Sejak terbentuk kerjasama regional antara Negara tiongkok dan ASEAN atau ASEAN --China free Trade Area (ACFTA) Secara formal pada tanggal 29 N0vember 2004, secara legal telah termuat perjanjian kerja sama ekonomi di bidang perdagangan antara Negara-negara di ASEAN dan Cina (ACFTA).Â
Melalui perjanjian kerjasama ekonomi sirkulasi perdagangan antara Negara ASEAN dan cina akan memberikan gairah baru bagi pasar perdagangan. Adanya kerjasama ekonomi secara otomatis kran-kran ekspor maupun impor yang selama ini tersumbat akan masuk periodesasi  baru yaitu sebuah periode liberalisasi dimana segala hambatan yang selama ini menghambat kegiatan perdagangan dan membuat kaku bagi pasar menjadi lebih fleksibel.Â
Konteks Indonesia, dengan adanya kerjasama ekonomi Negara ASEAN-CHINA sudah barang tentu akan menciptakan pasar baru bagi ekspor komoditas Indonesia sekaligus memberikan tambahan devisa bagi Negara bila dilihat dari output ekonomi. Latar belakang dari terbentuknya kerjasama ini lebih pada aspek menciptakan pasar perdagangan dan investasi yang bebas dari segala macam hambatan, baik itu dari tariff maupun non-tarif. Serta mengurangi kesenjangan pembangunan di antara Negara-negara anggotanya. Lantas pasca perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN-CHINA (ACFTA) bagaimana outputnya bagi perdagangan Indonesia-China! Tulisan ini sengaja diangkat untuk melihat lebih jauh bagaimana dinamika perdagangan China-Indonesia pasca perjanjian kerjasama ekonomi.
Orientas Ekonomi politik Negara, dalam kerjasama regional tak lain adalah menggenjot pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di dalam negeri, kerjasama adalah bentuk sarana yang di pakai dalam mengatasi problem perdagangan. Tentunya kerjasama yang dibangun haruslah kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua Negara.
Indonesia pasca kerja sama Negara-negara ASEAN-CHINA (ACFTA) mencatat nilai ekspor ke China dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2016 nilai ekspor ke china sebesar USD 16. 790,8 (dalam juta US$),dengan volume ekspor sebanyak 130. 404,2 ton. Meningkatnya nilai dan volume ekspor tentunya memberikan pendapatan devisa bagi Indonesia, meskipun begitu angka ini masih kecil dari tahun 2013 yang mencatat volume ekspor 284 601,82 ton dengan nilai ekspor US$ 22 601,5.Â
Perbedaan volume dan nilai ekspor antara tahun 2016 dan 2013 tentunya adalah karena factor ekonomi dalam negeri masing-masing sehingga menyebabkan adanya penurunan volume ekspor. Sedangkan impor Indonesia yang datang dari china pada tahun 2016 sendiri mencatat nilai impor sebesar US$ 30.800.5 dengan volume 21 907,3 ton.
Bila di refleksikan kembali hubungan perdagangan Indonesia, ada perbedaan besar pada pada nilai ekspor impor antara kedua Negara, yaitu adanya kesenjangan yang jauh antara nilai impor dan ekspor, dimana dalam perdagangan dengan Indonesia, cina menerima surplus yang besar dari perdagangan dengan indonesia atau bila dilihat dari nilai impor yang masuk ke Indonesia nilainya lebih besar dua kali lipat dari pada nilai ekspor Indonesia ke tiongkok, artinya Indonesia Indonesia mengalami defisit yang cukup lebar.Â
Selain itu cina, pasca adanya kerja sama dengan Negara ASEAN khususnya Indonesia nilai perdagangan yang dihasilkan cina dari tahun ke tahu pasca kerja sama ekonomi di bidang perdagangan terus mengalami peningkatan atau mengalami surplus.
Analisis kritis dari kerja sama ekonomi di bidang perdagangan dengan tiongkok, nilai impor dan ekspor yang tidak seimbang mengindikasikan lebih menguntungkan tiongkok di banding Indonesia, sehingga ekspektasi akan terciptanya kerja sama yang saling menguntungkan masih jauh dari panggang api.Â
Untuk itu, Negara dalam hal ini pemerintah sebagai eksekutor kebijakan harus melihat kembali hubungan kerja sama dengan tiongkok. Bila direfleksikan kembali proses kerja sama ASEAN-CHINA (ACFTA), Cina sebagai Negara besar dengan kekuatan ekonomi yang besar tentu mendapat keuntungan yang besar dari proses kerja sama, instrument kerja sama dan liberalisasi ekonomi yang bebas hambatan adalah senjata utama ekspansi cina lewat konglomerasi-konglomerasi perusahaan Multi nasional.Â
Sebagai bentuk dari kepentingan nasional, Negara semestinya mampu melihat secara kritis yang lebih jauh kedalam dari aspek kerja sama, karena bukan tidak mungkin di balik kepentingan kerja sama, ada berbagai macam muatan politik ekonomi konglomerasi-konglomerasi besar cina yang ikut membonceng pada regulasi-regulasi yang di buat dalam perjanjian.Â
Soft War Tiongkok
Kerjasama ekonomi yang dibungkus dalam narasi perdagangan bebas tak terlepas dari politik ekonomi Negara-negara besar. Liberalisasi ekonomi adalah tools para konglomerasi-konglomerasi dan Negara dalam melanggengkan kepentingan-kepentingan ekonominya.Â
Melanggengkan proses liberalisasi ekonomi di Negara-negara ekspansi capital, Proses deregularisasi menjadi senjata politik untuk mempreteli berbagai bentuk regulasi yang menghambat kepentingan akumulasi capital. Perdagangan bebas yang mulai di perkenalkan pasaca perang dunia II sejatinya adalah bentuk baru dari soft war Negara-negara besar. Sebagai
bentuk soft war, perdagangan bebas adalah ideologisasi dari Negara-negar maju bekerja sama dengan OPEC,WTO, IMF dan World Bank. Lemahnya politik Negara-nagara berkembang dan belum maju pada organisasi-oraganisasi dunia, ikut Menyuburkan proses liberalisasi.
Tiongkok sebagai Negara yang memiliki pengaruh besar bagi ekonomi dan politik dunia tentu menggunakan Pengaruhnya untuk mempengaruhi lembaga internasional guna melanggengkan kepentingan politik ekonominya Negara atau pemerintah sebagai penjaga pintu masuk tentunya menjadi harapan sekaligus banteng terakhir dalam Menjaga masuknya arus capital dari proses perdagangan bebas.Â
Konstitusi Negara sebagai pion dalam menjaga Kedaulatan ekonomi bangsa, harus mampu memberikan rasa aman dari konglemerasi-konglemarasi Asing. Kebobolan pada konstitusi Negara akibat kecerobohan perumus kebijakan akan memberikan kemenangan besar Bagi para konglemerasi asing untuk merebut hegemoni ekonomi nasional.
Era globalisasi telah mendorong setiap Negara di dunia termasuk Indonesia untuk masuk dalam system yang Terintegrasi satu sama lain. Kerja sama Negara-negara ASEAN-CHINA (ACFTA) adalah salah satu bentuk Pengintegrasian ekonomi ke dalam sebuah system yang sejatinya bagian dari politik ekonomi. Meskipun begitu Wajah asli dari integrasi ekonomi semata hanyalah bagian dari perebutan pasar potensial dan melanggengkan Kepentingan akumulasi capital dari konglomerasi asing.Â
Burmansyah (2014) Secara umum integrasi ekonomi didefinisikan sebagai sebuah proses dimana sekelompok Negara berupaya Untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya. Indonesia sebagai Negara yang memiliki jumlah populasi penduduk yang besar dan sumber daya alam tentu Menjadi pasar potensial bagi tiongkok.Â
Sebagai Negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik cina tentu Akan mampu melanggengkan proses kapitalisasi. Lebih lanjut menurut  Krugman (1993) dalam Burmansya, Integrasi ekonomi dapat berdampak pada penurunan kesehjateraan hidup masyarakat apabila terdapat Negara Yang secara ekonomi kuat menerapkan tariff yang tinggi terhadap Negara lain. Adanya kesenjangan ekonomi Antara tiongkok dan Indonesia tentu akan melanggengkan kapitalisasi cina atas Indonesia.Â
Mencermati kerja sama yang tidak seimbang hasilnya memberikan suata kesan bahwa hubungan yang di Bangun Cina dengan Indonesia tidak hanya di latarbelakangi kepentingan perdagangan saja tetapi ada narasi Besar yang harus dibongkar agar tidak ada saling eksloitasi antara Negara besar dan kecil. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H