Kedatanganku disambut oleh hiruk-pikuk panitia yang sedang mengatur barisan peserta Aksi untuk Bumi. Udara di pagi itu cukup lembab lantaran hujan yang mengguyur di malam sebelumnya. Hal pertama yang saya lakukan adalah merapatkan jaket dan masuk dalam barisan yang tengah diatur oleh panitia. Benar, kegiatan yang sedang saya ikuti adalah Aksi untuk Bumi. Kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan dengan menanam pohon di lahan-lahan yang kritis.
Aksi untuk Bumi ini diusahakan digelar setiap bulannya oleh Donor Oksigen, organisasi penggiat lingkungan. Kegiatan yang dibuka untuk umum dan bekerjasama dengan aktivis lingkungan setempat. Menargetkan lahan kritis di sekitar Sukabumi dan Cianjur untuk kembali ditanami pohon-pohon rindang. Setelah beberapa kali melakukan wawancara dengan ketuanya, saya diajak untuk terjun langsung dalam program kegiatan Donor Oksigen.
Valentine untuk Bumi
Bertepatan dengan hari kasih sayang, saya memilih turut serta menyalurkan kasih sayang untuk lingkungan. Maraknya isu lingkungan yang terjadi belakangan ini, membuat saya berpikir untuk lebih memperhatikan lingkungan. Pemanasan global, pencemaran udara, kerusakan hutan dan masih banyak isu lingkungan lainnya.Â
Penting untuk kita turut berupaya dan berperan dalam menjaga lingkungan agar tetap lestari. Maka dari itu, kegiatan ini tepat untuk memulai dalam rangka pelestarian lingkungan.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi kala itu, panitia membagikan sarapan berupa roti untuk setiap peserta. Peserta yang sudah mendapat roti dipersilahkan untuk langsung naik ke dalam angkutan kota yang sudah disewa. Begitupun dengan saya yang setelah mendapat roti, langsung menaiki angkutan kota di baris ketiga dan duduk dekat dengan pintu.Â
Setelah duduk dengan nyaman, saya berkenalan dengan salah satu peserta di angkutan kota yang sama. Ternyata peserta tersebut adalah seorang mahasiswa di salah satu politeknik di Sukabumi.
Sembari menunggu semua peserta menaiki angkutan kota, saya mengobrol dengan mahasiswa tersebut yang bernama Hafsah. Seperti saya, Hafsah juga tergerak untuk mengikuti kegiatan ini karena keprihatinannya melihat kondisi bumi yang kian memburuk.Â
Hafsah diajak oleh temannya yang kebetulan adalah anggota dari Donor Oksigen. Angkutan kota yang saya naiki pun mulai melaju di tengah perbincangan seru saya dengan Hafsah. Tanda bahwa seluruh peserta yang mengikuti Aksi untuk Bumi sudah berada di angkutan kota yang disediakan panitia.
Sepanjang perjalanan saya bertukar cerita dengan Hafsah seputar kegiatan kuliah dan tentu juga mengenai lingkungan. Fokus saya memang pada Hafsah, tetapi tidak dipungkiri mata ini tetap melihat setiap objek yang dilewati. Karena tujuan kami adalah lahan kritis yang berada jauh dari pusat Kota Sukabumi, jalan yang dilalui juga tidak mulus beraspal seperti jalanan kota. Pohon-pohon lebih banyak ditemui dan udara pun terasa lebih sejuk meskipun mentari mulai menampakkan sinarnya.
Sinar matahari yang menerobos celah dedaunan menciptakan bias cantik sinar krepuskular yang memanjakan mata. Tidak tertinggal musik ceria yang diputar oleh panitia menjadi penambah semangat. Suara derik dari jangkrik yang bersumber pada pepohonan yang ada juga turut menemani perjalanan pagi itu.Â
Tempat tujuan sudah dekat, pepohonan yang di sepanjang jalan terlihat tinggi menjulang mulai berkurang. Panitia di masing-masing angkutan kota mulai memberi arahan-arahan agar kami tidak kebingungan.Â
Mulai dari acara doa bersama sebagai pembuka hingga acara penutup dijelaskan secara runtut oleh panitia. Kami pun mendengarkan dengan seksama agar tidak hilang arah ketika sudah sampai di tempat.Â
Angkutan kota perlahan memperlambat lajunya pada lapangan yang cukup luas. Satu per satu dari kami turun dan melakukan peregangan untuk melemaskan otot yang kaku akibat perjalanan jauh.Â
Setelah menurunkan peralatan menanam, para panitia acara mengumpulkan kami dan memberitahu bahwa angkutan kota hanya dapat mengantar sampai sini. Jalan yang sempit dan tidak rata menjadi alasan. Mengharuskan kami untuk berjalan sekitar 500 meter hingga sampai di tempat tujuan.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari delapan peserta dan memiliki panitia pendamping sebagai penanggung jawab. Hal ini untuk mempermudah koordinasi ketika di tempat tujuan, karena setiap kelompok akan dipencar ketika menanam pohon.Â
Jadi diharapkan pohon yang ditanam tersebar secara rata. Kali ini keberuntungan sedang berpihak kepada saya karena saya dan Hafsah ditempatkan di satu kelompok yang sama.
Kelompok yang sudah terbagi diminta untuk membuat nama yang bertemakan tumbuhan. Klorofil, kelompok saya sepakat memakai nama familiar tersebut. Kini setiap kelompok sudah memiliki nama, selanjutnya ketua pelaksana memimpin kami untuk berdoa sesuai keyakinan masing-masing.Â
Kami menundukkan kepala sembari menangkupkan tangan, berharap agar seluruh kegiatan berjalan lancar dan sukses. Doa selesai dipanjatkan dan setiap kelompok mulai berjalan beriringan menuju tempat tujuan.
Aksi untuk Bumi
Pukul sepuluh pagi akhirnya kami tiba di lahan kritis yang menjadi tujuan. Kami rehat sebentar sekedar meluruskan kaki yang sudah bekerja keras membawa kami sampai ke tempat tujuan.Â
Sembari mengatur nafas, mata saya bergerak melihat ke sekeliling yang memang sudah jarang pohon tertanam. Sedikit tidak percaya akan kebenaran bahwa dulunya lahan ini rimbun ditumbuhi pohon. Miris rasanya mengetahui fakta akan lahan yang dulunya menjadi tempat tinggal berbagai flora mengalami kerusakan akibat keserakahan manusia.
Sepuluh menit terlewati untuk beristirahat, panitia penanggung jawab kelompok sedang dikumpulkan oleh ketua pelaksana untuk briefing. Selesai briefing, satu persatu panitia penanggung jawab membawa peralatan menanam ke kelompoknya masing-masing.Â
Kak Sarah selaku panitia penanggung jawab Kelompok Klorofil berjalan mendekat dengan sejumlah peralatan menanam dan bibit pohon mangga. Dengan sigap kami membantu Kak Sarah yang terlihat kerepotan sebab membawa delapan pasang peralatan menanam.
Kini setiap peserta memegang satu sekop untuk menggali tanah dan dua bibit pohon. Kemudian setiap penanggung jawab membawa anggota kelompoknya menuju tempat-tempat yang sudah ditentukan pada briefing sebelumnya.Â
Kelompok Klorofil dibawa Kak Sarah dekat dengan sungai yang terletak cukup pinggir dari tempat tadi kami berkumpul. Kak Sarah mengarahkan kami untuk memilih tanah yang tidak basah. Setelahnya kami diminta untuk menggali tanah menggunakan sekop setinggi polybag dari bibit pohon mangga yang kami miliki.
Sekop mulai digunakan untuk menggali tanah yang akan menjadi rumah baru bagi bibit-bibit pohon yang kami tanam. Sekiranya lubang galian kami sudah setinggi polybag, segera kami masukan dengan posisi yang tegak lurus dan kami kubur kembali dengan tanah.Â
Kami ulangi hal yang serupa untuk bibit pohon kedua. Kak Sarah memberitahu agar setiap satu bibit pohon ditanam dengan jarak minimal tiga meter dari bibit pohon lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga agar akar pohon tidak saling bertabrakan ketika tumbuh.
