Mohon tunggu...
Hifdzi Ulil Azmi
Hifdzi Ulil Azmi Mohon Tunggu... PNS -

seorang Apoteker muslim, penulis lepas di surat kabar, bekerja untuk negeri. Tim Penyusun Laporan Kinerja dan Renstra Instansi Pemerintah. more info at hifdziua.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analogi: Ilmu, Kawat, dan Stop Kontak

15 Agustus 2013   09:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada dua anak kecil berusia  4 tahun. Keduanya diminta untuk memasukkan seutas kawat ke dalam stop kontak. Anak pertama mau-mau saja memasukkan kawat itu ke dalamnya. Namun segera oleh tentornya langsung dicegah. Adapun anak kedua tidak mau memasukkan kawat tersebut ke dalam stop kontak.

Kejadian di atas mungkin pernah kita jumpai. Bagi yang sudah memiliki anak kecil, anda tentu tahu bahwa rasa keingintahuannya begitu besar. Begitu melihat ada lubang stop kontak yang menurut mereka aneh, unik, atau apalah, sontak ia menjadi usil hingga rasanya ingin memasukkan sesuatu ke dalamnya.

Kedua anak tersebut memang sama-sama berusia 4 tahun, namun pola pikirnya sudah berbeda. Anak pertama mau-mau saja memasukkan kawat ke dalam stop kontak yang bisa menyebabkan ia tersetrum. Anak kedua menolak mentah-mentah melakukan hal itu. Mengapa? Karena ia sudah pernah melakukan hal tersebut secara tidak sengaja. Ia pernah merasakan pahitnya tersetrum walau hanya sesaat. Maka spontan anak kedua ini enggan jika diminta melakukannya lagi.

Ada hikmah yang bisa diambil dari fenomena unik tersebut. Pertama, Ilmu tidak hanya bisa didapat melalui materi di kelas. Ilmu di dunia ini begitu luas, terlalu banyak ilmu-ilmu lain yang tidak diajarkan di dalam kelas dari tingkat TK hingga bangku perguruan tinggi namun banyak didapat dari pengalaman. Maka jangan heran tidak sedikit orang yang ber-IQ tinggi namun karena jarang turun ke lapangan, ilmunya seolah menjadi tidak dihargai. Ilmunya laksana poHon yang tak kunjung berbuah. Ilmunya hanya untuk dirinya sendiri hingga tak bisa dijadikan sebuah amalan kebaikan.

Kedua, Ilmu itu mahal, bahkan bisa menjadi tak terbeli oleh uang sebanyak apapun. Mengapa demikian? Jika kita yang sudah dewasa misalnya disuruh untuk memasukkan kawat yang basah ke dalam stop kontak, tanpa menggunakan alas kaki yang terbuat dari karet sebagai peredam tegangan, apa yang akan kita lakukan?? Mau?? Tentu tidak! Mau dikasih uang pun juga kita takkan mau karena bahaya yang akan ditanggung. Tapi kalau orang dewasa yang tak berilmu, seperti orang dari pedalaman yang tak mengenal listrik misalnya, ia akan mau-mau saja memasukkan kawat basah ke dalam stop kontak dengan imbalan sekian milyar. Inilah orang tak berilmu, salah-salah nyawanya bisa melayang kendati mendapatkan uang banyak.

Begitulah ilmu. Melalui contoh kecil di atas semoga kita tersadar bahwa ilmu itu begitu penting. Ia bisa didapat melalui pengalaman dengan nilai yang sangat mahal. Ia seperti pelita yang menerangi hidup kita agar pijakan kaki kita di dunia ini tidak salah dalam melangkah. Ia ibarat mesin pengontrol diri kita agar tidak terjerembab ke dalam jurang yang nista dan menyia-nyiakan. Ia laksana angin yang mampu membawa serbuk sari jatuh di atas kepala putik hingga menghasilkan bunga yang indah dan buah yang ranum hingga dapat dinikmati oleh makhluk hidup di sekitarnya. Semoga kita bisa menghargai ilmu dan senantiasa semangat untuk mencari ilmu, kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi bagaimanapun.

Hifdzi Ulil Azmi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun