Mohon tunggu...
Hidsal Jamil
Hidsal Jamil Mohon Tunggu... -

Hidsal Jamil, lahir di Karebbe, sebuah dusun kecil di Desa Laskap yang berada sekitar 10 km dari ibukota Kabupaten Luwu Timur (Malili) pada 9 Mei 1995. Pria yang sempat menjadi Alumni Terbaik di SMAnya ini adalah putra dari pasangan Jamil H Jafar dan Hamna Muhammad, anak ke-2 dari dua bersaudara. Kini sedang menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Ekonomi, Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis– Universitas Brawijaya, 2013. Meski sebelumnya sempat 3 kali tak diterima oleh salah satu perguruan tinggi negeri ternama di ibukota Provinsi Sulawesi Selatan itu. Kini aktif mempublikasikan tulisan di media kampus dan media massa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasca APEC 2013: Indonesia Menuju Eksploitasi Ekonomi

16 Oktober 2013   23:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:27 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC yang berlangsung 1-8 Oktober 2013 seperti yang diberitakan, banyak menuai pujian dari beberapa pemimpin negara mulai dari Presiden Rusia, Vladimir Putin hingga Presiden Filipina, Beniqno Aquino. Dalam konferensi yang menghadirkan 21 pemimpin negara dan 1200 CEO dunia yang menjadi tamu penting , menghasilkan 7 butir kesepakatan beberapa diantaranya yaitu melakukan percepatan terhadap Bogor Goals dan konektivitas antarnegara serta mendesak anggota APEC utamanya Indonesia sebagai tuan rumah konfernsi yang bertemakan “Resilient Asia Pacific-Engine of Global Growth” untuk membuka keran perdagangan bebas sebesar-besarnya.

Kontroversi yang hadir beragam , salah satunya anggaran pelaksanaan KTT APEC ini menyentuh angka Rp 350 milliar . Angka yang fantastis bisa dikategorikan dalam pemborosan melihat tren kemiskinan yang masih terbilang cukup besar. Di lain hal , Bali sebagai lokasi tempat terlaksananya kegiatan tersebut memberi kesan pesta internasional , bukan pesta politik yang menghadirkan solusi pemecahan permasalahan ekonomi Indonesia. Bahkan dalam KTT APEC tersebut , belum ada paparan secara mendalam dan riil mengenai keuntungan secara spesifik untuk Indonesia , hanya sekedar hasil uraian normatif dan general yang menyajikan retorika untuk menyambut peristiwa yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin negara Asia Pasifik tersebut.

Indonesia terbilang ekstrim bahkan terlalu percaya diri untuk terbawa arus dimana tidak lain pemain-pemain utama seperti Amerika Serikat dan China memperkuat posisinya dalam persaingan perdagangan bebas. Sebagaimana di ketahui, Kawasan Asia Pasifik, potensi pasar yang besar karena populasinya mencapai 40% dari populasi dunia dan menguasai sebesar 55% GDP di dunia terutama Indonesia yang berpenduduk sekitar 250 juta juga 44% aktivitas perdagangan dunia berasal dari negara-negara APEC. Oleh karena itu, tindak lanjut hasil Bogor Goals didengungkan oleh kedua negara dalam KTT APEC tersebut akan menjadi bermakna bagi pengaruh ekonomi Amerika Serikat dan Cina.

Bogor Goals sendiri telah menetapkan penurunan hambatan tarif untuk dicapai negara maju di tahun 2010 dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Tingkat taruf yang semulai 16% menjadi 5% saat ini menjadi sangat jelas bahwa Indonesia secara tidak langsung harus terjebak dalam liberalisasi perdagangan dengan harus tunduk terhadap kesepakatan yang ditetapkan.

Dampak positif dari hasil KTT APEC tersebut tidak terlalu signifikan bahkan cenderung merugikan Indonesia dikarenakan sejak 2012 Neraca Perdagangan Indonesia mengalami defisit hingga Januari-Juli 2013 yang tidak lain defisitnya banyak didominasi sektor non-migas. Dengan defisit tersebut, Indonesia kerap kali mengalami perlambatan ekonomi . Data BPS Agustus 2013 menunjukan bahwa terjadi penurunan nilai ekspor sebesar 12,77% di bulan Agustus 2013 dari nilai Juli 2013, yakni dari US$ 15,08 Miliar per Juli menjadi hanya sekitar US$ 13,16 Miliar per Agustus. Bahkan, Asian Development Bank (ADB) telah mengkoreksi pertumbuhan GDP Indonesia di tahun 2013 yang sebelumnya sebesar 6,4% menjadi 5,7%. Hal ini akan semakin menurunkan daya saing Indonesia di tengah-tengah desakan pembukaan pasar bebas di kawasan Asia Pasifik, lebih parahnya lagi ketika Indonesia terperangah dalam liberalisasi perdagangan ketika Pasar Internasional menjadi liarmaka akan mencederai semangat rakyat Indonesia yang tengah bangkit membangun ekonomi alternatif yang berasas solidaritas melalui UMKM dan Koperasi yag belum mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah. Inkonsistensi pemerintah tersebut terlihat ketika pemerintah lebih ramah terhadap kepada asing dengan penandatanganan perjanjian tersebut ketimbang pelaku usaha mikro utamnya koperasi. Salah satu yang menjadi kecemasan koperasi adalah kecenderungan penurunan tarif bea masuk. Hal tersebut dapat mendesak produk-produk domestik termasuk koperasi untuk secara terbuka bersaing dengan korporasi multinasional. Jumlah koperasi yang tak lebih dari 193.000 badan usaha bisa merosot, bahkan tutup, lantaran tak mampu bersaing langsung dengan megakorporasi asing. Salah satu indikatornya, selama ini tidak ada satu pun koperasi yang bisa menjadi pelaku ekspor. Kalaupun ada sektor ekonomi kerakyatan yang bisa melakukan kegiatan ekspor, seperti contoh pertanian, itu bukanlah berbadan hukum koperasi, melainkan swasta.

Begitu pula dengan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Meski ekonomi kreatif mampu mengembangkan bisnis sampai ekspor, itu pun belum cukup menunjukkan kemajuan koperasi. Di industri kreatif tidak didorong kolektivisme. Jadi walaupun ekonomi kerakyatan dan bisa mengekspor, tidak ada semangat koperasi. Pemerintah juga mengarahkan industri kreatif menjadi sektor yang individualistis. Sekali lagi, sebenarnya belum ada hasil riil yang di tuai Indonesia dari KTT APEC yang di tunjukkan dengan tidak satupun tergiring tentang Koperasi yang notabene merupakan arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Tidak ada alasan konstitusional untuk menggiringnya ke arah liberalisasi ekonomi , jika terjadi liberalisasi berupa negatif investasi yang dikeluarkan pemerintah justru berpotensi sepenuhnya dikuasai oleh pihak asing yang pada saat ini saja 72 persen diantaranya telah dikuasai oleh pihak asing selebihnya di kuasai dalam negeri, itu pun hanya terbatas di sektor museum , pos dan telekomunikasi. Karena liberalisasi tersebut akan menciptakan ketimpangan, dan kita hanya akan menjadi pecundang. Tak akan bermanfaat bagi Indonesia, jika bangsa ini tidak mempunyai daya tahan yang kuat dalam persaingan dunia global, khususnya dalam liberaliasi ekonomi dan investasi.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun