Hukum di Negeri ini seperti selalu ada celah untuk diputar-balikan, hanya dengan sedikit bumbu logika murahan ditambah kata-kata manis maka hukum bisa berubah dalam satu kedipan mata. Seperti apa yang terjadi beberapa waktu lalu dimana Pengadilan Negeri Palembang menolak seluruh gugatan senilai Rp 7,9 Triliun oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait kelalaian PT. BMH yang menyebabkan kebakaran hutan dan bencana kabut asap. Jauh sebelum sidang terjadi, dengan seluruh bukti yang dimiliki KLHK sangat optimis gugatannya akan dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Palembang. Namun semua hancur dalam satu kedipan mata.
Nilai Rp 7,9 Triliun adalah jumlah total dari Kerugian lingkungan hidup senilai Rp 2,69 Triliun dan Biaya Pemulihan Senilai Rp 5,29 Triliun. Pendapat saya, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan secara massive tersebut tak tergantikan oleh nilai Mata Uang. Proses pembentukan hutan adalah proses alami yang memakan waktu ratusan hingga ribuan tahun. Tapi terlepas dari hal itu, langkah KLHK mengguggat PT. BMH adalah sebuah tindakan berani yang patut untuk diapresiasi dan didukung.
Sayangnya hal tersebut tidak didukung oleh Aparat Penegak Hukum. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang pada tanggal 30 Desember 2015 lalu, menyatakan gugatan KLHK ditolak seluruhnya karena bukti-bukti yang diajukan tidak kuat. Salah satu pertimbangan hakim dalam menolak gugaran KLHK adalah, kebakaran hutan tidak merusak lingkungan karena masih bisa ditanami kembali, juga karena tanaman akasia milik perusahaan ikut terbakar sehingga perusahaan juga mengalamai kerugian. Antara lucu, kesal, dan sedih ketika membaca pernyataan kelewat pintar dari Yang Mulia Hakim.
Jika Majelis Hakim Yang Terhormat kurang kompeten untuk menilai dari sisi dampak ekologis, harusnya bukan kerugian perusahaan yang kemudian jadi bahan pertimbangan, tapi ratusan ribu rakyat yang jadi korban dari dampak yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut. KLHK menilai PT. BMH kurang tanggap dan minim peralatan dan tenaga untuk upaya pemadaman api sehingga mengakibatkan area kebakaran semakin meluas dan berkepanjangan. Pertimbangan tersebut yang kemudian menjadi dasar dari KLHK untuk menuntu PT. BMH, apalagi PT. BMH juga pernah lalai pada kejadian yang sama pada tahun 2014 yang meliputi total wilayah seluas 20.000 Ha.
Disini mulai terasa kejanggalan pada putusan yang dibacakan oleh Parlas Nababan, Hakim Ketua Pengadilan Negeri Palembang. Bagaimana mungkin Majelis Hakim bisa memenangkan Perusahaan yang jelas-jelas lalai yang mengakibatkan banyak korban baik masyarakat maupun ekologi juga kerugian materil Negara? Jelas sekali Pengadilan Negeri Palembang tidak berada pada pihak ratusan ribu rakyat yang menjadi korban kabut asap. Sulit untuk tidak berspekulasi adanya “Main Mata” antara Hakim dengan pihak Perusahaan.
Merespon kejanggalan tersebut, KLHK bergerak cepat dengan mengajukan Banding. Tindakan ini lagi-lagi sebuah langkah tepat pemerintah yang pantang menyerah dalam membela rakyatnya. Sebagai masyarakat, saya sangat berharap kali ini hukum berpihak pada rakyat, jangan korporat lagi. Kita tunggu saja!
NB:
Pertanyaan saya, dimana Yang Mulia Hakim Parlas Nababan saat bencana kabut asap, apakah Beliau tidak ikut merasakan sesaknya nafas akibat kabut asap? Aneh.
Salam,
Michel Irarya