Beberapa hari lalu, saya menemukan sebuah video di Youtube berjudul 'Smartphone Addiction: The Epidemic Grows'. Video yang dibuat oleh pria asal Amerika bernama Dave Cullen ini membahas soal bagaimana candunya Manusia saat ini kepada smartphone. Sejauh ini saya masih sulit menemukan orang Indonesia yang membahas topik yang sama di youtube atau blog.Â
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita sepakat bahwa smartphone memiliki korelasi yang sangat kuat dengan social media. Saya justru menganggap smartphone adalah social media itu sendiri.
Ditengah pesatnya pertumbuhan pasar smartphone dunia, sulit menemukan orang-orang yang sadar akan efek buruk smartphone, yang bisa jauh lebih buruk dalam hubungannya dengan social media. Kalaupun ada, mereka tidak benar-benar sadar untuk mau merubah perliku mereka. Beruntung saya bertemu Jack ini walaupun secara virtual, dari negara berbeda pula. Setidaknya saya merasa tidak sendiri.
Beberapa bulan terakhir, memang saya mulai tidak nyaman dengan smartphone. Menyaksikan orang-orang disekitar lebih terpaku pada smartphone dari pada lingkungan sekitarnya atau orang dihadapannya. Saya gelisah ketika teman-teman saya tidak pernah benar-benar ada disana ketika kami berkumpul, dunia mereka adalah smartphone dengan segala fitur dan aplikasi didalamnya, dunia nyata hanyalah altiernatif.
Sejujurnya. Saya sendiri adalah pengguna smartphone, bukan saya membenci smartphone. Dampak positif smartphone juga tak kalah besar. Bagi saya tak ada yang bisa menggantikan komunikasi dan hiburan dalam satu perangkat yang compact selain smartphone. Saya menggunakan smartphone terbatas batas urusan komunikasi dan hiburan musik semata, selain itu jarang sekali saya menyentuh smartphone. Sedangkan urusan social? Social Media bukan dunia sosial saya. Ingat, komunikasi dan social adalah dua hal yang berbeda.
Saya masih menggunakan iPhone 3GS 16GB, mungkin saya satu dari segelintir orang di Indonesia yang masih menggunakan smartphone ini. Sebuah smartphone generasi awal dengan fitur pas-pasan. Technology iPhone 3GS sudah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan deretan smartphone terbaru saat ini. Tapi dari segi fungsi, masih bisa mengakomodasi apa yang saya butuhkan. Dan kapasitas 16GB sudah lebih dari cukup untuk koleksi musik yang saya suka.
Mengapa saya tak kungjung mengganti smartphone lebih karena saya tidak ingin menjadi zombie smartphone dan rasanya memang belum butuh smartphone baru. iPhone 3GS memang sudah tidak lagi bisa mengikuti tren aplikasi-aplikasi terbaru, keterbatasan yang justru bagus bagi saya. Saya hanya perlu apa yang saya butuhkan, bukan apa yang saya inginkan.
Semakin banyak aplikasi yang bisa kita install, semakin tinggi tingkat candu, semakin sulit bagi kita untuk lepas dari layar smartphone. Saya lebih tertarik memperhatikan sekitar, mengasah kepekaan saya, menjadi mahluk social yang sesungguhnya ketimbang terpaku terus-menerus pada layar kotak sebesar telapak tangan. Dunia lebih luas dari yang kita bayangkan.
Ketika semua aktifitas kita lakukan dengan smartphone, sesungguhnya kita sedang mempercayakan smartphone untuk mengatur hidup kita, bahkan kontrol atas tubuh kita sendiri dengan aplikasi-aplikasi yang semakin banyak kompleks. Koneksi internet memudahkan kita mendapatkan informasi kapan saja dimana saja, tak perlu berpikir lebih jauh, cukup tanyakan saja pada google dan biarkan smartphone yang berpikir untuk kita. Menggunakan internet dan smartphone secara terus menerus untuk hal-hal semestinya bisa kita kerjakan sendiri, pikirkan sendiri, sesungguhnya kita sedang melatih otak kita untuk berpikir lebih sedikit.
Tidakkah kita khawatir semakin sedikit frekuensi otak manusia digunakan, semakin lemah dan tumpul? Otak manusia jauh lebih hebat dari computer tercanggih sekalipun. Anehnya, kita justru menggunakan smartphone untuk berpikir. Saya kadang khawatir pada generasi kedepan, generasi yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup tanpa smartphone, tanpa internet.
Jika kalian anggap saya membenci technology, kalian salah mengerti. Saya adalah bagian dari pengguna technology, smartphone, dan internet itu adalah bagian pekerjaan saya sehari-hari. Sumber keuangaan untuk terus menyambung hidup. Tapi, bagi saya, menggunakan internet di laptop atau komputer sudah lebih dari cukup. Masalah datang ketika kita memiliki akses internet dalam genggaman tangan dimanapun kapanpun. Pada kadar tertentu memang positif, tapi kadar berlebihan sudah merubah smartphone dan internet menjadi zat addictif. Seperti rokok.
Bukan pula saya bermaksud mengatakan technolgy semacam smartphone dan internet adalah buruk, toh saya juga masih menggunakan keduanya. Tidak etis pula menghujat sumber yang menjamin dapur saya terus mengepul. Yang saya ingin sampaikan adalah smartphone dan internet dan technology semacamnya sudah digunakan secara berlebihan. Kita tidak lagi bisa mengontrol mereka, justru kita memberikan kontrol sepenuhnya kepada mereka. Banyak orang yang masih belum sadar akan hal ini, dan ini bahaya!
Kembali ke Video yang saya sebutkan diawal, Dave akhirnya memutuskan berhenti menggunakan smartphone dan kembali lagi menggunakan handphone non-smartphone Nokia 113. Anehnya, dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai video editor dan youtuber, Dave membuat video-video review tentang smartphone dan laptop.
Sejatinya Saya dan Dave punya kesamaan, sama-sama bekerja di bidang technology. kesamaan lain, saya rasa adalah kami tidak membenci technology, justru kami mengerti sekali tentang technology dan pengaruhnya kepada kehidupan manusia. Kami sadar betul, dimana batasan-batasan technology untuk kehidupan manusia seharusnya, dalam hal ini smartphone. Karena itu kami tidak ingin menjadi hamba smartphone, kami adalah mahluk sosial yang sesungguhnya, bukan zombie social media.
Technology adalah kebutuhan dalam mempermudah pekerjaan manusia. Orang menciptakan mobil untuk bepergian jarak jauh, membuat alat berat untuk membantu manusia dalam pekerjaan berat, atau bahkan merakiit televisi untuk hiburan. Tapi saya tidak sependapat techonology harus diciptakan untuk menggantikan hubungan social manusia. Jika sudah demikian, apa yang tersisa untuk manusia sebagai mahluk sosial. Kita sudah kehilangan hal yang sangat mendasar yang menjadikan kita mahluk yang sudah bertahan ribuan tahun lamanya dengan hidup berkoloni, bersosial.Â
Sekali lagi, manusia adalah mahluk sosial bukan mahluk sosial media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H