Pada aspek hukum, teringat bagaimana banyak peristiwa kriminalisasi dan pemidanaan yang memilukan hati dan meruntuhkan banyak dalil-dalil keadilan dan kemanusiaan dalam kitab-kitab hukum maupun kitab-kitab suci. Penegakan Hukum kita berbeda antara hukum yang ditulis dalam kitabnya dengan hukum ditangan aparat penegaknya.
Disini baru penulis mengerti ternyata hukum dihadapan politik berkamuflase dalam wajah politik dan kekuasaan karena memang hukum dibentuk oleh produk politik hukum kekuasaan. Sementara orientasi dari sistem ekonomi tetap menarik hukum berada pada posisi digaris depan, tetapi politik dan hukum tetaplah kedua tangan dari sistem ekonomi tadi.
Problem lain juga menyasar sistem demokrasi kita yang prasyaratnya belum terpenuhi. Karena demokrasi hanya akan bisa tumbuh dinegara-negara yang penegakkan hukum, sistem politik dan ekonominya cukup baik dan stabil. Sementara negara kita sedang berkembang dan praktik klientelisme banyak terjadi mengingat pemilih yang ekonominya lemah banyak terjebak dengan tawaran-tawaran klientelistik ketimbang pemilih yang lebih baik ekonominya.Â
Misal praktik jual beli suara yang lazimnya disebut money politik di sepanjang penghelatan Pemilu dan Pilkada. Belum lagi mahar politik yang tidak terjangkau baik hukum Pemilu maupun aparatur penegak hukum pemilu. Kedua praktik culas ini tanpa satupun institusi yang mampu menghalau dan menghentikannya sampai tulisan ini dibuat. Lebih miris di Pemilu 2019 seakan praktik transaksi suara menjadi normal baru dalam Pemilu.
Lalu apa modal perubahan kita saat ini? berharap hukum dan ekonomi suatu utopia untuk diubah semudah membalik telapak tangan. Harapan yang tersisa tinggal satu yaitu siklus Pemilu lima tahunan (Pemilu 2024), karena hanya itu saja yang bisa diraih sebagai modal politik pamungkas untuk rakyat berdaulat. Lainnya masih buram dengan wajah demokrasi yang masih formalistik dan prosedural, hukum tercabik kepastian dan keadilannya, politik tersungkur dipusaran modal kapital dan kekuasaan, ekonomi morat-marit, pandemi Covid-19 masih jadi alasan dan jualan, kondisi sosial terpecah-belah.
Lalu apa yang bisa merubah wajah buram politik, hukum, dan ekonomi kita saat ini? hanyalah kepemimpinan dan keteladanan elit bangsa. Maka harus dengan segala daya upaya Pemilu 2024 kedepan berlangsung sukses dan damai agar melahirkan kepemimpinan yang dapat mengatasi stabilitas politik, melahirlan kepastian hukum, dan menciptkan keadilan sosial serta pertumbuhan ekonomi yang memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak untuk mari hentikan wacana tunda Pemilu 2024 dan wacana Presiden tiga periode karena modal politik agar rakyat berdaulat tinggal satu yaitu terselenggaranya Pemilu 2024 yang LUBER dan JURDIL dengan jaminan aman, damai dan bermartabat.
Semoga....
*Penulis; Praktisi Hukum/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI Sultra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H