Terik matahari semakin terasa menembus kulit sehingga peluh mulai terlihat di pelipis setiap peserta. Lengan atas dipilih untuk menyeka peluh yang mengalir sebab telapak tangan sibuk menggali tanah untuk bibit-bibit berharga.Â
Keseriusan terpancar dari mata setiap peserta yang ada. Pancaran mata yang berharap agar bibit yang ditanam dapat memberi manfaat di masa mendatang. Mengingat adanya hubungan saling ketergantungan antar komponen lingkungan.
Kak Sarah menyampaikan bahwa semua dinamika komponen pendukung lingkungan akan berpengaruh pada lingkungan, termasuk hasil perbuatan manusia. Jika kita ingin memperoleh lingkungan yang berkualitas baik, maka kita juga harus memperlakukan lingkungan dengan baik. Dengan begitu keseimbangan ekosistem pun dapat terjaga sehingga flora dan fauna yang sejatinya memang tinggal di hutan dapat kembali lestari.
Tepat ketika matahari berada di atas kepala, bibit-bibit sudah tertanam secara keseluruhan. Peserta diberi waktu untuk beristirahat sebelum melanjutkan ke acara selanjutnya. Pada jam istirahat, panitia membagikan makan siang berupa nasi kotak dengan lauk yang didominasi oleh makanan nabati. Tentu disediakan sendok dan sedikit air untuk membilas telapak tangan yang sudah bekerja keras menggali tanah untuk pohon. Ketua pelaksana kembali memimpin doa sebelum memulai makan siang.
Siang itu saya merasa makanan yang masuk ke dalam mulut terasa lebih nikmat. Perkedel kentang yang empuk dipadukan dengan tahu dan tempe tepung guna menambah tekstur renyah dari makanan.Â
Sayur bayam pun tersaji agar serat yang dibutuhkan tubuh terpenuhi. Makanan sederhana yang terasa spesial berkat dimakan bersama orang-orang dengan tujuan yang sama. Juga ditemani bibit-bibit pohon yang saya perhatikan ternyata berbeda setiap kelompoknya.
Selepas makan siang, ketua pelaksana menyampaikan bahwa setiap peserta yang hadir boleh mengecek kesehatannya di posko yang sudah disediakan. "Posko Pelayanan Kesehatan" itulah kalimat yang tertera pada sebuah kain yang berkibar.
 Ternyata selain memfasilitasi untuk menggiatkan pelestarian lingkungan, Donor Oksigen juga menyediakan cek tensi dan gula darah gratis untuk pesertanya. Segera orang dengan usia yang sudah matang mengantre untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
Pukul dua siang panitia mulai berbenah dan mengumpulkan kami sesuai kelompok. Semua sudah terlihat rapi, bahkan tidak menyisakan sampah satupun. Trash bag sengaja disiapkan oleh panitia agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Aksi untuk Bumi pun sampai di penghujung acara. Kembali doa dilantunkan sebagai ungkapan rasa syukur atas kelancaran kegiatan yang digelar.
Perjalanan pulang terasa lebih hening dibanding ketika berangkat pagi tadi. Musik yang dipilih oleh panitia untuk diputar pun memiliki melodi yang lebih santai dan tenang. Alam juga sepertinya mendukung karena di kala siang menuju sore itu rintik hujan turun. Tidak deras, melainkan hujan kecil serupa gerimis yang menyejukkan.
Pikiranku pun terbawa pada bibit yang kami tanam sebelumnya. Berharap agar air hujan membasahi bibit tersebut guna memberi pasokan air untuk berfotosintesis. Agar nantinya akar dari pohon tersebut dapat menahan tanah yang terkikis agar tidak masuk ke aliran sungai yang akan menimbulkan endapan. Kemampuan inilah yang dapat mencegah terjadinya kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Sejatinya konservasi lingkungan itu adalah dari kita, oleh kita, untuk kita. Ketika kita peduli pada lingkungan dengan kita menanam pohon, artinya kita sedang mencegah krisis lingkungan datang kepada kita. Menjaga lingkungan hidup adalah tanggung jawab kita bersama sebagai umat manusia. Sudah sepatutnya kita turut melestarikan hutan demi keberlangsungan hidup di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya