Gerakan Koreksioner Mahasiwa dan Inkonsistensi Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia Saat ini *)
Oleh; Hidayatullah**)
Mahasiswa dan Gerakan Koreksionernya
Dalam materi ini secara umum penulis selaku narasumber mengutip lebih awal pernyataan Samuel Hungtington tentang gerakan mahasiswa, bahwa: "Gerakan mahasiswa adalah bentuk perlawanan yang tidak akan pernah padam terhadap pemerintahan yang lalim."
Karena dalam sejarah panjang dunia "Gerakan Aksi-Aksi Mahasiswa" di belahan negara seperti di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, Asia termaksud Indonesia dengan monentum dua gerakan koreksioner mahasiswanya yang tertulis dalam sejarah yakni tahun 1966 (tuntutan Tritura) dan tahun 1998 (tuntutan Reformasi).
Gerakan aksi mahasiswa umumnya dilakukan dalam bentuk "Demonstrasi massa yang turun ke jalan-jalan". Gerakan mahasiswa yang konsisten dan kontinyu biasanya didasari oleh fenomena komunikasi sosial dan politik yang buntu atau tersumbatnya saluran komunikasi antara kepentingan aspirasi publik (rakyat) dengan kekuasaan yang dianggap arogan atau otoriterian. Maka pilihan demonstrasi dengan orasi dijalan raya adalah pilihan terbaik gerakan mahasiswa karena kran komunikasi sudah tersumbat.
Sebagai contoh gerakan aksi mahasiswa di tahun 1966 sebagai reaksi dari gagalnya pemerintahan orde lama dan terjadinya kudeta G30S/PKI yang gagal mengakibatkan  terbunuhnya 6 jenderal  TNI AD dan 1 perwira menengahnya yang disebut dengan 7 pahlawan revolusi.Â
Sehingga melahirkan agenda aksi koreksioner mahasiswa dengan tuntutan Tritura atau tiga tuntutan rakyat yakni; 1) Bubarkan PKI, 2) Retool Kabinet, dan 3) Turunkan Harga-Harga. Sedangkan gerakan mahasiswa di tahun 1998 sebagai reaksi gagalnya pemerintahan orde baru dan terjadinya krisis ekonomi (moneter). Sehingga melahirkan agenda aksi koreksioner mahasiswa dengan tuntutan yakni; 1) Berantas Korupsi, Korupsi dan Nepotisme serta adili Soeharto beserta kroni-kroninya, 2) Penegakan Supremasi Hukum, 3) Cabut dwifungsi ABRI, 4) Otonomi daerah seluas-luasnya dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dan 5). Penciptaan demokrasi yang egaliter.
Hebatnya, dari kedua aksi koreksioner melalui gerakan demonstrasi mahasiwa sepenuhnya mendapat dukungan rakyat Indonesia secara luas. Pada puncaknya penguasa orde lama maupun orde baru yang dianggap lalim atau otoriter terhadap rakyatnya kemudian runtuh.Â
Kenapa penguasa orde lama dibawah kepemimpinan Soekrano runtuh, karena disebabkan prinsip pemerintahan sudah dijalankan dengan kekuasaan yang lebih dominan "politik oriented".Â
Begitu pula penguasa orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto runtuh, karena disebabkan prinsip pemerintahan dijalankan dengan kekuasaan lebih otoriter dengan prioritas "ekonomi oriented". Kedua kekuasaan tersebut telah mengabaikan prinsip negara Indoneia adalah berdasarkan hukum bukan negara kekuasaan.
Walau dalam perkembangannya gerakan  mahasiswa dengan cara aksi demonstrasi turun ke jalan paska tumbangnya kekuasaan orde lama maupun orde baru sesungguhnya bukan satu-satunya cara untuk menyuarakan isi tuntutan suara-suara keprihatinan publik (rakyat).Â
Adapula gerakan-gerakan diwilayah masyarakat sipil (civil soceity) melalui Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) atau lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH) dan lain sebagainya yang bersifat gerakan Non Goverment Organisation (NGO).Â
Dalam gerakan ini banyak pada aspek advokasi atau pendampingan sosial dan hukum terhadap warga masyarakat yang tertindas, atau juga melakukan advokasi terhadap masyarakat yang hak-haknya dirampas baik oleh pemerintah maupun swasta yang di backup oleh pemerintah atau aparat - aparat hukum dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.
Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia Saat ini
Selanjutnya dalam materi ini secara khusus penulis selaku narasumber  menyampaikan berkaitan tema adalah inkonsistensi Penegakkan (Supremasi) hukum di Indoensia kekinian. Bahwa memang keadaan supremasi hukum dinegeri kita saat ini sungguh memprihatinkan. Agenda Reformasi bangsa tahun 1998 itu telah dibajak oleh para penumpang gelap. Para penumpang gelap ini juga memiliki pendukung yang penulis sebut sebagai penumpang gratis reformasi.
Sungguh memprihatinkan Instrumen politik, kekuasaan dan bahkan individu mampu mengendalikan hukum untuk tujuan-tujuan mematikan demokratisasi dan pengingkaran terhadap UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa "Negara Indonesia Berdasarkan Hukum". Konsekuensinya adalah segala kehidupan kenegaraan selalu berdasarkan kepada hukum (Rechtsstaat) bukan kekuasaan (Machtsstaat). Dimana yang memerintah, mengatur dan yang berkuasa adalah hukum bukan individi orang - orang dalam pemerintahan.
Tapi praktik saat ini nampaknya prinsip negara hukum (Rule of Law) menjadi (Rule by Law) yang mengarah kepada negara kekuasaan. Padahal salah satu agenda penting Reformasi bangsa 1998 adalah PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM. Hukum adalah Panglima karena Rule of law adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa hukum harus memerintah sebuah negara dan bukan keputusan pejabat-pejabat secara individual.
Jadi hukum sebagai panglima dan mengatur para pejabat pemerintah, aparatur penegak hukum termaksud masyarakat itu sendiri. Bukan sebaliknya para individu yang mengatur hukum untuk kepentingannya.
Terhadap kondisi yang memprihatinkan ini dan Reformasi Bangsa telah dibajak maka diperlukan kembali agenda konsolidasi mahasiswa dalam "Gerakan Koreksioner", untuk :
1). Kembali ke UUD 45 dan Pancasila secara murni dan Konsekwen.
2). Penegakan Supremasi Hukum dan penciptaan keadilan dengan melakukan Restrukturisasi Sistem Penegakan Hukum dibawah Kementerian Sipil dan jauh dari campur tangan individu maupun politik.
3). Penegakan dan Perlidungan HAM terhadap rakyat dengan mengusut tuntas semua pelanggaran HAM berat yang terjadi akibat praktik-praktik extra Judicial Killing atau Unlawful killing (pembunuhan di luar hukum).
4). Penghapusan seluruh ketentuan perundangan yang tidak berkepastian hukum yang membajak dan mengekang kebebasan, kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum.
5). Reorientasi seluruh kebijakan yang sampai saat ini tidak mampu menekan lonjakan penyebaran Covid-19 yang gagal akibat kebijakan Pemerintah yang diambil tidak mencerminkan relasi dengan rakyat yang berakibat penegakkan disiplin dan hukum yang tidak berkepastian, inkonsistensi dan tidak berkeadilan.
Demikian bait-bait ide, gagasan dalam materi penulis sebagai narasumber bersama adik-adik peserta intermediate training (LK II) HMI Cabang Kendari yang selanjutnya berkembang dalam diksusi-diakusi yang dinamis dan progresif tentang ; "Indonesia  harus kembali kesemangat nasionalisme dengan landasan ideologi negara adalah Pancasila dan UUD 1945 dengan konsisten pada prinsip negara hukum yang memuliakan hak asasi manusia"
Demikian, semoga bermanfaat.
*) Tema materi penulis sebagai narasumber pada forum Intermediate Training (LK II) tingkat Nasional HMI Cab. Kendari, bertempat di asrama Haji Sultra, 16 Desember 2020.**) Penulis; Ketua Presidum JaDI Sultra/Praktisi Hukum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H