Masih cukup banyak isu dalam Pemilu yang memerlukan evaluasi, pembenahan dan tata kelola baik teknis penyelenggaraan, organ penyelenggara, termaksud sistem penegakan hukum Pemilu (electoral justice).
Dalam siklus Pemilu, inilah saatnya yang tepat tahun 2021 untuk menata perbaikan kepemiluan Nasional serentak tahun 2024. Karena tahapan Pemilu dipersiapkan selama 20 (dua puluh bulan). Artinya September 2022 tahapan Pemilu sudah dimulai dari verifikasi Peserta Pemilu (Partai Politik).
Sehingga terdapat beberapa Isu yang sungguh penting dibahas dalam revisi UU Pemilu, yakni;
- Sistem Pemilu; pencalonan, district magnitude, electoral formula, electoral justice.
- Aktor Pemilu; penyelenggara, peserta dan pemilih.
- Keadilan Pemilu; kelembagaan, batasan penanganan sengketa administrasi di Bawaslu, tindak pidana dan kode etik.
- Program digitalisasi Pemilu; salah satunya Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai metode melakukan penghitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik, menggantikan cara manual.
- Indikator teknis lainnya: soal beban kerja KPPS untuk meminimalisir korban petugas, problem pengadaan dan distribusi logistik, beban TPS yang memproses penghitungan suara rata-rata selesai pukul 00.00 waktu setempat.
- Keluhan Pemilih: kesulitan saat pencoblosan karena terlalu banyak surat suara.
- Penanganan pelanggaran Pemilu (represif and preventif); transaksi politik (money politik), mobilisasi ASN, dan penyalahgunaan jabatan, program dan fasilitas publik dalam kampanye Pemilu (fair play).
Jadi sesungguhnya tahun 2021 ini adalah momentum yang sangat baik untuk grand desain kepemiluan kita agar jauh lebih baik dibanding sebelumnya.
Pertimbangan ini agar  pembahasan tidak terburu-buru, dan dapat dilakukan berdasarkan kajian yang lebih matang. Sesungguhnya para penggiat Pemilu punya aspirasi dan masukkan di DPR bahwa revisi UU Pemilu tidak dilakukan terbatas tapi baiknya secara menyeluruh dan tidak parsial.
Sesungguhnya usulan revisi UU Pemilu adalah langkah maju, bukan langkah mundur untuk hal-hal yang sebenarnya secara prinsip sudah jelas bahkan sudah ada hasil-hasil Judicial Review (JR) dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tetapi sayang sejauh ini sudah hampir setahun aspirasi revisi UU Pemilu diwacanakan, dan masuk dalam Proglegnas 2021, ternyata gagal ditengah draf telah siap. Belakangan baru diketahui bahwa belum ada kesepahaman seluruh fraksi-fraksi di DPR untuk mencapai kata mufakat. Sejauh ini sudah setahun sejak mulai dibahas fraksi-fraksi masih pada pendirian masing-masing. Akhirnya berakhir dengan penolakan revisi UU Pemilu saat ini.
Berbagai alasan fraksi-fraksi di DPR diperkuat dengan kebijakan partai masing-masing bahwa penolakan revisi UU Pemillu itu secara umum ada tiga hal, yakni;
1). Tidak cukup baik dan efektif UU Pemilu dilakukan revisi/perubahan setiap memasuki momentum Pemilu berikutnya.
2). Aspek perundangan Pilkada (UU No 10 tahun 2016) belum diterapkan berkaitan kluster keserentakan pada November 2024. Sehingga tidak diperlukan kodifikasi UU Pilkada dalam UU Pemilu.
3). Aspek kedaruratan kesehatan masa pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi. Sehingga konsentrasi pemerintah kepada pemulihan kesehatan dan ekonomi.