Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa yang Penting?

7 Februari 2021   23:25 Diperbarui: 8 Februari 2021   00:12 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Normalisais Pilkada kah" ? atau
"Normalisasi Ekonomi kah" ? atau
"Normalisasi Kesehatan kah" ?  
Dalam masa Pandemi Covid-19.

Sejak Pilkada 2020 lalu, penulis merasa aneh. Pandangan publik terbelah dengan pandangan Pemerintah. Tunda atau lanjut Pilkada. Padahal permintaan tunda Pilkada 2020 dahulu bukan soal pengandaian tapi fakta wabah covid-19 ini mematikan. Sempat ditunda tiga bulan, kemudian tetap lanjut. Dari semula pemungutan suara tanggal 23 September 2020 bergeser menjadi tanggal 09 Desember 2020.

Kemudian Pilkada 2020 itu telah usai dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bahkan dari segi pelaksanaan Pilkada ada narasi katanya sukses meredam Covid-19. Karena tak satupun data terkonfirmasi Covid-19 dari kluster Pilkada 2020. Sehingga apa masahnya dengan agenda normalisasi Pilkada untuk tahun 2022 dan 2023. Sementara dulu waktu Pilkada 2020 tetap ngotot diselenggarakan dengan diksi pengandaiannya bahwa Covid-19 belum jelas kapan berakhirnya.

Lalu Pemerintah mengubah UU yang mengatur Pilkada dalam keadaan normal menjadi bisa dirubah dengan Pilkada dalam keadaan darurat terbitlah Perppu No. 2 tahun 2020 sekarang menjadi UU No. 6 tahun 2020 perubahan ketiga UU 1 tahun 2015.

Kemudian situasi saat ini dari pemetaan wacana yang bergulir dimana yang dahulu berada dibarisan tunda Pilkada 2020 sekarang berada dibarisan normalisasi Pilkada 2022 dan 2023 dengan jangkauan 2027 keserentakannya. Sebaliknya dulu paling ngotot Pilkada 2020 tetap lanjut sekarang berada dibarisa Pilkada tetap di tahun 2024 sesuai jadwal dalam UU No. 10 tahun 2016.

Kesimpulan diantara keduanya sama dengan dahulu seputar Covid-19, kesehatan dan ekonomi.

Sekarang, malah penulis yang bingung. Apa sebenarnya yang terjadi ? Apa masalahnya dan apa pentingnya semua ini ?

Menjadi tak akademis dan tak punya korelasi dengan jawaban asal seperi itu. Sementara saat ini apa yang ditulis tentang pandemi Covid-19 adalah rangkaian data dan fakta.

Tidak ditulispun, data dan fakta itu tetap sama, ada yang sakit dan ada yang sakit berakibat mati. Cek saja dirumah sakit kalau tak percaya ada di ruang isolasi bagi yang positif covid-19 dan di perkuburan massal untuk kematian akibat Covid-19.

Lalu Pilkada, apa yang penting ?

Tidak ada yang penting. Hajatan ini biasa saja, bukan bagian dari rezim Pemilu dan apalagi tanpa libur nasional. Yang menjadi kesan luar biasa karena di serentakan di hari yang sama. Dulu Pilkada ini tidak seheboh sekarang, karena dulu hanya dimensi lokalitas lima tahunan saja dimasing-masing daerah. Suasananya sama dengan peringatan HUT masing-masing daerah. Hanya psikologi sosial terkait jabatan kepala daerah yang menonjol. Itupun hanya kebanggan kecil di keluarga dan sekelumit tim sukses.

Lalu, kalau benar tidak penting, kenapa tak ditunda saja agar lebih fokus dan prioritas dipenanganan pengendalian wabah Covid-19 baik kesehatan maupun stimulus ekonomi rakyat yang mulai terpuruk ?

Lalu kalau Pilakda dilaksanakan November di 2024 Sesuai jadwal UU bagi kepala daerah yang berkahir masa jabatannya diisi oleh Penjabat Bupati, Penjabat Walikota, Penjabat Gubernur. Tentu, tanpa wakil. Apa masalahnya dengan posisi Penjabat karena memang kelaziman pemerintahan daerah sudah terukur dan diatur tertata rapi. Kalau alasan bahwa Penjabat itu adalah orang-orang Pemerintahan pusat yang kendalikan ? Lalu apakah Kepala Daerah definitif bukan pula perwakilan pemerintahan pusat didaerah yang mereka juga diatur dan dikelola anggaran daerah dari Pemerintah Pusat.

Jadi tidak ada yang darurat di daerah kalau hanya sekedar alasan tetek bengek posisi Penjabat. Yang darurat itu Pandemi Covid-19 yang tiap hari menanjak dan sesuai update Covid-19 per 5 Februari 2021: Positif 1.134.854, Sembuh 926.980, Meninggal 31.202 (tiga puluh satu ribu dua ratus dua) orang. Ini fakta bencana dan kedaruratan yang sesungguhnya.

Penulis mau sampaikan bahwa jabatan yang darurat dan berefek bencana itu kecuali jabatan Presiden. Kalau ini yang runtuh maka bencana bagi rakyat dan bangsa karena melahirkan krisis politik dan pemerintahan.

Lalu apa lagi yang penting ?

Perlu diingat bahwa Pilkada tidak mengenal jangka waktu tetap (fixed term). Pemerintahan daerah bukan cabang pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan pusat, tetap dalam sistem integralistik. Kita bukan negara Uni apalagi bentuk federal dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang punya hak veto. Kita memang otonomi daerah tetapi dalam bingkai NKRI dengan bentuk Republik. Sehingga untuk daerah dalam menyusun regulasi saja seperti rancangan peraturan daerah dikonsultasikan dan diperiksa dulu oleh pemerintah pusat, tidak terkecuali termasuk anggaran.

Lalu apa pentingnya Pilkada ?

Berkaitan dengan anggaran ? Anggaran apa kepunyaan daerah ? Paling yang ada sedikit berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Memang berapa sih pendapatan dari PAD itu ? Itupun bukan berada dalam kewenangan anggaran asal (dari daerah), tetapi lebih berupa sisa kewenangan anggaran pemberian (dari pusat). Kepala daerah tidak punya kewenangan guna menggunakan pendapatan asli daerah bagi sebesar-besarnya kepentingan warga daerah tersebut.

Mayoritas daerah kita bersandar dari anggaran oleh pusat. Jadi sudah menjadi sesuatu yang lumrah kalau ada kepala daerah ikut terjangkit Covid 19, ketika melayani orang-orang pusat atau begitu banyak ke jakarta mengurus anggaran dan kebijakan-kebijakan.

Bahkan banyak Kepala Daerah dan pejabat-pejabat OPD berangkat perjalanan dinas ke Jakarta dan berhari-hari bahkan berlama-lama ke Jakarta hanya untuk bertemu "orang-orang di Pemerintahan Pusat".  Akhirnya berakibat rakyat didaerahnya terlantar berhari-hari.

Belum lagi kalau Kepala Daerah tersebut maju lagi sebagai Petahana di Pilkada. Maka dipusingkan urusan bolak-balik soal rekomendasi dukungan DPP Parpol. DPP Parpol ada di Jakrta karena pemilik partai adalah DPP. Di daerah hanya membantu DPP. Jadi bertambah dua kali lipat ketidak fokusan mengurus pananggulangam wabah Covid-19 didaerah masing-masing. Akhirnya apa ? Protokol Kesehatan Covid-19 goyah, ketika pimpinan daerah sedang mencari tiket partai di pusat kekuasaan.  

Jadi apanya yang penting dengan normalisasi Pilkada 2022 dan 2023 ? Ketimbang mendahulukan kesehatan masyarakat dan dampak ekonomi yang terpuruk akibat dari wabah Covid-19 yang mematikan.

Salus Populi Suprema Lex Esto.

Penulis; *)Hidayatullah (Ketua Presidium JaDI Sultra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun