Mohon tunggu...
HIJRASIL
HIJRASIL Mohon Tunggu... Administrasi - pemula

menjadi manusia seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dilema Ekonomi

11 Desember 2017   22:24 Diperbarui: 11 Desember 2017   22:46 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dilema ekonomi, sebagai sebuah tajuk yang tak bisa lepas dari wacana kontemporer, adalah sebagai bentuk dari akar permasalahan di sektor produksi. Perekonomian negara yang di ukur dari jumlah investasi serta kontribusi angka nominal telah memberikan kesan marjinalisasi terhadap kontribusi dari sektor lainnya yang secara langsung memberikan pondasi dasar dalam tubuh pembangunan ekonomi dan sosial negara. 

Wajah pembangunan yang di adopsi banyak negara berkembang memberikan kesan pembangunan yang jauh dari humanisme. Developmentalisme ala negara barat adalah mesin berwajahkan kapitalis, mesin yang membalikkan wajahnya terhadap kehidupan buruh, petani, nelayan, dan perempuan.

Negara sebagai simbol kedaulatan rakyat berbalik arah menjajah rakyatnya melalui perpanjangan tangan birokrasi. Titik tolak dari dilema ini tak lain adalah buah dari hasil perselingkuhan para kapitalis dan negara yang melahirkan dominasi kelas. upah buruh yang murah dan konflik agraria yang berakhir oleh kekalahan para petani adalah manivestasi dari kekuatan dominasi kelas yang begitu besar.

Rakyat sebagai subyek pembanguan berbalik arah menjadi obyek pembangunan yang diperas oleh negara melalui pajak. Besarnya kontribusi rakyat terhadap pembangunan tidak sebanding dengan distribusi balik dari negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang sejatinya dari rakyat dan untuk rakyat sebagai sebuah simbol demokrasi terkesan berubah menjadi dari rakyat dan untuk para kapitalis. 

Sebut saja sebuah pandangan umum perbaikan infrastruktur untuk memperlancar arus masuk investasi adalah sebuah doktrinasasi negara yang bertujuan mengakomodir permintaan para pemilik modal besar yang dibalik itu bertujuan memuluskan proses akumulasi capital para kapitalis.  

Sistem ekonomi kita hari ini tidak terlepas dari mazhab pembangunanisme ala barat, dengan sekonyong-konyongnya juga para ekonom yang menimbah ilmu di barat juga mengkultuskan bahwa pembangunanisme yang Liberal oriented adalah sitem yang terbaik, system yang akan mensejahterakan rakyat. Manifestasi dari system pembangunanisme adalah produk hukum yang dibuat oleh Negara sebagai bentuk melegitimasikan system. 

Keluarnya undang-undang penanaman modal memberikan pintu masuk bagi sejumlah konglomerasi besar, sumber daya alam dikeruk, manusia di eksploitasi, tanah dirampas atas nama investasi demi kemajuan Negara. System ala barat ini kemudia menjadi semakin kuat dengan proses liberalisai yang diligitimasi dengan perubahan  undang-undang No 33 1945 yang sekonyong-konyongn dibuat oleh para ekonom yang otaknya memang sudah terkontaminasi ilmu ekonomi ala barat.

Implikasi dari pembangunanisme akhirnya melahirkan wajah ekonomi Indonesia yang industrialis. Yang menggusur wajah ekonomi kerakyatan ala pancasila. Kesenjangan antara desa dan kota semakin jauh, lahan-lahan padi berubah menjadi bangunan raksasa. Identitas Negara agraris berubah menjadi Negara industry. Proses liberalisasi telah membuat rakyat kecil menjadi merasa taka aman tinggal di atas tanah yang sejak nenek moyang telah mendiami dan menggantungkan hidup di atas tanah tersebut. 

Sejumlah daratan Indonesia seakan-akan telah ikut di kapling-kapling sehingga menunggu waktu untuk di ambil. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dikatakan meningkat dengan instrument Groos Domestik Bruto menjadi kekuatan Negara dalam meyakinkan rakyatnya bahwa ekonomi Negara sudah lebih baik. Simbolisasi kemajuan ekonomi dengan GDP nyatanya hanya dinikmati segelintir para pemodal yang kepemilikannya atas alat-alat produksi.

Kembali pada ekonomi kerakyatan

Tahun 1998 telah menjadi bukti tumbangnya kekuatan industry besar yang akhirnya berdampak pada rakyat. Sejumlah pemodal atau pemilik alat produksi lari tunggang langgang meninggalkan korbannya, pengangguran semakin marak, kemiskinan meningkat. Tahun yang gelap bagi bangsa Indonesia, mungkin itu yang bisa dikatakan bagi perekonomian Indonesia pada tahun1998 yang tak lain adalah dampak dari industrilisasi.

Pengalaman adalah guru yang berharga memberikan pelajaran nyata bagi setiap orang. Begitupun dengan pengalaman krisis yang terjadi di Indonesia, yang harus disikapi dengan kesadaran kritis bahwa belum tentu yang besar membawa pada kebaikan. Begitupun dengan yang kecil bukan berarti tidak mampu. Inilah yang terjadi pada masyarakat di perdesaan meskipun terjadi krisis ekonomi di tahun 1998, petani-petani kecil didesa nyatanya mampu mendulang untung dari hasil produksi. 

Inilah sebuah bukti bahwa kekuatan ekonomi kerakyatan lebih kuat daya tahannya dari pada kekuatan ekonomi kapitalis sebagai manifestasi dari kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi yang hanya menggunakan tenaga kerjanya sebagai mesin pencetak pundi-pundi capital baginya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun