Seekor anak penyu bernama Chelonia, tampak sedang menikmati sinar matahari pagi di tepi laut. Ia tidak menyadari kalau saudara kembarnya yang bernama Mydas sedang bersiap-siap hendak mengejutkannya dari belakang.
      "Dor!" teriak Mydas dengan kencang.
      "Ah! Kau mengejutkanku, Mydas!" gerutu Chelonia.
      "Hahahaha. Kau sangat mudah kaget, Chelonia. Sedang apa di sini?"
      "Aku sedang menikmati sinar matahari pagi. Kau sudah siap ke sekolah?"
      "Tentu. Aku siap belajar bersama Tuan Ermo. Ia pasti sedang menunggu kita. Ayo berangkat!"
      Chelonia dan Mydas pun mulai berenang dan menyelam ke laut. Sekolah mereka berada di dekat terumbu karang warna-warni, tidak jauh dari tempat rumput-rumput laut yang tumbuh subur. Benar, Tuan Ermo sudah terlebih dahulu datang dan tampak sedang menunggu kedatangan mereka berdua. Teman-teman Chelonia dan Mydas juga sudah berkumpul.
      Tuan Ermo adalah seekor penyu hijau yang usianya sudah ratusan tahun. Namun, meski demikian, ia masih terlihat segar bugar dan daya ingatnya cukup baik. Ia mengajari anak-anak penyu memilih bahan makanan yang aman dikonsumsi dan cara bertahan hidup di segala kondisi lautan.
      "Anak-anak, hari ini kita akan ke ladang rumput laut," ucap Tuan Ermo setelah memastikan semua muridnya sudah berkumpul.
      "Hore!" teriak anak-anak penyu dengan girang.
      "Wah, asyik sekali! Kita akan ke ladang rumput laut! Aku akan menceritakan pengalaman ini kepada Mama dan Papaku," seru Oliva, seekor penyu yang sangat cerewet.
      "Kalian sudah sarapan?" tanya Carla, penyu yang lain, kepada Chelonia dan Mydas.
      "Belum," jawab Chelonia dan Mydas bersamaan.
      "Kalian kompak sekali. Tenang saja, nanti kita bisa makan rumput laut sepuasnya di sana," kata Carla.
      Chelonia dan Mydas tersenyum. Mereka tidak sabar segera tiba di ladang rumput laut dan menyantap kelezatan rumput laut yang segar.
      Rombongan anak-anak penyu berangkat. Mereka berenang dan menyelam berdampingan. Tuan Ermo berada paling depan sebagai penunjuk jalan. Meski ladang rumput laut tidak jauh dari lokasi sekolah, tetapi ia tidak ingin murid-muridnya salah mengambil jalan. Mereka bisa tersesat ke padang lamun, sejenis tanaman berbunga yang sering dimakan para duyung.
***
      Tibalah rombongan anak-anak penyu dan Tuan Ermo di ladang rumput laut yang tumbuh subur dan menggiurkan. Tuan Ermo meminta murid-muridnya untuk berkumpul dan mendengarkan penjelasannya mengenai manfaat rumput laut dan cara menentukan rumput laut yang sudah bisa dikonsumsi. Anak-anak penyu antusias mendengarkan.
      Tiba-tiba, terdengar bunyi berisik seperti deru mesin di permukaan laut. Anak-anak penyu ketakutan dan seketika langsung bergerombol mendekat pada Tuan Ermo. Bayangan raksasa menaungi mereka.
      "Itu pasti kapal manusia yang melambat. Tidak perlu cemas, anak-anak. Sebentar lagi kapal itu akan berlalu. Hanya lewat saja kok," ucap Tuan Ermo berusaha menenangkan murid-muridnya.
      "Ada yang jatuh dari atas!" jerit Oliva yang membuat semua temannya mendongak.
      "Anak-anak, cepat menyingkir dari sini. Ayo kita ke sebelah sana!" seru Tuan Ermo, menggiring anak-anak untuk menjauh dan bersembunyi di rerimbunan rumput laut.
      Anak-anak penyu dan Tuan Ermo menyaksikan sekumpulan benda asing meluncur jatuh hingga menyentuh pasir dasar laut. Air mulai keruh, membuat anak-anak penyu ketakutan. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi bunyi berisik, tetapi kali ini menjauh. Bayangan raksasa di permukaan laut sudah lenyap.
      Terdorong oleh rasa penasaran, Tuan Ermo mendekati benda-benda yang sudah tergeletak di pasir dasar laut. Benda-benda itu tidak lain adalah sampah berupa potongan-potongan besi dan logam berat. Tuan Ermo mendongak dan melihat ada yang mengapung di permukaan laut. Banyak sekali. Beberapa melayang turun.
      "Seperti hujan!" seru Mydas.
      "Benar, tapi ini bukan hujan air. Ini hujan sampah!" Tuan Ermo terdengar marah.
      "Kenapa benda-benda ini dibuang ke sini? Rumah kita 'kan bukan tempat sampah," tanya Chelonia heran.
      "Inilah perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Kita harus berhati-hati. Sekarang anak-anak, kumpulkan benda-benda yang berserakan ini di satu titik. Di sini, ya di sini. Jika sudah terkumpul, kalian boleh makan siang dengan rumput laut di ladang ini," ucap Tuan Ermo.
      Anak-anak penyu mulai mengumpulkan benda-benda kecil yang berserakan. Benda-benda berat seperti potongan besi dan logam, dibiarkan. Oliva dan Carla lebih banyak mengeluh karena mereka harus mengumpulkan sampah manusia yang mengganggu kesenangan mereka.
      "Tuan Ermo, Cori terluka!" teriak Chelonia ketakutan.
      Tuan Ermo dan anak-anak penyu segera berkerumun mengelilingi Cori yang hidungnya sudah tersumbat benda panjang.
      "Cori tadi mendongak cukup lama dan agak terlambat menjauh saat sampah-sampah itu jatuh," tutur Chelonia menjelaskan.
      "Ini sedotan plastik," kata Tuan Ermo.
      "Aw! Sakit! Benda ini menyumbat hidungku," keluh Cori dengan suara yang terdengar aneh.
      "Apa yang harus kita lakukan, Tuan Ermo?"
      "Anak-anak, ikuti aku."
      Anak-anak penyu menurut. Mereka berenang mengikuti Tuan Ermo menuju pulau kecil di tengah laut. Kemudian mereka merambat di sepanjang pasirnya dan menghirup udara banyak-banyak karena telah berada cukup lama di dalam air.
      "Pergi, pergi! Pergi dari sini! Aku tidak suka keramaian!"
      Terdengar suara marah-marah seekor kepiting yang muncul dari lubang pasir. Anak-anak penyu yang ketakutan segera menyelam kembali ke dalam laut. Tuan Ermo pun meminta murid-muridnya untuk pergi dari pulau kecil itu. Namun, tidak dengan Chelonia. Ia justru mendekati kepiting.
      "Tuan Kepiting, tolonglah temanku. Hidungnya tersumbat sedotan plastik. Bisakah kau mengeluarkan sedotan itu dari hidungnya dengan capitmu?"
      "Oh, temanmu terluka? Benar-benar buruk, sampah yang ditinggalkan manusia. Lihat rumahku ... kotor sekali," gerutu Tuan Kepiting sambil menunjuk pasir pulau yang dipenuhi botol-botol plastik.
Karena merasa kasihan, Tuan Kepiting pun terjun ke air untuk menemui Cori yang ditemani Tuan Ermo dan teman-temannya. Dengan capitnya yang besar, Tuan Kepiting mencabut sedotan plastik dari hidung Cori. Akhirnya Cori dapat merasakan hidungnya longgar seperti biasa. Ia pun bergegas ke permukaan untuk mengambil napas. Kesedihan pada raut mukanya seketika lenyap.
      Chelonia dan Mydas mengantar Tuan Kepiting kembali ke pulau kecilnya di permukaan laut dan berterima kasih atas bantuannya karena telah menolong teman mereka. Beberapa saat kemudian, muncullah seekor paus, menangis tersedu. Ia memohon kepada Tuan Kepiting agar mengeluarkan sampah yang menyumbat hidungnya. Mendengar itu, Tuan Kepiting sekali lagi marah-marah kepada manusia sebelum menolong paus yang malang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H