Tiap tengah malam jika aku terpaksa keluar dari kerajaan selimut untuk buang hajat, lalu aku membuka pintu kamar, ada yang membuatku tercekat bahkan hampir gemetar. Kamu, Lampu Jalan, kuning dan murung, sehingga aku terdiam padahal selalu ingin aku tanyakan: bagaimana caramu mengatasi kesendirian?
Jalan telah kosong. Dari sudut jauh yang dipotong tikungan, tidak ada siapa-siapa. Cahayamu yang sabar itu kadang-kadang terlihat seperti menunggu seseorang. Kadang terlihat maklum, sebab tidak ada siapa-siapa. Tidak ada. Kau tidak cemas?
Hanya dingin. Kadang hujan disertai angin, beberapa lembar daun gugur di dekat kakimu. Kira-kira kau tengah mengingat apa, (atau berusaha melupakan apa?) aku tak tahu. Mungkin sepasang muda-mudi yang saling menyapa dan tak pernah terlihat lagi. Mungkin seorang tua tambun yang membetulkan kacamatanya dan berdiri di bawah cahayamu yang perhatian itu, lalu mulai mengira kalimat apakah di surat pendeknya yang telah membuat cucunya marah dan memilih pulang kepada orangtuanya, meninggalkan Si Tua itu menghabiskan hari-harinya yangmelelahkan dan dipenuhi firasat buruk setiap kali menatap kalender. Mungkinkah kau prihatin lalu bergumam, mengapa manusia selalu merasa bersalah kepada waktu dan beberapa kejadian yang telah berlalu?
Aku memang sedang mengingat kakekku.
Aku ingat selepas subuh, dengan sarung membebat tubuhnya, ia membersihkan pelataran dengan sapu lidi, seperti menyediakan kemungkinan baik untuk hari yang baru. Itu sejak Nenek menggerutu tentang anak-anak ayam kami yang berjumlah sepuluh pergi ke kebun di pagi hari, dan kembali lagi menjelang petang, dan tersisa sembilan ekor.
Tapi Kakek tidak pernah mendongengiku. Itu menyebalkan. Meskipun aku perlu katakan di sini tentang keberatan-keberatan mengenai kecerdikan Si Kancil. Jika memang ia cerdik bisakah ia kami sewa untuk menjaga sembilan ekor anak ayam yang tersisa? Oh, aku ingat hasil karyaku di buku gambar, saat aku naik kelas tiga Sekolah Dasar. Lanskap pegunungan (lebih mirip satu bangun segitiga sebab aku memakai penggaris belaka), segerombol awan, dan satu pohon. Hanya satu. Dan tentu saja, sepuluh ekor anak ayam. Ya. Waktu itu masih berjumlah sepuluh.
Saat-saat seperti ini, Lampu Jalan, kenapa aku jadi teringat semua yang telah aku tinggalkan?
Kadang tengah malam seperti ini, jika tidak duduk saja sambil iseng menghubungkan bintang-bintang dengan garis imajiner, maka biasanya aku menonton beberapa orang membeli nasi goreng di warung Pak Atma, yang mahapedas itu, dan kendaraan yang sesekali melintas. Lampu Jalan, apakah kamu pernah bertanya tentang kendaraan yang melintas, berisik sebentar lalu lengang?
Aku memang sedang mengingat kekasihku. Aku percaya dengan seluruh daya khayalku bahwa ia sungguh-sungguh diculik tukang becak yang kekurangan penumpang dan telah berdoa puluhan bahkan ratusan kali sehingga ia dahaga dan karena kekasihku perempuan yang baik dan lugu maka ia mau saja menjadi penumpang untuk membahagiakan hati laki-laki itu yang mungkin tiga orang anaknya menunggu di rumah dalam keadaan demam.
Tapi mungkin ia tersesat. Kekasihku bingung dan memilih menetap di dusun itu sambil menjaga toko untuk ongkos minum ketika haus dan biaya pulang ke sini. Ya, tepat ke sini. Dalam diriku. Itu kenapa aku kerap mendapat mimpi buruk dan terbangun malam dan merasakan sedih yang dalam, dan haus, dan ketika aku membuka pintu kamar aku pun melihatmu.
Bagaimana caramu mengatasi kesendirian, Lampu Jalan?