Alat politik rakyat akan salah digunakan bila elit dalam pemerintahan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Anomali kebijakan impor Beras sebesar lima ratus ton tentu wajib di pertanyakan sejumlah pihak atau kalangan pada pemerintah apalagi di saat petani Indonesia sudah mau masuk pada musim panen.Â
Situasi Indonesia yang sedang berada pada tahun-tahun politik tentunya akan memberikan tafsiran-tafsiran lain bagi sebagian kalangan pada kebiakan impor beras yang di ambil pemerintah berkuasa.
Sejarah politik beras pada masa rezim orde baru telah memperlihatkan bagaiman beras menjadi menjadi komoditas strategis dari sisi ekonomi maupun secara politik.Â
Dari sisi ekonomi, perberasan memberikan kontribusi besar bagi PDB Indonesia dan menjadi penyumbang besar bagi devisa Negara. Sedangkan dari sisi politik, faktor ekonomi memberikan kontribusi besar bagi posisi politis pemerintahan rezim orde baru sehingga melanggengkan kekuasaan rezim orde baru.Â
Meskipun demikian, kemajuan dari sisi ekonomi tersebut tidak serta merta meningkatkan kesehjateraan petani, hal ini disebabkan kemajuan dalam berproduksi bukan didorong semangat menyejahterakan diri tetapi lebih pada keterpaksaan ekonomi dan tekanan Negara melalui sangsi sosial, serta didorong oleh kepentingan industrilisasi, termasuk ekonomi global dengan WTO sebagai representasi kekuatan global (Khudori).
Belajar dari pengalam sebelumnya, kebijakan impor beras memiliki relevansinya dengan politik Negara meskipun  berbeda kasus dengan pengalaman sebelumnya.Â
Gambaran masa lalu memberikan pemahaman pada setiap kalangan guna mengontrol kebikajan yang di ambil, dengan tidak berorientasi pada memperkuat sisi politis kekuasaan pemerintah sekarang dan kepentingan industry serta elit oligarki.Â
Kebijakan tersebut diharapkan lahir dari kepentingan untuk menyejahterakan petani, pedagang dan tentunya melindungi seluruh masyarakat.