Mohon tunggu...
Michel Irarya
Michel Irarya Mohon Tunggu... Lainnya - IT

Cumi ingin nulis, itu saja!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Adalah Mahluk Sosial, Bukan Mahluk Sosial Media

14 Juli 2016   09:51 Diperbarui: 30 Juli 2016   09:35 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, saya menemukan sebuah video di Youtube berjudul 'Smartphone Addiction: The Epidemic Grows'. Video yang dibuat oleh pria asal Amerika bernama Dave Cullen ini membahas soal bagaimana candunya Manusia saat ini kepada smartphone. Sejauh ini saya masih sulit menemukan orang Indonesia yang membahas topik yang sama di youtube atau blog. 

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita sepakat bahwa smartphone memiliki korelasi yang sangat kuat dengan social media. Saya justru menganggap smartphone adalah social media itu sendiri.

Ditengah pesatnya pertumbuhan pasar smartphone dunia, sulit menemukan orang-orang yang sadar akan efek buruk smartphone, yang bisa jauh lebih buruk dalam hubungannya dengan social media. Kalaupun ada, mereka tidak benar-benar sadar untuk mau merubah perliku mereka. Beruntung saya bertemu Jack ini walaupun secara virtual, dari negara berbeda pula. Setidaknya saya merasa tidak sendiri.

Beberapa bulan terakhir, memang saya mulai tidak nyaman dengan smartphone. Menyaksikan orang-orang disekitar lebih terpaku pada smartphone dari pada lingkungan sekitarnya atau orang dihadapannya. Saya gelisah ketika teman-teman saya tidak pernah benar-benar ada disana ketika kami berkumpul, dunia mereka adalah smartphone dengan segala fitur dan aplikasi didalamnya, dunia nyata hanyalah altiernatif.

Sejujurnya. Saya sendiri adalah pengguna smartphone, bukan saya membenci smartphone. Dampak positif smartphone juga tak kalah besar. Bagi saya tak ada yang bisa menggantikan komunikasi dan hiburan dalam satu perangkat yang compact selain smartphone. Saya menggunakan smartphone terbatas batas urusan komunikasi dan hiburan musik semata, selain itu jarang sekali saya menyentuh smartphone. Sedangkan urusan social? Social Media bukan dunia sosial saya. Ingat, komunikasi dan social adalah dua hal yang berbeda.

Saya masih menggunakan iPhone 3GS 16GB, mungkin saya satu dari segelintir orang di Indonesia yang masih menggunakan smartphone ini. Sebuah smartphone generasi awal dengan fitur pas-pasan. Technology iPhone 3GS sudah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan deretan smartphone terbaru saat ini. Tapi dari segi fungsi, masih bisa mengakomodasi apa yang saya butuhkan. Dan kapasitas 16GB sudah lebih dari cukup untuk koleksi musik yang saya suka.

Mengapa saya tak kungjung mengganti smartphone lebih karena saya tidak ingin menjadi zombie smartphone dan rasanya memang belum butuh smartphone baru. iPhone 3GS memang sudah tidak lagi bisa mengikuti tren aplikasi-aplikasi terbaru, keterbatasan yang justru bagus bagi saya. Saya hanya perlu apa yang saya butuhkan, bukan apa yang saya inginkan.

Semakin banyak aplikasi yang bisa kita install, semakin tinggi tingkat candu, semakin sulit bagi kita untuk lepas dari layar smartphone. Saya lebih tertarik memperhatikan sekitar, mengasah kepekaan saya, menjadi mahluk social yang sesungguhnya ketimbang terpaku terus-menerus pada layar kotak sebesar telapak tangan. Dunia lebih luas dari yang kita bayangkan.

Ketika semua aktifitas kita lakukan dengan smartphone, sesungguhnya kita sedang mempercayakan smartphone untuk mengatur hidup kita, bahkan kontrol atas tubuh kita sendiri dengan aplikasi-aplikasi yang semakin banyak kompleks. Koneksi internet memudahkan kita mendapatkan informasi kapan saja dimana saja, tak perlu berpikir lebih jauh, cukup tanyakan saja pada google dan biarkan smartphone yang berpikir untuk kita. Menggunakan internet dan smartphone secara terus menerus untuk hal-hal semestinya bisa kita kerjakan sendiri, pikirkan sendiri, sesungguhnya kita sedang melatih otak kita untuk berpikir lebih sedikit.

Tidakkah kita khawatir semakin sedikit frekuensi otak manusia digunakan, semakin lemah dan tumpul? Otak manusia jauh lebih hebat dari computer tercanggih sekalipun. Anehnya, kita justru menggunakan smartphone untuk berpikir. Saya kadang khawatir pada generasi kedepan, generasi yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup tanpa smartphone, tanpa internet.

Jika kalian anggap saya membenci technology, kalian salah mengerti. Saya adalah bagian dari pengguna technology, smartphone, dan internet itu adalah bagian pekerjaan saya sehari-hari. Sumber keuangaan untuk terus menyambung hidup. Tapi, bagi saya, menggunakan internet di laptop atau komputer sudah lebih dari cukup. Masalah datang ketika kita memiliki akses internet dalam genggaman tangan dimanapun kapanpun. Pada kadar tertentu memang positif, tapi kadar berlebihan sudah merubah smartphone dan internet menjadi zat addictif. Seperti rokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun