Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Covid-19 dan Keluguan Kita

11 Februari 2021   11:12 Diperbarui: 11 Februari 2021   16:13 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Sesungguhnya Korban Terbanyak dari Covid-19 Bukan yang Terkonfirmasi Positif, Tapi Mereka yang Termakan Omonganya Sendiri"

"Hati-Hati Termakan Omongan Sendiri". Topik ini mengingatkan saya akan situasi masa pandemi Covid-19 sejak Februari 2020 sampai saat ini belum juga mereda, justru terus menanjak. Walau banyak juga informasi data dari Gugus Tugas Covid-19 tingkat kesembuhan juga sangat tinggi. Ini menjelaskan fakta bahwa tingkat kesembuhan adalah suatu keniscayaan.

Sejak awal merebak didaerah Wuhan China asal muasal virus Corona (penyebutan awal Covid-19) sampai ke seluruh dunia, belum ada satu manusia di bumi ini dengan keahlian apapun menemukan obat penyembuh nya.

Hanya patut disyukuri ada kemajuan dibidang sains dan kedokteran yang terus bergerak maju menemukan vaksin. Kita ketahui vaksin bukanlah obat Covid-19, tetapi hanya untuk kekebalan tubuh terhadap virus ini.

Logika kesehatan tentang kekebalan terhadap virus ketika sampel virus ini dilakukan riset, penelitian dan percobaan atas molekul nya untuk dapat dijadikan vaksin itu sendiri. Kegunaannya agar ketika vaksin dimasukkan dalam tubuh maka akan dikenal oleh unsur imun dalam tubuh kita. 

Tak ubahnya seperti imunisasi dan vaksinasi polio sejak kita masih kecil dahulu ketika orang tua kita membawa kita di unit-unit pelayanan kesehatan termaksud Posyandu untuk program imunisasi dan vaksinasi.

Sementara temuan bidang kedokteran dan para ahli virus mengonfirmasi bahwa begitu banyak varian dari virus Covid-19 dan terus bermutasi. Sehingga kendati pun seseorang sudah di vaksinasi Covid-19 belum tentu tidak terjangkit kembali.

Saya mengikuti perkembangan virus ini dari awal sejak merebak akhir Desember 2019 lalu, karena anak saya studi kedokteran dimana kampusnya berada di kota Wuhan China tempat awal virus ini menyebar.

Saya awalnya juga tidak mengira virus ini pada akhirnya begitu dahsyat mengguncang dunia kesehatan yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan terutama psikologi, ekonomi dan kebijakan politik itu sendiri.

Sampai pada spekulasi kemungkinan bagian rekayasa tertentu tentang teori konspirasi elit global. Seperti wacana yang terus dimainkan sejak awal virus sampai saat ini beredar di media  sosial. Bahkan diangkat ke permukaan dalam diskusi-diskusi media sosial.

Sampai saat ini justru cerita teori konspirasi itu menjadi alternatif penghibur bagi publik yang masih tidak percaya akan Covid-19. Walau disisi lain tetap mematuhi anjuran protokol kesehatan Covid-19.

Belum lagi media mainstream maupun online ikut menyebarkan berita dari sisi fakta-fakta kematian dan kesakitan  bagi yang ter dampak virus ini. Lengkap sudah referensi publik terbelah seakan ini hanyalah sebuah rekayasa atau permainan pihak-pihak tertentu. Kenapa itu terjadi ? Karena publik kita terbatas mengakses informasi seutuhnya tentang Covid-19 ini.

Saya tidak akan meluas membahas konstalasi sosial politik dunia soal Covid-19, tetapi mengerucut bagaimana dengan kita di Indonesia merespon virus ini dengan beragam pendapat, perspektif, dan perilaku sosial menyikapi nya.

"Keluguan" adalah diksi yang pas bagi saya menyematkan itu ketimbang diksi kelucu-lucuan karena tak etis terhadap akibat dari dampak buruk terhadap kemanusiaan dari Covid-19. Lugu karena dengan serba keterbatasan dan ketidakpahaman yang baik akan virus ini tetapi melahirkan banyak statemen dan spekulasi yang unik-unik baik itu pejabat negara, elit politik sampai kepada masyarakat itu sendiri.

Katakanlah di Februari 2020 lalu ketika ditemukan pasien ter konfirmasi  pertama warga Bogor. Pejabat-pejabat tertentu di Pemerintahan mengomentari dengan maksud menenangkan publik bahwa, jangan panik virus Corona ini tidak akan menyebar didaerah dengan iklim tropis dan panas seperti di Indonesia. Kenyataannya hanya sebulan saja Maret 2020 virus ini tidak terkendali dan mencekam publik.

Bahkan Kemenkes dulu menyatakan bahwa jangan pakai masker bagi yang sehat. Masker hanya untuk mereka yang sakit. Kenyataannya masker justru menjadi keharusan paling atas dimasa kedaruratan kesehatan dari sejumlah deretan kepatuhan protokol kesehatan Covid-19.

Masih teringat di awal merebak nya Covid-19 sejak Februari - Mei 2020 fokus kebijakan pemerintah  prioritas adalah bagaimana kesehatan segalanya dari semua aspek kehidupan. Istilah baru bermunculan seperti physikal distancing, social distancing, Work From Home (WFH), Lockdown dan banyak istilah lainnya. Berakibat fasilitas publik banyak yang tutup, transportasi darat, laut, udara, toko, market, restoran dan segala unit usaha tak terkecuali sekolah dan kampus tutup dari aktivitas terbuka. Kenyataannya ekonomi rakyat mendekati kelumpuhan, maka kebijakan di bulan Juni 2020 adalah "new normal".

New normal adalah jargon baru yang artinya kehidupan dengan kenormalan baru. Ternyata kesehatan bukan yang utama. Kesehatan dan ekonomi harus berjalan seiring. Katakanlah kesehatan dari aspek dampak Covid-19 harapan sehat dan hidup cukup tinggi. Tapi kelaparan dan terbatasnya aktivitas bekerja rakyat mengakibatkan dampak sosial lebih serius yang bisa mengarah kepada kekacauan sosial itu sendiri.

Bukan saja di tingkat kebijakan yang tampak lugu. Di masyarakat pun tampak keluguan itu. Lantaran tidak percaya membuat akronim Corona dengan kepanjangan salah satu menu makanan "coto  konro nasi"

Bahkan ada yang sesumbar akan memakan virus Corona dan berduel kalau bertemu. Ada yang mengaitkan dengan minum alkohol, rebusan daun dan rempah-rempah, termaksud yang viral adalah khasiat daun kelor sebagai penangkal virus Corona. Berbagai cara masyarakat menyikapinya mengendorkan segala kebijakan penerapan protokol kesehatan Covid-19.

Terbaru dari keluguan elit politik kita yang termakan omongan sendiri soal perdebatan RUU Pemilu. Dahulu waktu Pilkada 2020 begitu heboh pertentangan segenap elemen publik yang menolak digelarnya Pilkada 2020, sementara di pihak Pemerintah bersama DPR menyikapi Pilkada 2020 tetap lanjut.

Publik menilai Pilkada masa pandemi berdampak pada tidak taatnya masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19. Tapi elit politik tetap memaksakan untuk lanjut walau dalam kondisi pandemi, dan terlaksanalah Pilkada 9 Desember 2020. Alasan elit politik kita karena tidak ada yang mengetahui sampai kapan berakhir Covid-19 ini.

Lalu, saat ini begitu wacana Pilkada 2022 dan 2023 mau diagendakan digelar malah sebaliknya bahwa Pilkada tetap diselenggarakan ditahun 2024 berbarengan dengan Pemilu. Alasan elit politik kita bahwa konsentrasi pemerintah dan semua komponen bangsa pada kesehatan dan pemulihan ekonomi karena dampak Covid-19 yang belum juga mereda bahkan semakin melonjak. Nah akhirnya termakan omongan sendiri.

Maka, percaya dengan ketidak percayaan kita karena keluguan kita semua, yang memang Covid-19 adalah virus yang nyata hidup berdampingan dengan kita. Virus ini bukanlah rekayasa dan belum ada obat penyembuh sampai saat ini. Jurus ampuh adalah taat terhadap protokol kesehatan Covid-19 dengan jargon pesan ibu; Pakai masker, Jaga Jarak, dan sering cuci tangan.

Selebihnya, hati-hati pasti akan termakan omongan sendiri.

Salam sehat dan bahagia selalu.

Penulis; Hidayatullah/Selaku Koordinator Relawan Cegah Covid-19 Kota Kendari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun