Err, Andi, sebetulnya apa hubungan antara perut dan sumpah Tuhan atas nama pena?
*
Aku merima pesan dari Andi. Serius sekali. "Sasa sekarat, tak bisa ditolong. Aku coba membantu detak jantungnya dengan mencoretkannya banyak-banyak ke kertas kosong tapi nihil. Hanya sesekali masih ada tinta tapi kabur dan--ya Tuhan."
Kubalas: "Nanti malam aku ke situ. Ikut bersedih." Aku pun tertawa.
*
Aku mengeluarkan rokok lagi. Dan menyulutnya.
Sambil aku membayangkan perjalanan sedih (atau lucu?) tentang Andi dan Sasa--seorang pulpen, aku melihat ke dalam ruangan. Andi tampak mengetik sesuatu di laptopku. Kalau boleh aku menduga, itu mungkin tulisan berjudul Ode untuk Pulpen, atau mungkin juga Catatan Obituari tentang Sasa, Si Pulpen Setia.
Ia tampak menghela nafas berat. Termenung. Dan itu membuatku mengingat lagi catatan kecilku. Sebelum punya HP, tentunya. Dan aku lupa kapan terakhir kali aku menggambari catatan kecilku saat bosan dengan kuliah. Menggurat beberapa kata dan memandangi bentuk dan kerapian tulisan tangan. Mengirim kumpulan puisi (jika memang pantas dikatakan begitu) tulisan tangan untuk Najma, kekasihku. Sudah lama, ternyata.
*
Selesai salat zuhur, aku melihat Andi berjalan sendirian. Menyeret langkahnya di bawah cengkeraman panas matahari.
Tadi ia mengirim sms: "Aku mau menjemput Vara." Aku balas: "Hah, siapa Vara?" "Itu nama calon pulpen baruku." "Kau mau beli pulpen?" "Membeli?" "Eh, maaf, mau menjemput pulpen barumu?" "Iya. Mau ikut?" "Ah, aku sedang berada di luar, menyusun makalah. Besok presentasi. Titip kopi ya." "Oh baiklah."