikit aku menjadi senang dan sering mengamalkan sunnah – sunnag yang telah ditetapkan dalam pedomanku. Alhamdulillahirabbil'alamin, dankan ku genggam hidayah ini erat – erat selamanya. Seiring dengan berjalannya perubahan pada diriku yang ku rasa semakin hari semakin membaik rasa bersalah dalam hati ini pun tumbuh dengan sendirinya, rasa bersalah terhadap Rab-ku dan juga kepada kedua orang tuaku, terutama kepada ayahku yang telah mendahului kami, yang kini hanya lantunan do'alah lah yang mampu ku persembahkan untuk beliau.

Perubahan ini semakin menjadi sejak akhir kelas XI ketika aku mengetahui ada sebuah penyakit yang singgah pada tubuhku yang apabila dibiarkan lama – lama bisa mematikan. Sejak saat itu aku lebih mendekatkan diriku kepada sang Kholiq. Aku berfikir ajalku sudah dekat dan aku belum siap menghadapinya. Akhirnya tiada henti – hentinya aku berusha serta berdo'a agar diberi kesembuhan oleh Allah Azza wajalla serta memohon diberi umur yang panjangagar aku bisa lebih banyak menabung untuk bekal kehidupan abadiku kelak.

Awal kelas XII ku putuskan untuk menjalani pengobatan secara medis dan alhamdulillah oprasiku berjalan dengan lancar dan akupun sembuh. Allah mengabulkan do'aku. Dengan adanya cobaan itu aku benar – benar sadar dan memahami betul bahwa kita bisa meninggal dunia kapanpun sesuasi takdirullah, tak perduli muda ataupun tua. Akhirnya semakin hari aku menjadi semakin baik karena aku berprinsip bawha aku harus siap meninggal kapanpun Allah menghendaki.

Aku ingin tinggal di pesantren lagi di sekeliling orang – orang yang luar biasa dengan atmosphere yang penuh kedamaia. Aku benar – benar menyesal telah tidak patuh kepada kedua orang tuaku. Sesal ini terlalu perih dan menyesakkan dada. Untuk menebus semua itu sebisa mungkin aku patuhi dan kulaksanakan perintah orang tuaku yang kini tinggal ibuku saja.

Semakin hari aku semakin merasakan perubahan pada diriku, lebih – lebih sejak teman terbaikku meninggal dunia. Mbak Dewi “khoiru ukhti”. Ya, dialah saudara terbaikku yang sangat menginspiransi aku untuk menjadi lebih baik, menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Pasalnya Mbak Dewi itu memang patut dibanggakan. Dia baik, dia cantik, selama aku mengenalnya kurasa tidak pernah ada sedikit dustapun yangkeluar dari bibir indahnya, dan yang paling ku kagumi adalah hiya ahadun min tahfidul qur'an. Ketika sakaratul mautnya dia meninggal dengan cara yang sangat indah karena ia iringi pencabutan akan nyawanya dengan lafadh – lafadh aqur'an serta sholahat – sholawat dan kalimah – kalimah thoyyibah yang telah ia hafal. Subhanallah aku ingin menjadi sepertinya, husnul khotimah insya Allah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun