1). Teknis dan Anggaran Tidak Maksimal.
Kendatipun UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengamanatkan adanya pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan. Dimana agar data pemilih terus mutakhir dan akurat, prosesnya terus- menerus harus dilakukan ada atau tidak adanya Pemilu. Sungguh berbeda dengan Pilkada tidak ada pengaturan dalam UU Pilkada berkaitan dengan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan.
Meskipun itu UU Pemilu telah mengamanatkan adanya pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan dan bisa berhubungan dengan kebutuhan Pilkada yang terdekat umpamanya, tetapi ternyata tetap saja implementasinya sulit dilakukan.
Penyelenggara pemilu, yakni KPU termaksud di daerah menghadapi tantangan dan hambatan yang serius. Hal ini disebabkan harus ada petugas yang turun langsung ke lapangan. Karena selama ini yang bertugas hanya divisi data dan informasi di tingkat Satker KPU kabupaten/kota melalui layanan Pemutakhiran Data Berkelanjutan (DPB) dengan cara online atau langsung.
Sedangkan petugas lapangan seperti petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP/Pantarlih), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hanya bersifat adhock dengan masa tugas berakhir pasca Pemilu atau Pilkada. Lalu siapa dan petugas mana yang harus melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan pasca Pemilu atau Pilkada.
Anggaran juga tidak tersedia beserta tenaga pendukung di lapangan selain hanya masa tahapan Pemilu atau Pilkada. Belum lagi kesadaran para pihak antara lain masyarakat pemilih juga sangat kurang dalam melaporkan data kependudukannya. Padahal data kependudukan bersifat dinamis dan selalu bergerak ketika ada penduduk yang meninggal, berpindah domisili, atau menjadi anggota TNI/Polri.
2). Perbedaan Definisi Pemilih Pada Pemilu dan Pilkada
Selain kompleksitas baik teknis dan anggaran juga terdapat ada problem definisi pemilih yang perlu harmonisasi antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Hal yang berbeda dalam definisi pemilih dimana keduanya memang mengatur bahwa hak memilih diberikan pada WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa yang memiliki hak pilih adalah mereka yang memiliki KTP elektronik atau Surat Keterangan Pengganti KTP elektronik yang didaftarkan sesuai dengan alamat tertera di dalamnya.
Namun, dalam UU Pilkada disebutkan bahwa selain pemilih merupakan WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan tetapi juga ada tambahan klausul yang bersangkutan tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.