Hanya saja Soeharto mengakhiri jabatan Presiden Republik Indonesia kedua dengan cara "berhenti" secara sepihak dengan cara mengumumkan diri. Padahal seharusnya Soehato sebagai Presiden ketika berhenti sebelum periode berakhir patut dilakukan di depan sidang istimewa MPR disertai dengan pertanggungjawaban selama memangku jabatan Presiden.
Namun ternyata ada sejumlah kendala yang salah satunya gedung MPR/DPR pada saat itu diduduki oleh para demonstran dari seluruh komponen massa gerakan mahasiswa pro-reformasi. Sehingga tidak memungkinkan bagi Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti di depan sidang istimewa MPR.
Menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang pada saat itu kerap dimintai pendapat Presiden Soeharto sebelum lengser, memberi pertimbangan kepada Presiden Soeharto, dengan alasan keadaan yang darurat, agar menyatakan (declare) berhenti secara sepihak tanpa laporan pertanggungjawaban dan/atau persetujuan pihak manapun.
Atas usulan Yusril itu Presiden Soeharto menyatakan setuju dengan pilihan kebijakan berhenti sepihak demi stabilitas nasional. Terjadilan peristiwa pernyataan berhenti Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden, Pasal 8 UUD 1945 mengatur bahwa Wakil Presiden secara otomatis menjadi Presiden.
Meski ada kendala prosedural pada waktu itu masih berlaku Tap MPR Nomor VII tahun 1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia berhalangan, Wakil Presiden mengucapkan sumpah di hadapan DPR. Jika hal itu tidak dapat dilakukan maka dilakukan di depan Mahkamah Agung.
Sehingga pada saat itu menurut penuturan Saadilah Mursyid selaku Menteri Sekretaris Negara lalu menghubungi Ketua Mahkamah Agung Bapak Sarwata agar hadir di Istana Merdeka guna menyaksikan pernyataan berhenti Presiden Soeharto dan pengucapan sumpah Wakil Presiden B.J.Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Terhadap mekanisme prosedur yang darurat ini pada akhirnya diakui sah dan konstitusional oleh Mahkamah Agung.
Itulah sekelumit singkat sejarah reformasi bangsa Indonesia ditahun 1998 terkait suksesi kepemimpinan nasional yang kemudian akan mengubah sistem ketatanegaraan di Indonesia secara signifikan dalam bingkai reformasi konstitusi.
Reformasi Konstitusi; Amandemen UUD 1945Â
Untuk pertamakali amandemen UUD 1945 terjadi pada sidang Sidang Umum (SU) MPR pada tanggal 14 s.d 21 Oktober 1999. Amien Rais adalah Ketua MPR saat itu. Terdapat 9 dari 37 pasal di dalam UUD 1945 yang berubah. Salah satu point yang krusial adalah perubahan Pasal 7 UUD 1945.
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali. Beleid lama itu mengisyaratkan Presiden dan Wakil Presiden bisa seumur hidup sepanjang memenangkan setiap lima tahun Pemilu digelar.Â
Akhirnya aturan ini berubah menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Amandemen ini membatasi masa kekuasaan Presiden menjadi hanya 10 tahun.