"Kasus Pengeroyokan Ade Armando; Sebuah Fenomena Anomie Akibat Tujuan Hukum Yang Tidak Tercapai Bagi Masyarakat"
oleh: Hidayatullah*
Dalam persfektif hukum pidana "Main hakim sendiri" merupakan perbuatan pidana, maka tentu para pelaku tetap harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Oleh karena pelaku lebih dari satu maka untuk memperhitungkan secara proposional tentang sanksi yang akan dijatuhkan maka diperlukan ajaran tentang penyertaan.
Hanya saja dikasus Ade Armando yang mendapatkan penghakiman massa diakhir aksi 114 BEM SI di depan gedung DPR RI dilihat dari aspek persfektif sosiologi hukum sebagai fenomena "anomie".
Fenomena anomie dalam kasus yang menimpa ade Armando yang babak belur disertai dengan penelanjangan didepan publik disebabkan akumulasi kemarahan sosial masyarakat akibat dari penerapan fungsi hukum yang selalu kandas dikepolisian.
Diketahui cukup banyak laporan yang telah masuk di kepolisian sejak 2015 s.d 2020 terkait laporan masyarakat atas kasus-kasus tentang dugaan penghinaan ulama, penghinaan ibadah umat islam, penghinaan tentang hadis, bahkan sampai pula penghinaan terhadap eksistensi tentang Ketuhanan dimana ade pernah menulis 'Allah Bukan Orang Arab' di akun facebook miliknya.
Ade juga pernah dibulan April 2018 lalu dilaporkan di Mapolda Metro Jaya atas unggahannya di akun Facebook yang dianggap menghina agama Islam yang menyatakan "azan tidak suci".
Ade juga pernah dilaporkan ke polisi oleh LBH Bang Japar terkait unggahannya di Facebook yang diduga menista agama. Laporan ini disampaikan ke Badan Reserse Kriminal Polri pada 30/12/2017. Laporan tersebut atas unggahan Ade di akun Facebook yang dianggap menghina para ulama dan umat Islam dimana unggahan Ade telah menghina Rizieq Shihab mengenakan atribut Natal.
Kemudian pada 08/01/2018, Ade Armando juga telah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian terkait unggahannya di Facebook atas unggahannya yang mengomentari hadis Nabi. Melalui akun Facebooknya Ade menulis, "Hampir pasti isi hadis tidak persis sama dengan apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad" dan "Yang Suci itu Al Qur'an, Hadis mah kagak!".
Untuk sementara hanya itu yang saya ketahui beberapa kasus penghinaan berbau SARA yang dilakukan Ade Armando. Bukannya surut atas laporan-laporan itu, justru Ade terus melakukan sejumlah dugaan penghinaan bermuatan SARA dan sasarannya selalu mendiskreditkan kelompok umat Islam tertentu.
Mungkin saja dengan deretan laporan polisi yang dilakukan masyarakat terhadap Ade Armando sampai sejauh ini mandek terhitung sejak 2015 s.d 2019. Sehingga saya menganggap Ade Armando masuk dalam kategori deretan orang Indonesia yang dianggap kuat dan kebal hukum (walau tak kebal dari pukulan massa aksi 114). Padahal nyata-nyata Ade telah melanggar UU ITE dan delik-delik pemidanaan menyangkut SARA.
Bagi saya yang berkecimpun dibidang hukum melihat aksi penghakiman massa terhada ade adalah sebagai fenomena "anomie". Kenapa itu bisa terjadi? Disebabkan pelaksanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum khususnya kepolisian dipandang oleh masyarakat belum memenuhi tujuan hukum dan rasa keadilan dimasyarakat. Sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri.
Kenapa seperti itu? Karena berlarutnya dan terjadi pengabaian penyelesaian berbagai kasus penistaan terhadap umat dan ajaran agama Islam yang nyata-nyata sebagai pelanggaran hukum, tetapi mandek (kandas) alias tanpa ujung penyelesain.
Bahkan yang membuat publik geram bisa jadi melihat begitu hebatnya Ade Armando ini berkeliaran seolah-olah dia kebal hukum. Akhirnya sampai pada puncak pengintimidasian secara sosial oleh masyarakat yang ikut dalam aksi BEM SI 11/04/2022.
Pun saya menyadari dari persfektif hukum pidana sependek yang saya ketahui tidaklah pula dibenarkan apa yang dilakukan massa terhadap Ade Armando karena masuk kategori delik pidana dimana masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri sebagaimana Pasal 170 KUHP yang mengatur tentang; secara terang-terangan dan dengan tenaga menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang. Serta Pasal 351 penganiayaan dikualifikasi penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP penganiayaan (main hakim sendiri) secara bersama-sama (pengeroyokan/penyertaan).
Tetapi secara sosial itu adalah tamparan terberat diwajah aparat hukum kita akibat masyarakat telah kehilangan rasa kepercayaan dan tidak menemukan tujuan keadilan hukum dari institusi dan perangkat hukum yang ada.
Jadi hikmah dari semua ini adalah publik memberikan simbol untuk pembenahan sesegera mungkin pada aspek penegakkan hukum. Karena hukum kita saat ini saya katakan sedang dalam keadaan sakit berat atau berada dalam ruang "Unit Gawat Darurat" (UGD).
Demikian tanggapan saya.Â
Selamat menjelang Sahur.
Wassalam,
Bumi Anoa, dini hari, 12/04/2022
*Penulis; Praktisi Hukum/Advokat Pada PERADIÂ RBA Kendari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H