Matahari di timur pagi itu tampak bersih tanpa awan menghalangi kemunculannya, laut biru berkilau dipantul matahari saat mata tertambat kearah laut. pagi itu dermaga Ahmad Yani ramai dikunjungi orang-orang, nampak sejumlah kapal bersandar dibahu dermaga menunggu dinaiki orang-orang kemudian pergi menghilang dibalik punggung pulau-pulau .
Pagi itu sebuah spead boad berukuran besar berwarna putih telah siap mengangkut kami berlayar menuju daratan Halmahera. Setengah jam menunggu akhirnya awak kapal mulai melepaskan tali disisi-sisi dermaga. Kapal mulai meninggalkan pelabuhan tepat puku 8 pagi. Laut pagi itu begitu bersahabat meskipun sedikit terasa gelombang kecil saat spead boat ini berjalan, pemandangan pulau-pulau nan indah, laut biru, dan perahu-perahu kecil milik nelayan meramaikan keindahan semesta di pagi itu, menyegarkan pandangan, menghilangkan kepengkapan rutinitas perkotaan.
Satu jam sudah kami di atas laut biru nan dalam, tak bisa ditebak seberapa dalam laut ini, seperti hati manusia. didepan sana tampak gunung Jailolo membumbung tinggi seperti menunjukkan keanggunannya, ketika spead boad mulai mendekat daratan jailolo tampak pantai putih bersih, pepohonan kelapa berdiri tegak sayu ditiup angin menyambut kedatangan kami.
Setelah perjalan di atas laut tadi, kini aku bersama keluarga harus menempuh perjalanan darat untuk sampai ke kampung halaman ibu. Sebenarnya perjalanan ini terpaksa harus aku lakukan mengorbankan pekerjaanku di kota untuk meramaikan pernikahan adik sepupu dari saudara ibu. Di perjalanan menuju kampung halaman, suasana disepanjang jalan begitu lengang hanya tanpak kendaraan sesekali datang dari arah berlawanan, suasana jailolo masih seperti dahulu rumah-rumah berjarak-jarak satu sama lain di sisi-sisi jalan. Di kejauhan tampak gerombolan kambing melintasi jalanan beberapa ekor kambing berhenti dan duduk adem di atas aspal bahkan dipinggiran jalan.
Ketika mobil melewati sebuah desa, terlihat  sebuah bangunan cukup familiar dari kejauhan.rupanya bangunan itu ialah gerai waralaba besar terkenal disetiap perkotaan. Desa seakan terasa kosmopolitan, ekspansi kapital  hingga moderenisiasi menggelinding masuk di setiap wilayah-wilayah pedesaan.
Mobil melaju kencang sayup-sayup angin terasa di telinga, mata, dan rambut. "Sebentar lagi kita aka tibah di desa bobo" ucap sang sopir memecah keheningan. 'iya benar' sahutku...mendengar ucapan sopir, memoriku membawa kembali di masa kecil aku di desa bobo. Didesa ini aku tumbuh, bermain dan tinggal bersama saudari ibu. Namanya Badaria, merawatku seperti anaknya sendiri ketika ibu  bekerja menjadi guru di morotai.
Ibu menitipkan aku kepadanya, kami hidup seperti masyarakat desa umumnya menikmati makanan dari hasil kebun. Pisang, umbi-umbian, sayur mayur ialah makanan kami sehari-hari. makanan kesukaanku ialah pisang bakar. Di desa kami hidup tanpa berpikir esok mau makan apa, tak seperti orang-orang kota harus bekerja mendapatkan uang baru bisa menikmati makanan. Tetapi sayang orang-orang di desa selalu menjadikan kota sebagai tempat kehidupan hingga rela meninggalkan kampung halaman.
Tampak di kejauhan tenda biru berdiri tegak  saat mobil mulai mendekat, penduduk desa terlihat memenuhi tenda. Acara pernikahan bukan hari itu tetapi akan berlangsung esok hari, sudah menjadi kebiasaan di desa bila ada hajatan semua penduduk akan ikut bergotong royong membantu, ada yang datang membawa tenaga, hasil kebun, untuk diberikan kepada orang yang menyelenggarakan hajatan atau acara.
