Bagi kami Ibu adalah malaikat yang Tuhan hadirkan dalam keluarga. Sosoknya selayak sumur yang terus menerus mengeluarkan air bagi penghidupan. Darinya aku belajar banyak. Tentang arti kata sabar yang berarti ikhlas tanpa air mata. Tekun berusaha dan tidak lupa beribadah adalah juga bagian dari mengisi perjalanan hidup, begitu ucapan beliau.
Jika ada yang bertanya arti seorang Ibu, maka IBU adalah  separuh nyawa bagiku.
Setiap hari sebelum berangkat sekolah kami selalu membawa dagangan untuk dititip ke beberapa warung tetangga. Pulang sekolahnya baru kami mengambil uang hasil jualan kami, dan biasanya di malam hari sepulang mengaji dari masjid raya, kami membantu ibu membuat es lilin untuk dagangan esok hari.
Semua pekerjaan itu membuat  kami belajar banyak. Bahwa mencari rizki yang berkah salah satunya adalah jangan lupa berbagi. Ajaran beliau yang satu ini membuat kami mengenal banyak jalan menuju Roma, banyak cara mencari rizki yang berkah.
Ibu adalah juga seorang pegawai kecil di salah satu instansi pemerintah saat itu. Kami hidup sederhana bersama seorang Ayah yang sakit-sakitan. Namun, tak pernah sekalipun kulihat Ibu meneteskan airmata.
Saat-saat senggang banyak yang beliau ajarkan pada kami, berhubung dikaruniai anak dengan gender perempuan semua, maka beliau banyak mengajarkan pada kami beberapa resep masakan dan kue.
"Memasak itu hukumnya wajib bagi perempuan. Selain buat menghidangkan masakan yang baik dan sehat bagi keluarga, ketrampilan memasak pun dapat dijadikan ladang mencari uang."
Ucapan beliau ini kami ikuti. Kebetulan sekali akhirnya aku dan kakakku menjadi pandai membuat camilan sejak di usia sekolah menengah atas. Bahkan tak jarang pagi-pagi buta kami bangun, hanya untuk membuat beberapa jenis kue yang kemudian dijual di kelas sebelum jam pelajaran sekolah dimulai. Hasilnya lumayan juga buat tambah uang jajan dan bantu membayar keperluan biaya sekolah.
IBU adalah sosok paling inspiratif buat kami. Guru yang secara langsung mengajarkan praktek bagaimana cara menjalani kehidupan sebagai orang yang serba kekurangan.
Kehidupan sekolah, bekerja sekaligus sambil berdagang seperti sengaja diajarkan pada kami, anak-anaknya, agar siap menghadapi segala hal di masa mendatang.
Enam belas tahun sakit keras, mengantarkan Ayah pada titik di mana kami harus mengikhlaskan Beliau menghadap Illahi.