Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 4 tahun 1984 pada Bab VII Ketentuan Pidana, Pasal 14;
1). Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
2). Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
3). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Apa Bacaan Kita Terhadap Pepres ini ?
Sepintas kita mencermati dari muatan, isi, pasal dan materi Perpres No. 14 tahun 2021 tersebut, adalah suatu bentuk penerapan hukum yang keras diletakkan pemerintah atas nama Negara ditengah banyaknya penolakan terhadap program vaksinasi Covid-19. Baik mereka yang menolak atas kesadaran sendiri atau karena dampak dari berita-berita menakutkan seputar dampak buruk vaksin Covid-19 terebut.
Begitu kerasnya Pepres tersebut sehingga yang menonjol hanyalah sanksi (punishment) dengan ketiadaan penghargaan (reward) bagi yang telah melakukan vaksin. Walau dilain pihak ada jaminan sosial dalam bentuk kompensasi kecacatan atau meninggal dari pemerintah akibat kejadian ikutan pasca vaksinasi. Itupun sangat birokratis penangannya karena harus melalui terlebih dahulu kajian kausalitas. Aturan kompensasi ditulis dalam Pasal 15B Pepres No. Â 14 tahun 2021.
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah kalau pun sanksi harus diterapkan oleh Peprres No. 14 tahun 2021, kenapa oleh pemerintah hanya mengambil kemanfaatan pasal sanksi delik kejahatan pidana dari UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Kenapa tidak dimuat diktum pengaturan untuk menunjuk pula terkait apa saja hak rakyat dan apa kewajiban negara seperti yang termuat pada Pasal 8 ayat (1) dan (2), yakni;
1). Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan ganti rugi.
2). Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jadi pemerintah hanya menuntut kewajiban rakyat untuk patuh terhadap program vaksinasi disertai sanksi berat (pelanggaran administrasi dan kejahatan pidana). Tetapi ada hak rakyat yang ditulis dalam Undang-undang tidak dijadikan rujukan Pepres sebagai kompensasi ketaatannya, kecuali hanya cacat dan meninggal dunia.
Sampai di sini, penulis menarik kesimpulan bahwa Pepres No. 14 tahun 2021 adalah bentuk egoisme pemerintah berhadapan dengan egoisme sebagian publik yang menolak vaksinasi Covid-19. Padahal hukum bermanfaat bukan karena dia adalah hukum tapi karena ada kebaikan dan kemanfaatan didalamnya.
Kampanye Edukatif Menghindari Politisasi Kebencian
Sosialisasi atau bentuk kampanye Vaksin lebih bermanfaat dan edukatif untuk menurunkan egoisme baik pihak pemerintah maupun publik yang menolak vaksin.
Kampanye edukatif akan menghilangkan pengaruh politisasi kebencian kepada Pemerintah. Karena dengan adanya vaksin Covid-19 yang diberikan secara gratis menunjukkan bahwa inilah program dan kebijakan pemerintah sebagai salah satu ikhtiar dan solusi paling nyata untuk keselamatan hidup bersama dalam mencegah penyebaran wabah Covid-19.