Dikeramain persiapan acara pernikahan terlihat pemandangan berbeda, orang-orang duduk berkelompok bercerita entah apa di dalam isi kepala mereka semua dikeluarkan demi menciptakan suasana intim. Terasa asing bagiku karena sudah lama tak berkujung di desa ini, aku pun duduk sendiri sambil melihat orang-orang, mengamati satu-persatu wajah yang aku kenal terutama wajah teman bermain masa kecilku. Datang seorang pemuda menuju ke arahku 'kapan datang' sapa dia sambil bersalaman dengan ku "baru saja tiba" sahutku sera berkata akhirnya masih ada teman lama mengenalku.
Banyak hal dia tanyakan kepadaku mulai dari, kabar,pernikahan sampai sudah berapa jumlah anak. Aku pun bertanya sebaliknya kepada dia.ditengah obrolan kami dikeramaian siang itu datang seorang dari arah belakang ku sambil menenteng sepiring makanan ia duduk tepat didepan temanku sepertinya wajahnya familiar tetapi aku lupa namanya. Dia berbicara kepada temanku sambil menurunkan suaranya, terdengar seperti ada sesuatu penting untuk disampaikan. Tak lama kemudian dia pun berlalu pergi entah kemana.
"dia ikut calon kepala desa bobo" kata temanku... "pantasan serius sekali" sahutku seraya tersenyum lebar seraya mengingat adegan tadi. "aku juga ikut pilkades" tambahnya...mendengar ucapannya pandanganku langsung di arahkan ke sekeliling orang-orang, terasa benar suhu pilkades di pernikahan sepupuku ini. Kelihatannya semua kandidat pilkades hadir hari ini, datang membawa kepentingannya masing demi pencitraan untuk meraih hati orang-orang di acara pernikahan.
Orang-orang duduk berkelompok sambil melirik kelompok lain, siapa-siapa saja duduk di kelompok sana, identifikasi individu apakah menjadi lawan atau kawan sedang berlangsung. Berbeda dengan para lelaki,semua perempuan yang datang  duduk di bagian belakang serius membantu memasak menu makanan untuk di sajikan esok. Disini aroma politik tidak terasa, mereka sibuk membicarakan hal lain. meski demikian merekapun akan terlibat dalam politik desa dan menjadi alat politik laki-laki meraup suara.
Pandangan ku lempar ke rumah yang dulu di tinggali aku dan badariyah, rumahnya sudah berbeda dengan dahulu saat kami tinggali, sekarang tampak lebih besar dan sedikit moderen. Rumah itu sekarang ditinggali seorang ulama di desa bobo. Semua orang di desa selalu mengikuti apa nasihat-nasihatnya, bahkan disaat momen politik semua mengikuti fatwa politiknya pengaruhnya cukup luas dalam kehidupan orang-orang desa. Tidak heran bila semua politikus di daerah ini selalu datang kerumahnya.
Siang itu para lelaki sedang menunggu ulama tersebut keluar dari rumahnya untuk melakukan ritual pembacaan doa guna memulai penyembelihan hewan, terasa benar pengaruh ulama ini di setiap hidup orang-orang di desa. Â Setelah menunggu lama ulama itu muncul juga, memakai peci putih,celana hitam, kaus putih, dia melangkah ke arah belakang disana orang-orang sudah menunggu dia datang.
Penyembelihan dilakukan, terlihat pemuda bernama saleh mulai menguliti seekor sapi, pisau besar dipegangnya kelihatan begitu tajam dia begitu lincah memakai pisau itu. Terlihat satu persatu orang mulai menguliti bagian tubuh sapi. Rupanya mereka melakukan berkelompok juga, kelompok tersebut yang sebelunya terlihat duduk di depan, kelihatannya dalam setiap melakukanan sesuatu sudah terbentuk kelompok masing-masing. Akibat pilkades kali ini jarak diantara masyarakat sudah terlihat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H