Mohon tunggu...
No Name
No Name Mohon Tunggu... -

Rakyat jelata, berdoa dalam diam, gembira memikul semuanya ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tiga Hari Sebelum 17/8/2011

17 Agustus 2011   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:42 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu minggu menjelang 17 Agustus 2011, sepanjang lorong depan rumahku berkibaran merah putih ditimpali umbul2 aneka warna. Aku dan warga kampung menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (kalau tidak keliru yang ke 66. Ya, di spanduk2 tertulis HUT RI yang ke 66). Dua puluh rumah dari rumahku, di atas dipan dalam rumah berdinding papan berbaring sesosok perempuan lemah. Seorang istri dari lelaki yang bekerja sebagai buruh serabutan. Wajahnya pucat, nafasnya sesak, tangan2 kurusnya gemetar ketika aku datang datang dan menyalaminya. Tidak ada senyum di wajahnya. 'Sudah 2 hari ini ia tidak bisa makan,  muntah selalu bila mencoba makan' demikian suaminya berkata kepadaku. Oo, pantaslah ia tersenyum saja sdh tidak mampu. 'Bapak, istri bapak harus dibawa ke dokter' kataku kepada sang suami. 'Ya bu, ini juga baru 7 haripulang dari rumah sakit' kata sang suami. Kemudian si suami menceritakan bahwa 7 hari sebelum hari itu ia terpaksa pulang atas permintaannya sendiri dari sebuah rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya 'cuci darah' Ya, istrinya harus menjalani 'cuci darah'. demikian kata dokter yang merawatnya. Takut biaya yang berjuta2, ia memaksa pulang. 7 hari setelah pulang dar rumah sakit adalah hari itu, tujuh hari menjelang 17 Agustus 2011. Aku mengantar suami dan istrinya yang sakit ke sebuah klinik di kecamatan. Dokter di klinik tersebut melakukan wawancara dan pemeriksaan terhadap ibu tersebut. 'Ibu menderita renal failure dan memang harus cuci darah' demikian simpul dokter kecamatan tersebut. 'Kami tidak ada biaya dok.  Adakah cara lain untuk mengobati istri saya dok' memelas suara sang suami. 'Hm, saya rasa itu cara terbaik. Saya belum tahu adakah cara lain' ' Bapak bisa menggunakan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Cobalah meminta Surat Keterangan Tidak Mampu dari kepala kampung, dan seterusnya akan ada rujukan dari Puskesmas ke Rumah Sakit Kabupaten atau Propinsi' lanjut dokter tersebut menjelaskan. ' Apa bisa begitu dok?' secercah cahaya muncul di wajah suami tersbut. 'Ya, dicoba mengurusnya pak. Sementara biar istri bapak di rawat semampunya di sini sambil menunggu bpk  cepat2 mengurusnya ya' Begitulah, siang itu aku menunggi istri malang tersebut di klinik. Sore itu sang suami kembali bersama dengan beberapa sepupunya. ' Kenapa di rawat di klinik kecil seperti ini. Memang bisa mengobati cuci darah?' 'Kami2 mau membiayainya. Ayo dibawa  ke Rumah Sakit di Kabupaten. Jangan di klinik kecil beginian' lanjut sepupunya yang lain. Dokter klinik tersebut berkerut merut keningnya. merasa tidak senang kliniknya diremehkan. 'ok pak, bila memang sudah tidak masalah dgn biaya, memang sebaiknya secepat mungkin di bawa ke RS agar bisa cuci darah' kata  dokter tersebut mencoba sabar. Ahkirnya diboyonglah perempuan yang sakit tersebut dengan mobil salah seoarng sepupunya. Saya bersyukur, banyak orang peduli... Namun, Hari itu 3 hari menjelang 17 - 8 - 2011, tersiar kabar;  berita duka dari 20 rumah dari rumahku. Perempuan itu telah meninggal. 'Oh, bukankah ia dirawat di RS di kota?' tanyaku. Ya, tetapi saat sampai di RS Kabupaten ternyata RS Kabupaten tidak mempunyai peralatan cuci darah dan harus dikirim ke ibukota propinsi. Para saudaranya tidak sanggup bila pengobatannya sampai ke sana. Akhirnya dibawa pulang kembali ke kampung. 'Oh, kenapa tidak pakai Jamkesda? Kenapa tidak ada solusi lain' berbicara aku dalam batinku. Hari itu, dikubur perempuan yang meninggal. Hari ini, dalam angin musim kemarau yang meniupkan debu yang tebal, aku memandangi kibaran Merah Putih dengan galau. nb: - Didasari oleh kisah nyata, 3 hari menjelang HUTRI di salah satu sudut kampung di pinggir hutan Sumatra. - Tolong dong kompasianer yang dokter ulas Jamkesda, katanya cuci darah gratis, katanya bayar 50%. - Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun